NovelToon NovelToon
Runaways Of The Heart

Runaways Of The Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mafia / Cintapertama
Popularitas:238
Nilai: 5
Nama Author: Dana Brekker

Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.

Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.

Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.

Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.

Genre : Romansa Gelap

Written by : Dana Brekker

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 14

“Kamu beneran gak apa-apa?”

Sore itu mereka berdua berhadapan di depan studio. Nampaknya gadis itu masih tidak bisa memalingkan pandangannya dari kening laki-laki di hadapannya yang kini berlapis plester luka.

“Nggak apa-apa,” Darren berniat menenangkan gadis itu. “Yang penting kamu gak jatuh.”

Viena malah makin cemas dengan jawabannya. Dia berjinjit sedikit, mengusap sisi plester di kening Darren dengan jempolnya. “Aku takut kalau lukanya cukup dalem.”

Tentu Darren tidak pernah menyangka bila gadis polos itu dengan spontan menyentuh keningnya. Heran rasanya melihat Darren Myles Aksantara membiarkan Viena melakukan semua yang dia mau. Tanpa menepis, tanpa mengelak, apalagi menolak.

“Cuma memar sedikit—”

“Memar tetap memar!”

“Besok juga pasti sembuh.”

“Kayaknya aku memang pembawa sial,”  gerundel Viena yang kini duduk di bangku depan studio, menyelaraskan pandangannya dengan Darren.

Darren mencermati gadis itu sebentar sebelum ikut duduk di sampingnya. “Pesta malam itu?”

“Kenapa?”

“Setelah aku cekcok dengan kakakku, kita pergi bertiga dengan Calista untuk berkeliling taman,” tutur Darren. “Aku tahu kamu pasti canggung dan grogi banget, tapi kamu malah yang membuat adikku lebih banyak tertawa daripada aku.”

“Aku cuma ngelakuin itu karena kue buatan adikmu memang enak banget, selain itu orangnya cantik banget dan lucu.”

“Tetep aja, kan.” Darren menatap Viena kali ini. “Tolong jangan merasa terlalu bersalah, karena aku di sini yang butuh kamu, bukan sebaliknya.”

Mata Viena berkaca-kaca kala membalas tatapan Darren, lalu menunduk, kedua tangannya saling menggenggam di pangkuan. Dia tahu Darren sedang berusaha untuk meyakinkannya. “Aku cuma takut ngerepotin kamu lagi kedepannya.”

“Kamu belum ngerepotin apa-apa,” sahut Darren, tanpa jeda. “Yang tadi itu cuma apes?”

“Darren… ,” Viena urung melanjutkan, suara macet di tenggorokan. Mau ngomong saja rasanya terlalu memalukan bagi gadis itu. Terlebih jarak mereka yang begitu dekat. “Aku beneran gak biasa diperlakukan sebaik ini.”

Pemuda itu menoleh, keningnya sedikit berkerut. “Kamu ngomong seolah-olah hal baik itu sesuatu yang bahaya banget.”

“Buat aku iya.” Viena tersenyum hambar. “Kalau ada yang baik, ujung-ujungnya pasti minta imbalan. Atau… nuntut yang aneh-aneh. Meskipun aku tau kamu gak kayak gitu. Dari sisi aku sendiri pun sama. Bisa aja aku ngelakuin sesuatu yang gak kamu suka nantinya.”

“Dengerin.” Darren bersandar, menatap lurus ke depan, tidak lagi ke wajah gadis di sampingnya. “Aku di posisi yang butuh bantuan. Kamu yang kerja bantuin aku, bukan aku yang ngasih belas kasihan. Jadi tolong jangan putar balik logika itu ke arah yang bikin kamu takut.”

Viena menelan ludah. “Kok jadi begini?” Bukanlah pertanyaan utama gadis itu. Viena masih tenggelam, bertanya-tanya kenapa dirinya bisa diperlakukan sebaik ini oleh seorang laki-laki yang belum lama dekat dengannya. Apakah lagi-lagi karena parasnya? Viena nyatanya gak sebodoh itu. Bahkan bapak-bapak duda pun tidak pernah ada yang melirik ke arahnya setelah resmi memutuskan berkamuflase dengan kacamata bundar nan tebal itu. Laki-laki seperti Darren tentu saja memiliki selera langit ke tujuh, atau setidaknya satu level di bawah itu.

“Aku cuma gak mau kamu nyesel,” gumamnya. “Takutnya suatu hari nanti kamu sadar aku lebih banyak bikin masalah daripada ngebantu. Kamu tahukan, riwayatku yang gonta-ganti pekerjaan?”

“Kalau aku nanti nyesel, itu urusan nanti. Bukan hari ini.” Darren menoleh kembali, mengunci tatapannya ke gadis di sampingnya. Mendesah pelan sekali. Viena bisa merasakan keseriusan pemuda itu. “Hari ini, aku pilih tetap ada di sini sama kamu. Jadi tolong kerja samanya, ya. Kamu gak perlu mikir terlalu jauh. Aku tahu kamu tipe orang seperti apa.”

Ucapan itu membuat napas Viena goyah. Bukan karena ucapannya terkesan ngegombal, tapi justru karena tidak terasa seperti itu sama sekali. Darren itu unik, Viena sudah menarik kesimpulan. Dia menatap tapi tidak mesum, dia berucap tapi tidak pula demikian. Dia berbeda sekali dengan sifat bos-bosnya dulu. Entah kenapa, sialnya kebaikan Darren justru menjadi halangan baginya untuk lanjut.

Viena teringat perkataan kakaknya di telpon pada malam itu. Keras, sakit, namun ada benarnya.

“Kenapa kamu segitunya yakin sama orang yang kamu bahkan baru kenal beberapa hari?” tanya Viena setelah jeda panjang. Pertanyaan yang sejak tadi dia timbang-timbang. Pertanyaan yang selalu dia lontarkan ke pemuda itu tanpa rasa bosan sedikitpun.

Perkataan itu menghantam tepat sasaran. Darren tidak langsung jawab, bibirnya sempat terbuka tapi kembali tertutup. “Pokoknya besok tetap masuk, titik,” ujarnya, tersenyum miring. Terkesan antagonis, namun entah bagaimana Viena suka senyuman barusan.

Adapun sore itu hembusan angin di sana terasa sejuk, seharusnya lembab karena musim hujan? Viena dan Darren nyatanya tidak menggerutu soal itu. Mereka menikmati setiap momen, terutama Viena. Dia tahu dia membutuhkan pekerjaan ini. Dia melihat banyak kebaikan yang akan terjadi selama dirinya berkomitmen untuk percaya pada pemuda Aksantara itu. Walau di sisi lain hati, dia masih berpikiran jika dirinya mengikuti jalan yang dibukakan Darren untuknya hanyalah semata-mata karena dia tersesat, dan ini satu-satunya pilihan. Satu-satunya jendela saat seluruh pintu dirumahnya ditutup rapat-rapat.

“Viena! Bokap gue udah dateng. Parkirnya di ujung gang,” lapor Sita berlari kecil dengan membawa kantong belanjaan dari minimarket di ujung jalan.

“Udah selesai belanjanya?” Viena berdiri melihat sahabatnya telah kembali, meraih tasnya yang berisi dokumen-dokumen penting. Semuanya juga sudah dilihat oleh Darren.

Darren ikut bangkit, menatap mereka bergantian. “Serius kalian gak mau aku antar? Udah sore, hujan mau turun lagi.”

Viena menggeleng. “Enggak usah, aku pulang bareng Sita. Aku datang ke sini juga buat kerja. Ntar makin ngerepotin.”

Sita yang dari tadi terburu-buru lantas membuka kantongnya, mengeluarkan satu kotak es krim vanilla ukuran keluarga.

“Nih.” Ia sodorkan ke Darren. “Buat… permintaan maaf.”

“Ini banyak banget.” Darren menerima kotak es krim itu. “Minta maaf karena?”

Yang ditanya langsung mandek, gagap, matanya lari ke arah Viena lalu balik lagi.

“E-etooo… sumimasen, Darren-senpai… kore… watashi-tachi no owabi desu…” ucapnya patah-patah. “Jangan pecat Viena, onegai… .”

Gak banyak basa-basi Viena langsung menyikut pinggang gadis cebol yang dengan gagapnya meminta maaf. Bukankah rencana tadi adalah rencana rahasia? Beruntung Darren orangnya tidak menganggap serius hal-hal semacam itu.

Pemuda itu nyaris tersedak tawa walaupun ketara sekali dia tahan-tahan. “Aku gak ada niat buat pecat siapa pun.”

Sebaliknya dengan Viena yang mendesah berat karena malu, Sita malah masih membungkuk ala orang Jepang minta maaf. Memelas, lagi dan lagi. “Yoroshiku onegaishimasu… jangan pecat dia, senpai…!”

“Gue pecat lu dari jadi temen gue kalau gak bisa tutup mulut,” desis Viena di sela giginya. “Maaf, temenku yang satu ini memang suka malu-maluin.”

Darren menggaruk belakang kepalanya sebelum memindahkan kotak es krim ke kursi. “Aku terima es krimnya. Kalian buruan pulang keburu hujan. Hati-hati di jalan.”

Viena sempat membuka bibirnya kala itu, namun dia urungkan niat. “Kamu juga.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!