Hidup Jema berubah sejak ayahnya menikah lagi saat ia kelas 6 SD. Sejak itu, ia tinggal bersama ibu tiri yang semena-mena dan semuanya makin memburuk ketika ayahnya meninggal.
Saat SMA, ibu tirinya menikah dengan seorang duda kaya raya yang punya tiga putra tampan. Jema berharap hidupnya membaik… sampai ia melihat salah satu dari mereka: Nathan.
Musuh bebuyutannya di sekolah.
Cowok arogan yang selalu membuat hidupnya kacau.
Dan sekarang, jadi saudara tirinya.
Tinggal serumah membuat semuanya jadi lebih rumit. Pertengkaran mereka semakin intens, tetapi begitu pula perhatian-perhatian kecil yang muncul tanpa sengaja.
Di antara benci, cemburu, dan konflik keluarga perasaan lain tumbuh.
Perasaan yang tidak seharusnya ada.
Perasaan yang justru membuat Jema sulit bernapas setiap kali Nathan menatapnya lebih lama daripada seharusnya.
Jema tahu ini salah.
Nathan tahu ini berbahaya.
Tapi hati tetap memilh bahkan ketika logika menolak.
Karena siapa sangka, musuh bisa menjadi cinta pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nathan's life
Pukul hampir tengah malam ketika Nathan akhirnya membuka pintu rumah besar itu. Lampu ruang tamu masih menyala, menyorot seragam sekolah yang masih ia kenakan—berantakan, kusut, dan bercak darah kering di sudut bibirnya. Helm motor ia gantung asal di salah satu jemari, langkahnya berat dan malas.
Begitu pintu tertutup, suara halaman majalah terlipat berhenti. Ayahnya, pria berusia 48 tahun dengan sorot mata tajam dan wajah lelah, menatap putra keduanya. Lalu tanpa ragu, ia melempar majalah itu ke lantai. Bunyi ‘plek!’ memecah keheningan rumah.
“Dari mana aja kamu?” suaranya berat, penuh tekanan.
Nathan melewati ayahnya begitu saja, seakan pertanyaan itu hanya angin lewat. “Bukan urusan Papa.”
Dada pria itu naik turun. “Kamu itu kenapa sih? Setiap hari kerjaannya buat masalah terus. Mau kamu apa sebenarnya?”
“Mau aku?" Nadanya terdengar menantang.
"Mau aku itu tidur, aku capek...” Nathan menjawab datar, tanpa menoleh.
“Nathan!!” Suara ayahnya meninggi, menggema di seluruh ruangan.
“Papa belum selesai bicara! Kita selesaikan di sini. Duduk kamu!”
Nathan berhenti, tapi tidak berbalik. “Apa lagi sih?”
“Kamu itu nggak ada sopan santunnya, ya?”
"Papa itu aneh ya, papa kan tanya aku mau nya apa? Aku mau nya tidur..."
Ayahnya bangkit dari sofa, melangkah mendekat dengan ekspresi menahan amarah. Nathan hanya memandang sekilas, sebelum menghembus napas kasar.
"Papa mau bicara, duduk kamu!!"
“Aku ngantuk. Nggak ada waktu buat dengar ceramah Papa. Lain kali aja.”
“Kamu menghindar karena kamu habis buat masalah lagi, kan?”
Nathan membuka mulut, siap membalas, ketika suara langkah kecil dari tangga terdengar. Seorang anak laki-laki turun dengan santai sambil membawa tumbler air.
Jefran.
Anak kesayangan ayahnya.
Tatapan Nathan langsung berubah tajam, penuh sinis dan muak.
“Urusin aja tuh anak kesayangan Papa.”
Tanpa menunggu respons, Nathan menaiki anak tangga dengan langkah panjang. Saat melewati Jefran, ia sengaja menyenggol bahunya dengan kasar. Jefran terhuyung sedikit, namun diam, hanya menatap punggung kakak nya yang semakin menjauh.
"Nathan, itu adik kamu!!"
"Dia yang salah ngapain berdiri disini? ngalangin orang jalan aja!!"
Ayah mereka mengusap wajahnya keras, kelelahan.
Sementara Nathan menghilang ke lantai atas dengan napas terburu—marah, terluka, dan sendirian seperti biasanya.
Jefran menoleh ke arah Nathan yang berjalan naik ke lantai dua, langkah kakaknya terdengar berat dan penuh emosi.
“Jefran? Kamu kenapa bangun?” tanya ayahnya, suaranya agak melembut saat menatap putra bungsunya.
“Aku belum tidur… aku haus, mau ambil minum.” Jefran menjawab pelan.
Ayahnya hanya mengangguk, memungut majalah yang tadi sengaja ia lempar ke lantai. Lelaki itu kembali duduk di sofa, tetapi pikirannya tidak ikut duduk. Bayangan wajah Nathan saat marah, saat membanting tas atau pulang dalam keadaan babak belur, selalu menghantuinya.
Sejak istrinya meninggal, Nathan berubah. Anak laki-laki yang dulunya ceria dan penurut, kini seperti api yang tidak pernah padam—cepat menyala, cepat membakar.
“Bang Nathan berantem lagi, pah?” suara Jefran memecah lamunannya.
Ayahnya menoleh, sedikit terkejut.
“Tidurlah. Ini sudah malam. Besok kamu sekolah, jangan begadang,” ucapnya sambil berdiri.
“Papa juga sudah ngantuk,” tambahnya ringan, menepuk bahu Jefran sebelum melangkah menuju tangga.
Di setiap langkahnya, semakin berat pikirannya. Mungkinkah Nathan begini karena kehilangan sosok ibu? Ya… mungkin. Nathan selalu menjadi anak yang paling dekat dengan ibunya. Ketika wanita itu pergi untuk selamanya, rasanya separuh jiwa Nathan ikut hilang.
BRAK!
Pintu kamar tertutup keras. Nathan tidak peduli apakah pintunya retak atau tidak—yang jelas, amarahnya masih bergemuruh. Ia menjatuhkan tubuhnya ke kasur, menatap langit-langit sambil menahan desahan kesal.
Sudut bibirnya perih. Ia menyentuhnya pelan, mengerang kecil.
“Sial… apes banget gue,” gumamnya.
Dengan tangan sendiri ia mengobati luka itu—perihnya menusuk, tapi tetap kalah dibandingkan rasa yang sejak lama bersarang di dadanya. Luka yang tidak bisa ditutup perban, tidak bisa sembuh dalam semalam.
Luka kehilangan… dan luka yang tidak pernah ia ceritakan kepada siapa pun.
...Nathan Alvaro Wijaya...
...Jema Aluna Pranaya...