Hidup Jema berubah sejak ayahnya menikah lagi saat ia kelas 6 SD. Sejak itu, ia tinggal bersama ibu tiri yang semena-mena dan semuanya makin memburuk ketika ayahnya meninggal.
Saat SMA, ibu tirinya menikah dengan seorang duda kaya raya yang punya tiga putra tampan. Jema berharap hidupnya membaik… sampai ia melihat salah satu dari mereka: Nathan.
Musuh bebuyutannya di sekolah.
Cowok arogan yang selalu membuat hidupnya kacau.
Dan sekarang, jadi saudara tirinya.
Tinggal serumah membuat semuanya jadi lebih rumit. Pertengkaran mereka semakin intens, tetapi begitu pula perhatian-perhatian kecil yang muncul tanpa sengaja.
Di antara benci, cemburu, dan konflik keluarga perasaan lain tumbuh.
Perasaan yang tidak seharusnya ada.
Perasaan yang justru membuat Jema sulit bernapas setiap kali Nathan menatapnya lebih lama daripada seharusnya.
Jema tahu ini salah.
Nathan tahu ini berbahaya.
Tapi hati tetap memilh bahkan ketika logika menolak.
Karena siapa sangka, musuh bisa menjadi cinta pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan seperti katanya
Pertandingan antara Nathan dan Riza membuat heboh seantero sekolah. Berita itu menyebar begitu cepat, dari mulut ke mulut, seperti api yang menyambar jerami kering. Bahkan kabarnya sampai ke gedung SMP.
Di lorong sekolah, Jefran yang baru saja datang berhenti melangkah ketika mendengar teriakan teman-temannya.
“Katanya Kak Nathan ngebully adik kelasnya!”
“Hah? Serius?”
“Kok bisa?”
“Katanya di lapangan basket!”
Nama itu membuat langkah Jefran terhenti.
Kak Nathan? batinnya.
Perasaan tak nyaman merayap di dadanya.
Di gedung SMA, suasana tak kalah ramai. Bisik-bisik terdengar di hampir setiap kelas. Bahkan saat Jema sedang memilah sampah hukuman di sudut taman, suara teriakan beberapa siswa membuatnya menoleh.
“Nathan ngebully orang di lapangan basket!”
Apa?
Jema terkejut. Tangannya refleks melepas almamater yang sedang ia pegang hingga jatuh ke tanah. Dadanya mendadak terasa sesak.
Lapangan basket.
Tanpa berpikir panjang, Jema langsung berlari.
Lapangan basket sudah dipenuhi siswa. Kerumunan membentuk lingkaran besar, sorak-sorai bercampur bisik-bisik mengisi udara pagi itu.
Nathan berdiri di tengah lapangan dengan wajah santai, seolah semua ini hanyalah hiburan biasa.
Ia memberi kode singkat pada Tian.
Tian langsung menghampiri Riza dan menarik buku paket fisika dari tangannya.
“Eh—” Riza tersentak, namun tak berani melawan.
Raka mendorong bahu Riza ke tengah lapangan.
“Maju, jangan pengecut.”
Nathan melempar bola basket tepat ke arah dada Riza.
“Pegang,” katanya dingin.
Riza menangkap bola itu dengan tangan gemetar. Napasnya memburu, matanya sibuk mencari jalan keluar. Sorak-sorai semakin ramai, membuat kakinya terasa kaku.
Nathan melangkah mendekat, senyum tipis terukir di wajahnya.
“Katanya lo nggak takut, kan?”
Bola di tangan Riza terasa jauh lebih berat dari yang seharusnya.
Nathan dan Riza pun bertanding di lapangan basket. Entah sudah berapa kali Nathan memasukkan bola ke dalam ring dengan mudah, seolah Riza bahkan tidak ada di sana. Setiap lemparan Nathan selalu tepat sasaran, disambut sorakan penonton.
Sementara itu, Riza berdiri kaku. Tangannya gemetar, matanya kosong. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Merebut bola? Mendekat saja rasanya sudah membuat lututnya lemas.
Nathan mulai kelelahan. Napasnya sedikit memburu, tapi tetap saja Riza tak memberi perlawanan. Hingga akhirnya Nathan menghentikan langkahnya dan melempar bola basket itu ke arah badan Riza.
“Stop sampai di sini,” ucap Nathan dingin. “Gue nggak bisa ngajarin lo.”
Nathan mengibaskan tangannya, rasa panas menyengat kulitnya. Tian segera melemparkan botol air mineral padanya. Nathan menangkapnya dan meneguk cepat.
Namun tiba-tiba—
BRAKK!
Sebuah bola basket menghantam punggung Nathan dari belakang. Botol air mineral terlepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai.
Lapangan mendadak hening.
Semua orang terkejut. Beberapa menahan napas, sebagian lain berteriak histeris.
Nathan menoleh perlahan ke belakang.
Riza berdiri di sana. Tangannya masih terangkat, napasnya terengah. Dialah yang melempar bola itu.
Sorak-sorai berubah menjadi kegaduhan.
Nathan mengangkat alisnya, ekspresinya tak terbaca.
Riza kemudian berjalan mendekat, mengambil kembali bola basket itu. Tanpa berkata apa-apa, ia berlari menuju ring dan melempar bola—
Gagal.
Ia mengambil bola itu lagi.
Melempar lagi.
Gagal.
Sekali lagi.
Dan lagi.
Seperti orang gila yang bermain sendirian di lapangan. Keringat mengalir di wajahnya, tangannya gemetar, tapi ia tak berhenti.
Dari balik kerumunan, Jema menyaksikan semua itu dengan rahang mengeras. Tangannya mengepal.
“Ngapain sih dia?” gumamnya kesal. “Dasar Nathan gila!”
Seseorang menatapnya dengan tatapan sinis, namun Jema hanya fokus pada kejadian di lapangan. Jema mencoba menerobos kerumunan, mendorong bahu beberapa siswa. Namun sia-sia. Lingkaran manusia itu terlalu rapat, terlalu penuh oleh rasa penasaran dan kegaduhan.
Ia hanya bisa menatap dari kejauhan, sementara dadanya semakin sesak.
Riza terus berlari, melempar bola ke arah ring.
Gagal.
Ia mencoba lagi.
Masih gagal.
Langkahnya semakin kacau hingga akhirnya kakinya tersandung. Tubuhnya terjatuh ke lantai lapangan. Bola basket terlepas dari tangannya, melayang tak terarah—namun langsung ditangkap Nathan dengan satu tangan.
Sorakan kembali pecah.
Riza terdiam sejenak, lalu berusaha bangkit. Dengan langkah ragu, ia menghampiri Nathan.
“Ka… Kak,” ucapnya pelan, menahan napas. “Bolanya…”
Nathan tidak menjawab. Dari jarak yang cukup jauh, ia melambungkan bola ke udara.
Swish.
Bola itu masuk ke dalam ring dengan mulus.
Gerakan Nathan begitu ringan, begitu presisi. Seketika lapangan kembali riuh. Banyak mata terpaku padanya, kagum sekaligus tak percaya.
Nathan berjalan ke arah Tian. Ia mengambil buku paket fisika dari tangan temannya, membukanya, lalu menuliskan sesuatu di salah satu halaman. Setelah itu, buku itu ia ulurkan pada Riza.
“Ini,” katanya datar.
Nathan kemudian menyebutkan rumus fisika yang sejak tadi tidak dipahami Riza, menjelaskannya singkat tapi jelas.
“Temui gue jam istirahat kalau masih nggak ngerti.”
Riza tertegun. Wajahnya berbinar.
“Makasih, Kak Nathan.”
Nathan hanya mengangguk singkat. Ia berbalik, diikuti Tian dan Raka, meninggalkan lapangan begitu saja.
Orang-orang masih berdiri mematung.
Entahlah, selama ini Nathan dikenal sebagai anak yang tak punya hati, tukang bully, pembuat onar. Tapi hari ini? Ia baru saja mengajari adik kelasnya.
Dari balik kerumunan, Jema terlihat paling heboh.
“Bilang apa itu si Nathan barusan?” tanyanya pada siswa di sampingnya.
“Kayaknya si Nathan minta duit sama si Riza.”
“Hah?” Jema membelalakkan mata. “Seriusan? Dia kan kaya. Ngapain malah malakin orang lain?”
"Nathan bilang si Riza pengecut, dia bakal jadi target Nathan berikutnya"
Jema tampak berpikir, Benarkah begitu?
Namun entah kenapa, ucapan itu tidak sepenuhnya ia percaya.
Ingatan lama kembali muncul di kepalanya. Tentang beberapa peristiwa yang dulu ia telan mentah-mentah dari cerita orang lain. Tentang Nathan yang dituduh menjahili Pak Bayu—padahal kenyataannya, Nathan justru membantu.
Jema mengepalkan tangannya.
Apa selama ini… gue salah nilai dia?
Jema masih berusaha mencari pembenaran dari orang-orang di sekitarnya. Ia menoleh pada beberapa teman lain, berharap ada jawaban yang menenangkan pikirannya.
“Kayaknya dia habis maki-maki si Riza deh,” ujar salah satu temannya. “Lihat kan, si Nathan langsung pergi.”
Jema mengangguk pelan. Ia mencoba menganalisis ucapan itu.
Ya… masuk akal. Nathan memang seperti itu selama ini.
“Dasar ya si Nathan,” gumam Jema kesal. “Malah maki-maki orang.”
Tiba-tiba seorang anak SMP yang berdiri tak jauh darinya menatapnya dengan sorot mata sinis.
“Jangan pernah menilai orang cuma dari perkataan orang lain.”
Jema menoleh tajam. “Lo nggak tau aja gimana Nathan. Belum kenal Nathan ya lo?”
Anak SMP itu mendengus kecil. Tanpa banyak bicara, ia justru menyebutkan rumus fisika yang tadi diucapkan Nathan pada Riza, lengkap dan jelas.
Jema membeku. Ia memandang anak itu dengan wajah bingung.
“Lo kenapa?” tanya Jema. “Sakit?”
“Itu yang dibilang Kak Nathan ke adik kelasnya tadi,” jawab anak itu santai.
“Hah?” Jema membelalak. “Kok lo bisa tau?”
“Gue punya telinga.”
“Heh! Lo ngatain gue budek?”
“Lo sendiri yang bilang.”
“Dasar bocil!” Jema mendengus. “Nggak sopan ya sama senior. Pemuja Nathan kan lo?”
Anak laki-laki itu hanya melirik singkat, lalu pergi begitu saja, meninggalkan Jema yang masih sewot di tempatnya.
Dari kejauhan, Nathan melihat interaksi itu. Ia mengenali adiknya yang baru saja pergi dari hadapan Jema. Namun Nathan sama sekali tidak bereaksi.
Ia membuang pandangannya ke arah lain.
Tidak peduli.
Setidaknya, itulah yang ia tunjukkan.