Zhao Liyun, seorang pekerja kantoran modern yang gemar membaca novel, tiba-tiba menyeberang masuk ke dalam buku favoritnya. Alih-alih menjadi tokoh utama yang penuh cahaya dan keberuntungan, ia malah terjebak sebagai karakter pendukung wanita cannon fodder yang hidupnya singkat dan penuh penderitaan.
Di dunia 1970-an yang keras—era kerja kolektif, distribusi kupon pangan, dan tradisi patriarki—Liyun menyadari satu hal: ia tidak ingin mati mengenaskan seperti dalam buku asli. Dengan kecerdikan dan pengetahuan modern, ia bertekad untuk mengubah takdir, membangun hidup yang lebih baik, sekaligus menolong orang-orang di sekitarnya tanpa menyinggung jalannya tokoh utama.
Namun semakin lama, jalan cerita bergeser dari plot asli. Tokoh-tokoh yang tadinya hanya figuran mulai bersinar, dan nasib cinta serta keluarga Liyun menjadi sesuatu yang tak pernah dituliskan oleh penulis aslinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YukiLuffy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Rencana Bertahan
Malam itu, Zhao Liyun duduk di kamar kecilnya yang dingin. Dinding bata yang kasar penuh celah, membuat angin malam masuk menusuk tulang. Cahaya lampu minyak redup berkelip, menimbulkan bayangan panjang di lantai tanah yang tak rata.
Hari-hari terakhir membuatnya berpikir keras. Sejak menyadari bahwa dirinya bukan lagi pembaca, melainkan sosok hidup dalam cerita, ia tahu satu hal: ia harus bertahan. Tidak peduli betapa kerasnya plot asli mencoba menyeretnya menuju nasib tragis, ia tidak akan menyerah begitu saja.
Liyun menatap roti kukus sisa yang diletakkan di atas meja kecil. Hatinya mengingat kejadian siang tadi Lin Xiaomei dengan wajah polosnya memuji, Chen Weiguo yang diam-diam memperhatikan. Itu membuktikan bahwa sedikit perubahan saja bisa memengaruhi jalannya cerita. Jika ia bisa mengubah hal kecil, berarti ia juga bisa mengubah takdir besarnya.
"Aku harus punya rencana," gumamnya lirih.
Keesokan harinya, saat pembagian jatah di dapur umum, Liyun berdiri di antrean bersama para perempuan lain. Mereka membawa wadah masing-masing, menunggu giliran diberi sepotong roti kukus atau bubur jagung encer. Bau kayu terbakar dari tungku besar memenuhi ruangan.
Ketika gilirannya tiba, juru masak meletakkan sepotong roti keras di mangkuk kayu miliknya. “Berikutnya!” katanya cepat.
Liyun menunduk, membawa mangkuk itu keluar. Di tengah perjalanan pulang, ia menoleh kiri-kanan. Saat melihat tidak ada yang memperhatikan, ia cepat-cepat menyelipkan separuh potongan roti ke dalam kantong kain kecil yang tersembunyi di balik bajunya. Sisanya ia gigit pelan, berpura-pura habis.
Cara ini mungkin tampak konyol, tapi bagi Liyun, setiap suapan bisa menjadi penentu hidup atau mati di musim dingin nanti.
Beberapa hari kemudian, setelah pekerjaannya di ladang selesai, Liyun menyelinap ke belakang rumah. Ia membawa abu kayu dari tungku dan sedikit minyak goreng sisa yang ia simpan diam-diam. Di novel yang pernah ia baca, ia tahu cara membuat sabun sederhana dengan mencampur keduanya. Tidak mewah, tapi bisa menghasilkan sesuatu yang berbeda dari kebiasaan desa.
Dengan hati-hati, ia mencampurkan abu dan minyak dalam wadah kecil dari tanah liat. Tangan mungilnya gemetar—bukan karena takut, tapi karena semangat. Ia mengaduk perlahan, mengingat-ingat tutorial yang pernah ia lihat di dunia modern.
“Aku tidak butuh sabun wangi mahal. Asal bisa membersihkan lebih baik dari air biasa, itu sudah cukup,” katanya pelan, seolah menyemangati dirinya sendiri.
Hari itu, eksperimen pertamanya menghasilkan gumpalan aneh yang baunya menyengat. Bentuknya tidak rapi, tapi ketika ia coba gosokkan sedikit di tangannya, busa tipis muncul.
Mata Liyun berbinar. “Berhasil!”
Keesokan harinya, saat ia mencuci tangan dengan sabun buatan itu di dekat sumur, beberapa anak desa yang sedang bermain berhenti dan menatap heran.
“Eh, Kakak Liyun, apa itu? Kok tangannya berbuih?” tanya seorang anak laki-laki dengan mata membelalak.
“Ini… sabun,” jawab Liyun ragu.
“Sabun? Aku belum pernah lihat! Wanginya aneh, tapi bersih sekali,” kata anak lain sambil mendekat, matanya penuh rasa ingin tahu.
Anak-anak itu mulai ribut, beberapa meminta mencoba. Liyun awalnya panik, takut rahasianya terbongkar. Tapi setelah melihat wajah polos mereka, ia tersenyum dan membiarkan satu-dua anak mencelupkan tangan.
“Hei, tanganku jadi licin! Hahaha!” teriak salah satu bocah, membuat yang lain tertawa.
Suara riuh mereka menarik perhatian beberapa orang dewasa yang lewat. Salah satunya, Wu Shengli, pemuda desa yang sebelumnya menolong Liyun ketika ia hampir jatuh.
Wu Shengli mendekat, membawa ember air di bahu. Tubuhnya tidak sebesar Chen Weiguo, tapi ia tampak tegap dengan kulit kecokelatan dan tatapan mata yang selalu tenang.
“Apa yang kalian ributkan?” tanyanya sambil tersenyum kecil.
Seorang anak menunjuk tangan penuh busa. “Kakak Liyun bikin benda ajaib! Airnya bisa jadi licin dan bersih!”
Wu Shengli menoleh pada Liyun. “Kau yang membuatnya?”
Pipi Liyun memerah. “Cuma… iseng saja. Dari abu kayu dan minyak sisa. Tidak penting.”
Shengli menatap tangannya, lalu mencoba sedikit. Ia menggosok, lalu membilas. “Hmm, bersih betul. Wanginya memang aneh, tapi tidak buruk.”
Komentarnya sederhana, tapi membuat hati Liyun hangat. Ia tidak menertawakan atau meremehkan, malah terlihat sungguh-sungguh menghargai.
“Jangan bilang ini pada orang lain, ya,” bisik Liyun cemas. “Aku tidak mau jadi bahan gosip.”
Wu Shengli menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Baik. Tapi kau harus hati-hati. Kalau sesuatu berbeda dari kebiasaan, orang bisa salah paham.”
Liyun menunduk. “Aku tahu. Terima kasih sudah mengingatkan.”
Meski Liyun meminta merahasiakan, kabar tentang “sabun aneh” cepat menyebar juga. Anak-anak yang mencobanya tidak bisa menahan cerita, dan akhirnya beberapa ibu rumah tangga ikut penasaran.
“Aku dengar Zhao Liyun bisa membuat tangan bersih tanpa gosok lama?” bisik seorang ibu di dapur kolektif.
“Benarkah? Tidak mungkin. Gadis itu biasanya ceroboh, mana mungkin bisa membuat hal berguna,” sahut yang lain dengan nada skeptis.
Namun, rasa ingin tahu tetap tumbuh. Beberapa orang mulai melirik Liyun dengan cara berbeda. Tidak semua positif, tapi setidaknya ia bukan hanya si pemalas yang merepotkan keluarga lagi.
Suatu sore, setelah selesai bekerja di ladang, Chen Weiguo tanpa sengaja berpapasan dengan Liyun yang sedang membawa air dari sumur. Ia menatap Liyun sekilas.
“Kudengar kau membuat sesuatu yang disebut sabun,” katanya datar.
Liyun tercekat. “Itu… hanya percobaan kecil.”
Chen Weiguo mengangguk singkat. “Kalau memang berguna, jangan disembunyikan. Desa butuh orang yang bisa memberi ide baru.”
Nada suaranya tidak hangat, tapi juga tidak meremehkan. Liyun bisa merasakan sedikit pengakuan di balik kata-katanya. Namun, ia tidak ingin menarik perhatian tokoh utama pria terlalu banyak. Itu berbahaya—ia bisa terseret lagi ke dalam plot asli.
“Baik, aku mengerti,” jawabnya cepat, menunduk sopan.