NovelToon NovelToon
Ibu Susu Bayi Sang Duda

Ibu Susu Bayi Sang Duda

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Janda / Selingkuh / Ibu Pengganti / Pengasuh / Menikah Karena Anak
Popularitas:39.7k
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah Alfatih

Hari yang seharusnya menjadi momen terindah bagi Hanum berubah menjadi mimpi buruk. Tepat menjelang persalinan, ia memergoki perselingkuhan suaminya. Pertengkaran berujung tragedi, bayinya tak terselamatkan, dan Hanum diceraikan dengan kejam. Dalam luka yang dalam, Hanum diminta menjadi ibu susu bagi bayi seorang duda, Abraham Biantara yaitu pria matang yang baru kehilangan istri saat melahirkan. Dua jiwa yang sama-sama terluka dipertemukan oleh takdir dan tangis seorang bayi. Bahkan, keduanya dipaksa menikah demi seorang bayi.

Mampukah Hanum menemukan kembali arti hidup dan cinta di balik peran barunya sebagai ibu susu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

26. Aku iri pada anakku.

Malam itu udara di kamar terasa hening, hanya suara detak jam dinding yang terdengar pelan. Hanum duduk di tepi ranjang dengan Kevin yang tertidur pulas dalam pangkuannya. Namun, tatapan Hanum tidak benar-benar tertuju pada bayi itu, melainkan pada bibirnya sendiri yang sejak sore masih terasa hangat.

Ingatan akan ciuman Abraham di dalam mobil membuat pipinya kembali merona. Dia tidak pernah menyangka pria yang begitu dingin dan kaku bisa tiba-tiba melakukan hal seperti itu. Tangannya tanpa sadar menyentuh bibirnya berulang kali, dan setiap kali ia melakukannya, senyum kecil tersungging.

“Ya Tuhan…” bisiknya lirih, “kenapa hatiku berdebar seperti ini?”

Namun, ketika ia mencoba meletakkan Kevin ke ranjang bayi yang ada di samping tempat tidur, si kecil mulai menggeliat, wajah mungilnya meringis, lalu bibirnya merengut seakan akan menangis. Hanum buru-buru mengangkatnya kembali.

“Ssst … sayang, diam ya. Mama di sini.” Suaranya lembut, ia menepuk-nepuk pelan punggung Kevin hingga bayi itu kembali tenang. Tapi Kevin tetap enggan lepas dari pelukan Hanum, seolah ingin terus berada di dalam dekapannya.

Hanum tersenyum hangat, lalu menghela napas. “Sepertinya malam ini kamu maunya tidur sama Mama, ya?”

Pintu kamar tiba-tiba berderit terbuka. Abraham masuk dengan langkah tenang, sudah berganti pakaian rumah. Dia mendapati pemandangan Hanum yang sedang menimang Kevin dengan begitu penuh kasih.

Abraham berhenti sejenak di ambang pintu, matanya menatap lama. Ada sesuatu yang berbeda malam itu. Senyum lembut Hanum, tatapan matanya yang teduh, serta bayangan tubuhnya yang mendekap Kevin semua membuat hati Abraham terasa hangat.

“Apa dia masih rewel?” suara Abraham terdengar berat namun lembut.

Hanum mendongak sedikit terkejut, lalu mengangguk. “Aku sudah coba menaruhnya di ranjang bayi, tapi Kevin tidak mau. Setiap kali aku letakkan, dia gelisah.”

Abraham mendekat, menunduk, dan dengan hati-hati menyentuh pipi anaknya. Kevin berhenti menggeliat, lalu menggenggam jari telunjuk Abraham dengan tangan mungilnya. Seketika senyum samar muncul di wajah Abraham.

"Dia tidak mau jauh dari mamanya.”

Hanum menunduk, merasa pipinya panas mendengar ucapan itu. Dia mencoba mengalihkan dengan berkata pelan, “Mungkin dia masih ingin merasa hangat.”

Abraham kemudian berjongkok di depan Hanum, menatapnya langsung. “Kalau begitu … biarkan dia tidur di sini malam ini, bersama kita.”

Hanum terbelalak. “B-bersama kita?”

“Ya,” jawab Abraham singkat, nadanya tenang namun penuh kepastian. “Suami, istri, dan anak. Bukankah itu seharusnya?”

Hanum terdiam, jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Akhirnya, malam itu Hanum merebahkan diri di sisi ranjang, masih dengan Kevin di pelukannya. Abraham ikut berbaring di sisi lain, wajahnya menghadap Hanum.

Kevin berada di tengah, namun tangannya yang mungil masih menggenggam jari Hanum erat, sementara kakinya bergerak pelan menyentuh dada Abraham.

Hening sejenak, cahaya lampu tidur menerangi wajah mereka.

“Hanum,” panggil Abraham tiba-tiba.

Hanum menoleh, sedikit canggung. “Iya?”

Abraham menatapnya lekat, begitu serius hingga Hanum merasa seluruh tubuhnya memanas.

“Hari ini … aku tidak menyesal membawamu ke pertemuan. Aku bangga padamu, dan…” ia berhenti sebentar, menunduk, lalu menambahkan pelan, “aku juga tidak menyesal mencium istriku di mobil.”

Hanum membelalak, wajahnya memerah seketika. “Mas A-Abraham…”

Abraham tersenyum samar, matanya tak lepas dari wajah Hanum. “Tidurlah, aku akan ada di sini, bersama kalian berdua.”

Hanum hanya bisa menunduk, namun di balik wajah malunya, hatinya bergetar hangat.

Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis kamar, membuat suasana terasa hangat. Burung-burung berkicau di luar jendela, menandakan hari baru telah dimulai.

Hanum masih terlelap, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya tenang tanpa beban. Di sampingnya, Abraham terbaring dengan posisi miring, satu lengannya terlipat di bawah kepala. Namun, Kevin lah yang pertama kali terbangun pagi itu.

Bayi mungil itu membuka matanya perlahan, lalu menggeliat kecil di tengah-tengah kedua orang tuanya. Tangannya yang mungil menyentuh wajah Hanum, menarik-narik pelan rambut ibunya. Hanum bergumam kecil dalam tidurnya, lalu membuka mata samar-samar.

“Sayang…” suaranya serak karena baru bangun. Begitu melihat Kevin yang tersenyum sambil meraih wajahnya, Hanum langsung tersenyum hangat. “Pagi, Nak…”

Dia mencium dahi Kevin lembut. Bayi itu terkekeh kecil, lalu dengan polosnya menoleh ke arah Abraham. Tangannya meraih wajah ayahnya yang masih tertidur pulas.

Awalnya Abraham tidak bereaksi, namun ketika jari mungil itu mencolek hidungnya, ia bergumam pelan dan membuka mata. Pandangan pertama yang ia lihat adalah Kevin yang menatapnya lekat dengan senyum polos.

Abraham terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. “Pagi, Kevin.”

Hanum memperhatikan momen itu dengan hati yang bergetar hangat. Kevin tampak begitu bahagia di antara mereka. Bahkan, ketika Hanum mencoba memindahkannya ke pelukan, bayi itu justru menolak. Tangan mungilnya menggenggam jemari Abraham erat-erat, sambil masih bersandar di dada Hanum.

“Sepertinya dia tidak mau kita berpisah pagi ini,” ucap Abraham, suaranya rendah tapi hangat.

Hanum menunduk, pipinya merona. “Mungkin dia hanya manja.”

“Tidak,” jawab Abraham cepat. Matanya menatap dalam ke arah Hanum. “Dia hanya ingin memastikan kedua orang tuanya tetap di sisinya.”

Hanum tertegun, kata-kata itu menusuk lembut ke dalam hatinya. Ia menunduk, menyembunyikan rona merah di pipinya. Beberapa menit berlalu, Hanum bangkit pelan, berniat menyiapkan sarapan. Namun, ketika ia hendak menurunkan Kevin dari pelukannya, bayi itu kembali merengek dan memeluk lehernya erat-erat.

Hanum menghela napas kecil, tersenyum sabar. “Kevin … Mama cuma mau bikin sarapan sebentar saja.”

Abraham ikut bangun, duduk bersandar di kepala ranjang. Dia menatap anaknya, lalu mengulurkan tangan. “Biar aku yang gendong.”

Namun, begitu Abraham mencoba mengambil, Kevin malah merengek lebih keras, tubuhnya menempel erat pada Hanum.

Hanum terkekeh kecil, meski sedikit kewalahan. “Sepertinya dia belum siap, Mas.”

Abraham mendesah, tapi tidak marah. Ia justru tersenyum tipis sambil menatap Hanum yang mengayun-ayunkan Kevin dengan penuh kasih. “Kamu tahu, Hanum? Aku iri padanya.”

Hanum menoleh, bingung. “Iri? Pada Kevin?”

“Ya.” Abraham menatap dalam, suaranya pelan tapi mantap. “Dia bisa terus berada di pelukanmu tanpa alasan apa pun. Sementara aku…” ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “aku harus menahan diri setiap kali ingin mendekat.”

Hanum membeku, jantungnya berdetak kencang. Kata-kata itu membuatnya salah tingkah, wajahnya semakin panas. Ia buru-buru menunduk, pura-pura sibuk menenangkan Kevin, meski tangannya sendiri gemetar.

Abraham hanya tersenyum samar melihat reaksi itu. Ia tahu, meski Hanum berusaha menutupi, ada sesuatu yang mulai tumbuh di antara mereka.

Beberapa saat kemudian, Kevin akhirnya tertidur kembali di pelukan Hanum. Dengan hati-hati, ia meletakkan bayinya di ranjang kecil. Abraham ikut membantu, menepuk bahu Hanum pelan.

“Sekarang kau bisa siapkan sarapan. Biar aku yang mengawasi dia.”

Hanum menoleh, menatap wajah Abraham yang tenang. Hatinya bergetar lagi, tapi ia hanya mengangguk.

“Baik, Mas…”

Abraham hanya tersenyum dan mengangguk pelan, sebelum Hanum berlalu pergi bayangannya hilang di balik pintu kamar.

1
Lusi Hariyani
jgn sampe ada jebak menjebak kak othor emang siapa rania itu mantan bukan kluarga bukan bikin ulah trs
Fitria Syafei
Kk cantik kereeen 🥰🥰 terima kasih 😘
Kar Genjreng
cinta di tolak mbh dukun bertindak lampir
Rokhyati Mamih
Bian jangan lupa bawa istri mu yah ?
Hanum.bisa loh nakhlukin ranio
Ddek Aish
karna Julio ngeyel ngarap keuntungan yang besar akhirnya Abraham terima proyek ini dengan si pelakor berabe kan jadinya sekarang
Teh Euis Tea
awas bian waspada jgn ssmpe kena jebajan betmen😁
Ucio
Rania As Mak lampir mulai beraksi
waspada Abraham
IbuNa RaKean
ulet Keket😡😡
Lisa
Ciee Hanum & Abraham udh mulai mesra nih 😊😊 bahagia selalu y utk kalian bertiga..
Asri Yunianti
jangan ada peristiwa jebakan² ya kak🤭
Ani Basiati: lanjut thor
total 2 replies
IbuNa RaKean
aaahhhhh so sweet🥰🥰
Mbak Noer
bagus ceritanya seru
Lusi Hariyani
pasangan ini bikin gemes aja dech
Fitria Syafei
Kk cantik kereeen 🥰🥰 terima kasih 😘
Kar Genjreng
tersenyumlah Abraham agar dunia semaksimal n damai,,,wajah kaku kulkas lima pintu,,,mulai banyak senyum di hadapan hanum ❤️❤️lope lope sekebon mangga 😁😁
ken darsihk
Sadar kan kamu Bian , Hanum istri mu pantas di bangga kan
Istri mu nggak kaleng2 Biiii 👏👏👏
ken darsihk
Lanjuttt ❤❤❤
ken darsihk
Akhir nya es itu mencair juga 👏👏👏
Kar Genjreng
Qu kirim vote Yo Ben tambah semangat Mas menggarap Hanum 🤩❤️
Lisa
Seneng banget bacanya akhirnya Abraham benar² merubah sikapnya dan lebih menghargai Hanum apalagi Hanum mempunyai bakat design..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!