Alina harus menerima kenyataan kalau dirinya kini sudah bercerai dengan suaminya di usia yang masih sama-sama muda, Revan. Selama menikah pria itu tidak pernah bersikap hangat ataupun mencintai Alina, karena di hatinya hanya ada Devi, sang kekasih.
Revan sangat muak dengan perjodohan yang dijalaninya sampai akhirnya memutuskan untuk menceraikan Alina.
Ternyata tak lama setelah bercerai. Alina hamil, saat dia dan ibunya ingin memberitahu Revan, Alina melihat pemandangan yang menyakitkan yang akhirnya memutuskan dia untuk pergi sejauh-jauhnya dari hidup pria itu.
Dan mereka akan bertemu nanti di perusahaan tempat Alina bekerja yang ternyata adalah direktur barunya itu mantan suaminya.
Alina bertemu dengan mantan suaminya dengan mereka yang sudah menjalin hubungan dengan pasangan mereka.
Tapi apakah Alina akan kembali dengan Revan demi putra tercinta? atau mereka tetap akan berpisah sampai akhir cerita?
Ikuti Kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Bertemu Aeris
Aeris merasa jenuh duduk sendirian di bangku taman. Sebagai murid baru di hari pertama sekolah, ia memang belum memiliki teman. Namun, bocah itu tidak terlalu ambil pusing.
Bekal nugget dan sosis kesukaannya sudah tandas. Tiba-tiba, ia merasa ingin ke toilet. Tanpa menunggu bantuan Bu Guru, Aeris berjalan mandiri menuju toilet yang terletak di ujung area taman.
Selesai dengan urusannya, ia kembali ke bangku tadi. Namun, ia terkejut melihat dua anak perempuan sudah menduduki posisinya.
"Caca suka, ndak makan ini?" tanya Rania.
"Suka, minta lagi ya," jawab Caca.
"Ambil saja di lumah, Rania punya banyak," sahut Rania ceria.
Aeris melangkah mendekat ke arah mereka.
"Ehem... permisi, ini tadi tempat dudukku," ucapnya dengan sopan.
Kedua gadis kecil itu menoleh serentak.
"Kamu bohong! Tadi di sini nggak ada olang!" seru Rania tak mau kalah.
"Aku cuma ke toilet sebentar. Itu, kotak bekalku saja masih ada di situ," jelas Aeris sambil menunjuk wadah makanannya.
"Yaudah, kamu mengalah dong sama perempuan. Di sana masih banyak kursi kosong," kata Rania ketus.
"Nggak mau. Di sini lebih enak, adem karena di bawah pohon," balas Aeris tenang. "Kalian yang seharusnya pindah."
"Sudah-sudah, kamu duduk saja di sini, biar kami yang pindah," ucap Caca mencoba menengahi.
"Ayo Rania, kita main jungkat-jungkit saja. Pasti lebih seru!"
Rania mengangguk setuju, namun sebelum melangkah pergi, ia sempat menjulurkan lidah ke arah Aeris.
"Dasar cadel," ejek Aeris sambil tertawa kecil.
"Bilang huruf R saja masih terdengar L."
Rania spontan melepaskan gandengan tangan Caca dan berbalik dengan wajah merah padam.
"Aku bisa bilang L! Nih, L!" serunya, padahal yang ia ucapkan memang tetap terdengar seperti "L" di telinga orang lain.
"Itu masih L, bukan R," sahut Aeris menahan tawa.
"Nggak, benar kan, Caca? Kalau Rania bilang ‘L’ bukan 'L'?" tanya Rania mencari pembelaan.
Aeris hanya menghela napas. "Sudah cadel, nggak mau mengaku pula," gumamnya pelan.
Kesal, Rania memukul bahu Aeris dengan tangan mungilnya. Tentu saja, pukulan itu sama sekali tidak terasa sakit bagi Aeris.
"Kamu menyebalkan!" bentaknya.
"Kenapa malah memukul? Memang kenyataan kalau kamu nggak bisa bilang R," balas Aeris santai.
"Rania sudah, jangan diladeni. Dia pasti cuma mau membuatmu menangis," cegah Caca. "Lihat saja dia, nggak punya teman."
"Aku belum punya teman karena baru hari pertama masuk," jawab Aeris membela diri.
"Oh, pantas. Wajahmu terasa asing," sahut Caca.
Aeris kemudian memungut kotak bekalnya dan berlari menjauh dari mereka. Rania memandangi punggung Aeris yang menjauh, lalu bergumam pelan, "Kok Rania jadi kasihan ya...?"
"Lho? Bukannya tadi kamu kesal, kenapa sekarang malah kasihan?" tanya Caca heran.
"Kasihan kalena dia ndak punya teman. Rania tahu lasanya ndak punya teman, pasti dia kesepian," jawab Rania polos.
"Ya sudah, besok-besok kalau dia masih sendirian, ajak ngobrol saja," saran Caca.
•
•
"Bagaimana progres proyek kita? Apakah semuanya lancar? Material untuk pondasi utama mal sudah tiba? Termasuk pengiriman baja dan kaca dari supplier kemarin?"
"....."
"Baiklah. Urus saja semuanya, aku masih ada urusan lain," ucapnya sebelum mengakhiri panggilan.
Revan mematikan ponselnya, lalu melirik jam tangan mewah di pergelangan tangannya. Sudah jam satu siang. Malam ini, ia dan Devi dijadwalkan hadir di pesta rekan bisnis ayahnya. Terpikir olehnya untuk membelikan gadis itu gaun baru.
Revan masuk ke ruangannya dan langsung merebahkan diri di sofa. Matanya menatap langit-langit, namun pikirannya tertuju pada ucapan Alina tadi pagi.
“Anak Leon, ya?” Revan terkekeh sinis.
Tak disangka, ternyata Aeris adalah putra dari Alina dan Leon—seperti pengakuan Leon saat mereka bertemu di mal waktu itu.
Pintu ruangan terbuka, dan senyum Revan langsung mengembang. Siapa lagi kalau bukan Devi.
"Sayang, sini..." panggilnya.
"Maaf Pak Revan. Saya ke sini hanya untuk mengantar berkas yang Anda minta tadi pagi," jawab Devi dengan nada formal yang datar.
"Jangan terlalu formal begitu, Sayang," protes Revan.
"Ini masih jam kantor, kita harus profesional," sahut Devi tanpa senyum.
"Sini dulu... Aku ingin cerita sebentar," bujuk Revan.
Devi menghela napas panjang, lalu mendekat dan duduk di ujung sofa. "Jadi... mau cerita apa?"
Revan bangkit dari posisi baringnya dan menatap Devi dengan serius. "Tadi pagi aku tanya langsung ke Alina, siapa ayah Aeris. Dan dia jawab: anak Leon. Sudah jelas, kan?"
"Berarti, bocah itu memang bukan anakku," lanjut Revan merasa lega.
"Coba pakai logikamu, Revan. Mana mungkin dia langsung mengaku kalau itu anakmu? Ingat, kamu pernah tidur dengannya dulu," ujar Devi mengingatkan.
Revan tersenyum tipis. "Jangan cemburu... Alina itu benar-benar licik. Dia menjebakku sampai aku tidur dengannya. Aku dikunci di kamar, Devi. Bayangkan... dosis obatnya tinggi sekali waktu itu."
Devi menghela napas berat. "Justru karena itu, ada kemungkinan besar kalau Aeris adalah anakmu. Aku yakin sembilan puluh sembilan persen!"
"Bisa saja kan setelah denganku, Alina malah bersama Leon. Itu juga memungkinkan, Sayang."
"Masa sih Alina seperti itu? Atau mungkin dia menikah dengan Leon setelah kejadian bersamamu?"
"Kata karyawan di sana, Alina itu janda. Setelah denganku, dia tidak pernah menikah lagi."
"Kalau mau pasti, ya tes DNA saja. Kebenaran pasti akan terungkap," saran Devi.
"Masalahnya bagaimana caranya? Mengambil sampel saja aku tidak tahu, aku bahkan tidak tahu alamat mereka," keluh Revan sambil mendesah kasar.
"Kamu ini bodoh atau bagaimana!? Kamu kan direktur di tempat dia bekerja! Tinggal cari saja biodatanya. Gampang, kan? Atau kalau mau lebih pasti, ikuti saja dia saat pulang kerja. Begitu saja tidak terpikirkan," semprot Devi kesal.
"Hm... nanti akan kupikirkan. Yang jelas, urusan ini harus selesai dalam sebulan."
"Malam ini jadi ikut, kan?" tanya Revan memastikan.
"Ke mana?"
"Pesta kolega Papa. Kamu sudah janji lho."
"Terserahlah..."
"Nanti aku jemput ke rumahmu. Sudah lama juga tidak bertemu Tante Fitri," kata Revan.
"Mama juga bilang dia rindu padamu," sahut Devi.
"Sepertinya Mamamu sudah tidak sabar punya menantu sepertiku," goda Revan sambil nyengir. "Siapa sih yang bisa menolak Revan? Sudah tampan, mapan, pintar, karismatik—paket lengkap!" tambahnya sambil tertawa bangga.
"Narsis sekali kamu," cibir Devi.
"Kalau aku tidak tampan atau kaya, apa kamu masih mau bersamaku?" tantang Revan.
Devi tampak berpikir. "Mungkin... aku akan cari laki-laki lain," jawabnya sambil tersenyum menggoda.
Wajah Revan langsung berubah masam. "Ulangi sekali lagi," ucapnya tajam.
"Aku akan cari laki-laki lain," ulang Devi menantang.
Tanpa kata, Revan langsung menarik Devi dan menggigit lehernya cukup keras.
"Revan, ih! Sakit! Kamu vampir atau apa!" teriak Devi kaget.
Revan terkekeh melihat hasilnya. "Lihat itu... jadi merah, kan?"
"Tuh, kan! Nanti kalau ketahuan karyawan bagaimana!" keluh Devi.
"Biar saja. Itu tandanya tidak ada yang boleh mendekatimu selain aku," ucap Revan sembari mencium bekas gigitannya tadi.
"Sudah sana, keluar dulu. Nanti aku bisa kebablasan. Gawat kalau sampai digerebek Javier lagi," tambah Revan.
Devi segera bangkit dan keluar dari ruangan. Ia merapikan rambutnya, berusaha menutupi tanda di lehernya.
"Ish! Kalau benar-benar menikah dengannya... Javier benar. Aku bisa-bisa pincang setiap hari," gerutunya pelan sambil berlalu.