NovelToon NovelToon
Balas Dendam Istri Marquess Yang Difitnah

Balas Dendam Istri Marquess Yang Difitnah

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Anak Genius / Mengubah Takdir / Mengubah sejarah / Fantasi Wanita / Balas dendam pengganti
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: BlackMail

Dieksekusi oleh suamiku sendiri, Marquess Tyran, aku mendapat kesempatan untuk kembali ke masa lalu.

​Kali ini, aku tidak akan menjadi korban. Aku akan menghancurkan semua orang yang telah mengkhianatiku dan merebut kembali semua yang menjadi milikku.

​Di sisiku ada Duke Raymond yang tulus, namun bayangan Marquess yang kejam terus menghantuiku dengan obsesi yang tak kumengerti. Lihat saja, permainan ini sekarang menjadi milikku!

Tapi... siapa dua hantu anak kecil itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20 : Terjun Ke Pusat Badai

Lonceng alarm meraung-raung, suaranya yang panik merobek keheningan fajar. Seluruh kediaman Hartwin meledak dalam kekacauan. Para pelayan berlarian di koridor, beberapa masih mengenakan baju tidur, wajah mereka pucat karena takut. Para penjaga berteriak-teriak, mengenakan pelindung dada mereka dengan tergesa-gesa.

Trauma.

Mereka trauma dengan penaklukan skala besar dua puluh tahun lalu oleh Kaisar Thalvaria.

Di tengah semua itu, aku adalah pusat ketenangan yang dingin.

Aku tidak panik. Aku tidak takut. Aku hanya merasakan gelombang kepastian yang mengerikan.

Perasaan asing yang tidak seperti diriku... Mimpi itu mungkin nyata.

Aku sudah berdiri di kamarku, mengenakan pakaian berkuda yang praktis dan kokoh saat Ayah dan Cedric mendobrak masuk, diikuti oleh Lila yang menangis.

"Elira!" teriak Ayah, wajahnya pucat pasi. "Kau sudah dengar? Pelabuhan Atika diserang! Cepat, perintahkan semua gerbang dikunci! Gandakan penjaga di tembok!"

"Aku tidak akan mengunci gerbang," kataku tenang. "Aku akan pergi ke semenanjung selatan."

Keheningan sesaat, begitu tegang hingga terasa seperti akan pecah.

"KAU GILA!!?" raung Ayah, amarahnya akhirnya mengalahkan rasa takutnya. "Itu medan perang, bukan taman untuk kau berjalan-jalan! Tugasmu adalah tetap di sini, di tempat yang aman!"

"Tugasku adalah melindungi aset dan rakyat keluarga Hartwin," balasku, suaraku tajam dan tak terbantahkan.

"Ayah telah memberiku otoritas itu. Pun, pos-pos bantuan kita di Silverwood dan desa-desa sekitarnya adalah aset kita yang bernilai. Para pekerja yang baru kupekerjakan di sana adalah rakyat kita. Aku tidak akan menjadi seorang pemimpin yang bersembunyi di balik tembok sementara orang-orangku berada dalam bahaya."

"Kau gila, Elira! Kau mau bermain jadi pahlawan!?" cibir Cedric, meskipun suaranya bergetar. "Kau.. kau akan mati di sana!"

"Itu lebih baik daripada mati perlahan di sini karena penyesalan," jawabku, mataku menatap lurus ke arah Ayah. "Aku akan pergi. Dengan atau tanpa restu Ayah."

Ayah menatapku, melihat tekad baja di mataku yang tidak akan goyah. Dia melihat Mawar Besi yang telah diciptakannya sendiri.

Dia membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Dia tidak punya kekuatan lagi untuk menghentikanku. Dia hanya bisa mengangguk pelan, sebuah gestur kekalahan total.

Aku berbalik ke arah kapten penjaga yang sudah menunggu di ambang pintu. "Siapkan regu pengawal terbaik dan siapkan sebanyak mungkin gerobak penuh pasokan medis dan makanan. Kita berangkat dalam sepuluh menit!"

"Baik, Nona Elira!"

Aku berjalan keluar dari ruangan itu, melewati ayahku yang membeku dan kakakku yang gemetar karena amarah. Saat aku menuruni tangga utama aula depan, sebuah suara serak memanggil dari belakang.

​"Tunggu!"

​Aku berbalik. Cedric berdiri di puncak tangga, wajahnya campur aduk antara benci dan sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak bisa kubaca. Dia dengan canggung melepaskan sebuah benda dari ikat pinggangnya.

Sebuah pisau belati yang familier, dengan gagang perak berukir kepala rusa dan permata kecil di matanya. Itu adalah pisau belati kesayangannya, hadiah kedewasaan dari Ayah.

​Dia melemparkannya ke arahku. Gerakannya kaku dan terburu-buru. Aku menangkapnya secara refleks. Gagang perak itu terasa dingin di telapak tanganku.

​"Jangan mati..." gumamnya, begitu pelan hingga nyaris tak terdengar. Dia tidak menatap mataku.

​Sebelum aku sempat berkata apa-apa, dia berbalik dan bergegas kembali ke dalam koridor, menghilang seperti pengecut.

​Aku menatap pisau belati di tanganku. Benda ini adalah simbol dari statusnya, kebanggaannya. Dan dia memberikannya padaku.

Dia membenciku. Dia menginginkan aku gagal. Aku tahu itu. Tapi sepertinya... kebencian itu tidak sampai pada menginginkan kematianku.

Aku menghela napas pelan, rasa lelah yang aneh menyelimutiku. Apa ini yang disebut keluarga? Ikatan yang begitu rumit, penuh dengan kebencian namun masih menyisakan setitik kepedulian.

​Aku menyelipkan pisau belati itu di ikat pinggangku. Sebuah pengingat yang aneh dari rumah yang telah kuhancurkan.

Perjalanan ke selatan seperti perjalanan menuju neraka.

Jalanan yang biasanya tenang kini dipenuhi oleh arus manusia yang putus asa. Para pengungsi — petani, nelayan, pedagang — melarikan diri ke utara, wajah mereka penuh kengerian.

Beberapa membawa anak-anak yang menangis, yang lain memapah orang tua mereka yang terluka. Di arah yang berlawanan, pasukan militer dari para bangsawan sekitar berbaris ke selatan, wajah mereka tegang dan serius.

Dari kejauhan, aku bisa melihat gumpalan asap hitam membubung ke langit. Aku bisa mendengar suara ledakan sihir yang samar, seperti guntur di kejauhan.

Ini adalah perang. Nyata dan brutal.

Aku menatap wajah-wajah anak-anak pengungsi yang kami lewati. Di setiap wajah mereka, aku melihat bayangan dua anak dari mimpiku. Anak laki-laki berambut hitam. Anak perempuan berambut pirang madu.

Jangan biarkan mereka terbakar lagi.

Suara itu bergema di kepalaku, bukan lagi sebagai mimpi, tapi seperti tuntutan mimpi.

Setelah perjalanan yang merenggut sebagian keberanianku, kami akhirnya tiba di Silverwood.

Kota itu berada dalam kekacauan total. Para pejabat lokal benar-benar kewalahan. Para pengungsi membanjiri alun-alun kota, terluka, lapar, dan putus asa.

Ini adalah pemandangan yang telah kupersiapkan untuk hatiku.

"Kibarkan bendera Hartwin!" perintahku saat gerobak kami memasuki kota. "Kapten, amankan area di sekitar gudang kita! Tim medis, siapkan tenda perawatan! Tim dapur, nyalakan api dan mulailah memasak sup! Para pengantar pesan pergilah, menyebar ke semua posko santunan kita di sekitaran Atika, laporkan kepadaku yang terjadi di sana!"

"Baik, Nona!"

Pasukan yang telah kurekrut bergerak dengan efisiensi yang terlatih. Mereka gemetar, tetapi simpati mereka kokoh di hati. Dalam waktu kurang dari setengah jam, pos bantuan kami yang besar dan terorganisir telah berdiri menengahi kekacauan... atau menambahnya karena sekarang para pengungsi mulai berebut bantuan?

Tenda-tenda didirikan, sup hangat mulai dibagikan, dan para petugas medis mulai merawat yang terluka.

Aku melangkah keluar dari keretaku. Aku tidak bersembunyi. Aku harus tetap pada rencana awalku. Apapun yang terjadi, aku harus kuat.

Aku berjalan di antara para pengungsi, tanganku yang terbalut sarung tangan kulit membantu seorang wanita tua untuk minum, menenangkan seorang anak kecil yang kehilangan ibunya. Kehadiranku yang tenang dan perintahku yang jelas perlahan mulai menenangkan kepanikan.

Para pengungsi dan prajurit lokal mulai menatapku dengan tatapan baru. Bukan lagi tatapan pada seorang nona bangsawan yang rapuh, tapi tatapan pada seorang pemimpin.

Bangsawan yang mereka harapkan.

Aku akan mematri gambaran itu di hati mereka.

Menjelang sore, gelombang pengungsi baru yang lebih parah tiba. Mereka datang langsung dari pelabuhan, pakaian mereka compang-camping dan kulit mereka menghitam karena jelaga. Mereka membawa kengerian yang baru.

Seorang prajurit yang lengannya terluka parah, jatuh berlutut di depanku. "Sudah terlambat!" serunya, air mata mengalir di wajahnya yang kotor. "Perang sihir berkecamuk. Atika berubah menjadi medan perang. Para penyihir api... mereka membakar segalanya! Dermaga... distrik perumahan... bahkan..."

Dia terbatuk hebat, napasnya tersengal. "Bahkan Panti Asuhan Saint Jude... semuanya dilalap api!"

Nama itu. Saint Jude.

Nama itu menghantamku seperti pukulan di ulu hati. Napasku tersangkut. Untuk sesaat, semua suara di sekitarku mereda, digantikan oleh desisan api dan teriakan anak-anak dalam mimpiku.

Jangan biarkan mereka terbakar lagi.

Aku menatap ke arah selatan. Hari mulai senja, tapi cakrawala di arah itu tidak menggelap.

Langit di atas Pelabuhan Atika menyala dengan cahaya merah darah yang mengerikan, berdenyut-denyut seperti jantung iblis. Seluruh cakrawala tampak seperti sedang terbakar.

Aku telah menyelamatkan ratusan orang hari ini. Aku telah memberikan mereka makanan dan tempat berlindung.

Tapi untuk anak-anak itu, untuk hantu-hantu dari mimpiku...

Aku menatap api di kejauhan, hatiku terasa dingin seperti es.

"Aku terlambat..."

1
BlackMail
Makasih udah mampir.🙏
Pena Santri
up thor, seru abis👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!