Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.
Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senyum Kecil
Aruna bergegas keluar dari ruang klub, berjalan di samping Nadia yang masih semangat membahas soal-soal matematika yang "bikin otak panas tapi seru". Tapi sebelum sempat melanjutkan obrolan, seseorang muncul dari lorong dan hampir saja menabrak mereka.
“Eh! Hati-hati dong, Pak!” seru Nadia refleks.
Bagas—atau lebih tepatnya Pak Raden—langsung berhenti, menatap mereka berdua. Ia tampak terburu-buru.
“Oh, maaf. Aku... maksud saya—saya harus cepat,” ucapnya sambil melirik Aruna sejenak lalu pergi lagi, seperti roket tanpa arah.
Nadia menoleh ke Aruna dengan mata menyipit. “Dia punya janji sama pacarnya ya?”
Aruna terkekeh. “Pacar? Mana ada. Pak Raden itu... nggak punya pacar. Percaya deh.”
Nadia makin bingung. “Ih, kamu ngomongnya kayak... kenal dekat banget.”
Aruna langsung memutar otak, “Nggak, cuma... feeling aja. Guru kayak gitu pasti terlalu sibuk buat cinta-cintaan.”
Nadia mendesah. “Oke deh. Aku jadi makin penasaran sama guru killer satu itu.”
Aruna tersenyum kecut. “Jangan terlalu penasaran. Nanti bisa nyesel.”
Di rumah, Aruna bersantai di kamarnya. Musik mengalun pelan dari speaker kecil. Ia menatap langit-langit sambil iseng membalik-balik halaman buku komik, pikirannya sudah melayang entah ke mana—entah ke bunga-bunga di rumah kaca, atau ke kalimat "partner guru killer" yang membuat pipinya memanas sendiri.
Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.
Tok tok tok.
“Ini Papa,” suara Pak Agam terdengar.
Pintu terbuka, Pak Agam muncul dengan wajah lebih serius dari biasanya.
“Papa?” Aruna bangkit duduk.
Pak Agam melangkah masuk. “Sayang... Papa baru dapat kabar. Ibunya Bagas... jatuh sakit. Sekarang dibawa ke rumah sakit.”
Aruna langsung menegakkan tubuh. “Hah? Sakit apa?”
“Belum tahu pasti. Tapi sebaiknya kamu ikut Papa sekarang. Kita jenguk, ya.”
Aruna berdiri, masih menyerap kabar itu. “Mungkin Tante Widuri butuh istirahat, Pa. Kita menjenguknya besok.”
"Aruna, nggak bisa gitu. Sekarang kita keluarga."
"Pa, dengar dulu."
“Kamu yang dengar Papa. Kamu tahu, Bu Widuri itu sudah seperti sahabat Papa dan Mama sejak dulu. Ia yang bantu menyelamatkan perusahaan kita pas bangkrut. Waktu kamu kecil, dia yang bantu Mama cari sekolah yang cocok buat kamu,” kata Pak Agam pelan.
Aruna menoleh, sedikit terkejut. “Aku nggak pernah dengar cerita itu.”
“Karena kamu nggak pernah mau denger,” jawab Pak Agam sambil tersenyum kecil.
“Papa tunggu. Lima menit lagi. Papa tunggu di bawah.”
Di dalam kamar, Aruna berdiri di depan cermin sambil merapikan rambut. Ia menatap pantulan wajahnya, menghela napas pelan. “Break yang nggak ada artinya,” gumamnya. Ujung-ujungnya tetap harus lihat Bagaskara juga.
Dari bawah, suara Pak Agam terdengar, “Aruna! Lima menit, ya!”
Aruna meraih jaketnya dan tas kecil. “Keluarga, katanya...” pikirnya sambil melangkah keluar kamar.
Aruna berdiri terpaku di depan cermin, bibirnya merengut pelan. Ia mengikat rambutnya cepat-cepat lalu mengambil blazer, memaksakan diri untuk tidak membanting pintu lemari saking kesalnya.
“Break yang nggak berguna...” gumamnya. “Tetap aja harus lihat Bagaskara lagi.”
Di bawah, Pak Agam menunggu dengan sabar sambil membuka ponselnya. Saat mendengar langkah kaki Aruna, ia menoleh, tersenyum tipis.
“Papa tahu kamu nggak suka, tapi Bu Widuri itu orang baik. Sekarang dia sakit, dan kita... ya, bagian dari keluarganya.”
Aruna menghela napas panjang. “Keluarga. Itu yang selalu jadi alasan Papa, ya?”
Pak Agam tak menjawab, hanya membuka pintu mobil untuknya.
Di dalam mobil, perjalanan ke rumah sakit terasa lebih senyap dari biasanya. Aruna menyandarkan kepala ke jendela, menatap lampu jalan yang berganti cepat. Di sela pikirannya yang berisik, ada satu pertanyaan muncul: Kenapa ia tidak bisa sepenuhnya membenci Bagas?
Mobil berhenti di depan lobi rumah sakit. Pak Agam keluar lebih dulu. Aruna turun dengan langkah berat, berusaha menyiapkan wajah netral seperti yang selalu ia latih di cermin.
Saat mereka berjalan melewati lorong rumah sakit, Aruna bertanya pelan, “Apa... Bagas tahu kita mau datang?”
Pak Agam menoleh sedikit. “Mungkin. Tapi kamu nggak datang untuk dia. Kamu datang karena Bu Widuri.”
Hening beberapa detik.
“Dan soal reputasi,” lanjut Pak Agam, “Papa nggak pernah suruh kamu jadi ‘calon menantu sempurna’. Papa cuma pengin kamu belajar menghargai hubungan.”
Aruna tak langsung membalas. Ia menggigit bibirnya sebentar, lalu berkata pelan, “Tapi aku belum siap jadi bagian dari keluarga siapa pun, apalagi dengan dia.”
Pak Agam mengangguk pelan. “Papa ngerti. Tapi hidup bukan soal siap atau nggak, kadang kita cuma perlu belajar jalanin.”
Aruna mengangguk kecil, dalam hati tetap berharap Bu Widuri sedang tertidur—karena akan lebih mudah menghindari percakapan yang penuh basa-basi. Namun di balik pintu ruangan 304, siapa pun bisa saja menunggu... termasuk lelaki yang berhasil membuat jantungnya berdebar dan emosinya meledak-ledak dalam satu waktu.
Lima menit. Habis itu bisa pulang, pikirnya.
Tapi di balik semua itu, diam-diam ada satu suara kecil dalam hatinya yang bertanya—kalau Bagas benar-benar sedih... apa aku bisa tetap pura-pura tak peduli?
Ruangan rumah sakit itu tenang, hanya terdengar bunyi mesin infus dan embusan AC yang lembut. Pak Pratama berdiri, menjabat tangan Pak Agam sambil tersenyum ramah.
“Terima kasih sudah datang, Pak Agam. Maaf merepotkan.”
“Ah, mana ada merepotkan, Pak Pratama. Keluarga sendiri ini,” sahut Pak Agam bersahabat.
Aruna ikut mendekat ke sisi tempat tidur. Ia tersenyum sopan pada Bu Widuri yang berbaring dengan selimut putih menutupi tubuhnya.
“Selamat malam, Tante... Semoga cepat pulih ya,” ucap Aruna dengan suara lembut tapi terukur.
Bu Widuri mengangguk pelan, menepuk tangan Aruna dengan penuh kasih sayang.
“Terima kasih, Nak Aruna... Tante senang kamu bisa datang.”
Aruna mengangguk sopan. Matanya bergerak cepat mengamati sekitar ruangan—meja kecil dengan termos air panas, kantong obat di pojok, kursi pengunjung. Tapi satu hal yang membuatnya sadar: Bagas tidak di sini.
Melihat gerakan matanya, Bu Widuri tersenyum kecil.
“Lagi cari Bagas, ya?”
Aruna sedikit terkesiap lalu cepat-cepat membetulkan posisi berdirinya. “Nggak kok, Tante. Kami... sudah ketemu di sekolah.”
“Oh iya, kalian satu sekolah sekarang ya?” sahut Pak Pratama. “Bagas cerita. Katanya Bagas ngajar di kelas Aruna.”
Pak Agam tertawa. Aruna hanya tersenyum simpul, ingin membantah tapi memilih diam.
"Bagas keluar sebentar, beli bubur sumsum,” lanjut Bu Widuri. “Itu kesukaan Tante kalau lagi begini.”
Aruna mengangguk, berusaha tampak mengerti meski dalam hati ada suara kecil yang berkata: Jadi, sekarang Mas Bagas juga pandai beli perhatian dengan bubur sumsum?
Ia menarik napas perlahan dan berdiri di sisi tempat tidur, mencoba fokus pada Bu Widuri. Bagas boleh tidak ada untuk sementara. Tapi instingnya tahu—waktu mereka akan selalu saling tarik-menarik.
Pintu ruangan terbuka perlahan.
Bagas melangkah masuk dengan plastik putih berisi bubur sumsum di tangannya. Begitu matanya menangkap sosok Aruna berdiri di sisi tempat tidur, langkahnya sedikit melambat.
“Aruna?” gumamnya pelan, lebih ke dirinya sendiri.
Aruna hanya melirik sekilas, buru-buru mengalihkan pandangan ke vas bunga di pojok ruangan seolah itu benda paling menarik sedunia.
Bagas mendekat dan menyodorkan bubur itu ke ibunya. “Ini buburnya, Bu. Mau dimakan sekarang, Bu? Kursinya bisa aku naikan.”
“Terima kasih, Nak. Nanti Ibu makannya.” Bu Widuri tersenyum senang. Ia menerima bubur itu sambil melirik ke Aruna dan kembali ke putranya. “Eh, kamu nggak mau menyapa Aruna?”
Bagas terdiam sepersekian detik, lalu matanya bergerak ke arah Aruna. Sorotnya tenang, sedikit dingin, seperti biasanya.
“Halo,” ucapnya singkat.
Aruna tersentak kecil, tidak menyangka disapa, meski nada Bagas seperti menyapa tetangga kompleks yang baru pulang dari luar negeri tapi lupa nama.
Ia menarik napas pendek. “Halo juga, Mas... Raden,” sahutnya cepat, seperti menegaskan jarak yang baru saja dia ciptakan kembali.
Pak Agam dan Pak Pratama hanya saling lirik dan tersenyum kecil. Suasana kembali tenang, tapi Aruna bisa merasakan getar tak kasat mata di udara.
Ia melirik Bagas. Entah kenapa, melihat laki-laki itu bersikap lembut ke ibunya tadi, hatinya seperti meremang sesaat—sekilas. Tapi cepat ia tangkis sendiri.
"Itu cuma bubur sumsum, bukan pertanda cinta." Batin Aruna sambil memperbaiki letak tas kecil di pundaknya.