Naya yakin, dunia tidak akan sekejam ini padanya. Satu malam yang buram, satu kesalahan yang tak seharusnya terjadi, kini mengubah hidupnya selamanya. Ia mengira anak dalam kandungannya adalah milik Zayan—lelaki yang selama ini ia cintai. Namun, Zayan menghilang, meninggalkannya tanpa jejak.
Demi menjaga nama baik keluarga, seseorang yang tak pernah ia duga justru muncul—Arsen Alastair. Paman dari lelaki yang ia cintai. Dingin, tak tersentuh, dan nyaris tak berperasaan.
"Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anak ini sendiri!"
Namun, jawaban Arsen menohok.
"Kamu pikir aku mau? Tidak, Naya. Aku terpaksa!"
Bersama seorang pria yang tak pernah ia cintai, Naya terjebak dalam ikatan tanpa rasa. Apakah Arsen hanya sekadar ayah pengganti bagi anaknya? Bagaimana jika keduanya menyadari bahwa anak ini adalah hasil dari kesalahan satu malam mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 DBAP
Naya berusaha melepaskan genggaman tangan Arsen, namun genggaman itu terlalu kuat. Bukan hanya kuat secara fisik, tapi juga sarat makna seolah Arsen ingin berkata kepada dunia, aku tidak akan melepaskan Naya, apapun yang terjadi. Aku akan tetap di sini, bersamanya. Melindunginya.
"Kak, sekali lagi aku tegaskan... jangan pernah berkata seperti itu lagi ke Naya!" suara Arsen terdengar tegas, tapi bergetar. Ada emosi dalam nadanya, amarah, ketegangan, dan luka yang mendesak keluar dari dadanya.
Puput memijat pelipisnya yang mulai nyeri, mencoba berpikir jernih meski pikirannya kalut. "Ar... kamu..." bisiknya pelan. Tak ada lanjutan. Ia terdiam, terjebak dalam keterkejutan. Ia tak percaya adiknya sendiri mengakui bahwa dirinya yang tidur dengan Naya dan lebih mengejutkan lagi membuatnya hamil.
Tapi... bagaimana mungkin? Bukankah selama ini sudah jelas kalau Arsen itu... mandul?
"Naya, bilang sama kita... siapa ayah dari bayi itu?" desak Puput. Suaranya terdengar keras dan dingin. Ia tak memikirkan lagi perasaan Naya. Yang penting sekarang hanyalah kebenaran meskipun disampaikan dengan cara yang menyayat.
"Kakak!" bentak Arsen tajam, melindungi Naya. Ia menatap kakaknya penuh amarah. "Jangan tanya dia dengan cara seperti itu!"
"Ar, kamu tahu kondisi kamu sendiri! Kamu mandul! Jadi kalau sekarang Naya hamil... apa kamu yakin itu anak kamu? Kamu nggak bisa asal ambil keputusan begini! Kamu harus berpikir pakai logika!"
Naya yang sejak tadi diam dan menahan segala tuduhan akhirnya bicara. Suaranya pecah oleh kepedihan yang dalam.
"Jadi... di mata kalian, aku ini perempuan murahan?"
Ia menatap Puput, mata yang dulu segan padanya, kini penuh luka dan kecewa.
"Apa ini nasibku? Aku nggak pernah minta semua ini. Dua puluh dua tahun hidupku susah, hidup pas-pasan sama ibu. Tapi aku jaga diriku. Aku nggak pernah menjual kehormatanku. Tapi sekarang? Hidupku jungkir balik dalam sebulan. Dan tahu kenapa? Karena Zayan Alastair, anakmu, Bu Puput!"
Naya menarik napas, mencoba menahan isaknya.
"Dan yang lebih menyakitkan... aku tidur dengan pamannya, tanpa aku tahu siapa dia. Lebih gila lagi, aku hamil... dari pria yang katanya mandul! Siapa yang mau dengar penjelasan kayak gini? Semua orang sibuk membenarkan pikirannya sendiri. Dan aku... aku yang perempuan... yang hamil sendirian... justru dituduh macam-macam. Dan yang nuduh aku... sesama perempuan."
Hening. Tegang. Berat.
Naya menunduk sejenak, lalu mendongak dengan tatapan pasrah. Suaranya lebih tenang, tapi tubuhnya masih bergetar.
"Aku sudah bilang ke Paman Arsen. Demi menjaga nama baik keluarga kalian... aku bersedia tes DNA."
Naya akhirnya melepaskan genggaman tangan Arsen. Suara detaknya sendiri menggema di telinganya saat ia mundur satu langkah… lalu dua… dan berbalik pergi.
Langkahnya cepat menuju pintu, meski tubuhnya masih gemetar. Arsen refleks bergerak.
“Naya—”
Namun gadis itu sudah keluar lebih dulu. Arsen menoleh ke arah Puput yang masih terpaku di tempatnya, lalu tanpa pikir panjang ia menyusul keluar, memanggil namanya.
“Naya! Tunggu... Naya!”
Langkah kakinya menggema di sepanjang lorong, beradu dengan deru napasnya yang tak beraturan. Hujan rintik mulai turun dari langit kelabu, seakan ikut meresapi beratnya emosi yang baru saja pecah. Saat akhirnya Arsen tiba di depan gerbang, ia menemukan Naya berdiri di sana terbungkuk sedikit, memeluk tubuhnya sendiri, wajah tertunduk dalam diam.
“Nay,” panggil Arsen lembut sambil mendekatinya, nada suaranya dipenuhi kekhawatiran.
Namun sebelum ia bisa mengulurkan tangan, tubuh Naya tiba-tiba oleng ke samping. Wajahnya pucat, matanya sayu dan di detik berikutnya, tubuh itu jatuh tak berdaya ke arah tanah.
“Naya!”
Dengan refleks cepat, Arsen menangkap tubuh mungil itu sebelum sempat terjatuh ke tanah yang sudah basah oleh hujan. Hujan mengguyur semakin deras, seolah langit pun ikut merasakan getirnya malam itu. Arsen memeluk Naya erat dalam dekapannya, melindungi tubuh lemah itu dari dinginnya angin dan hujan.
Tepat saat itu, sebuah mobil berhenti di tepi jalan. Dito turun tergesa dari kursi kemudi dan segera membuka pintu belakang.
“Cepat masuk!” serunya.
Tanpa membuang waktu, Arsen membawa Naya masuk ke dalam mobil. Dito segera melajukan kendaraan itu menjauh, meninggalkan suasana penuh ketegangan di belakang mereka.
Dari balik jendela salah satu kamar di lantai atas, Roki mengamati semuanya dengan rahang mengeras. Matanya menyipit, dan tinjunya mengepal kuat.
“Sial... kenapa malah berantakan begini?” desisnya penuh amarah. Ia sempat berpikir bahwa situasi barusan akan membuat Puput memisahkan Arsen dan Naya. Tapi kenyataannya justru sebaliknya, hubungan mereka malah semakin erat.
Wajah Roki menggelap. Ia merogoh ponselnya, menekan nomor Bella. Tak butuh waktu lama, panggilannya langsung tersambung.
"Apa yang kamu lakukan?" hardiknya tajam, tanpa basa-basi.
Di seberang, suara manja dan santai langsung menyambut.
“Lagi perawatan, dong. Setelah dikasih uang, masa nggak aku manfaatin? Lagian ini juga buat kamu. Kalau aku bersih, rapi, dan wangi, kamu makin semangat di ranjang, kan?”
"Tutup mulutmu!" geram Roki, suaranya menegang.
Bella hanya terkekeh pelan. “Ya ampun, baper banget sih. Emangnya kenapa, sayang?”
"Aku izinkan kamu datang ke sini bukan untuk bersenang-senang," desis Roki, nada suaranya dingin dan penuh tekanan. "Tugasmu cuma satu, buat Arsen dan Naya pisah. Titik."
“Iya, iya… tenang aja. Aku punya rencanaku sendiri,” balas Bella santai, meski suaranya menyimpan nada licik.
Roki mendengus kesal lalu langsung memutus sambungan telepon. Matanya menatap kosong ke depan, sementara pikirannya perlahan ditarik kembali ke masa tujuh tahun silam.
Saat itu, untuk pertama kalinya ia melihat Bella, cantik, muda, dan menggoda. Di usianya yang nyaris empat puluh, di tengah masa puber keduanya, pesona Bella seakan menjadi pelarian dari kejenuhan rumah tangga bersama Puput. Niat awalnya sederhana, mendapatkan Bella. Namun, ketika ia mengetahui kenyataan jika Bella adalah calon istri adik iparnya ia tak tinggal diam.
Dengan licik, ia mulai menyusun rencana. Ia memalsukan surat medis yang menyatakan bahwa Arsen mandul dan menggoda Bella dengan memberikan banyaknya harta. Dan itu sukses membuat Bella berpaling dari Arsen lalu pernikahan itu gagal.
Namun, seiring waktu, obsesinya berkembang menjadi ambisi buta. Ia ingin memastikan Arsen tidak hanya gagal menikah, tapi juga tidak pernah memiliki keturunan. Dengan begitu, seluruh harta dan warisan keluarga besar itu akan berpindah ke tangan Zayan, anak kandungnya.
Sayangnya, rencananya mulai kacau. Semua menjadi berantakan sejak kehadiran Naya, gadis tak dikenal yang tiba-tiba masuk ke dalam pusaran hidup mereka. Dan semua itu… bermula dari kebodohan Zayan sendiri lalu tanpa terduga dia hamil anak Arsen.
Roki tersentak pada ingatan itu, dan ia tahu Bella juga sudah mulai bosan dengan hubungan diam-diam ini, untuk itu ia akan membuat rencana cadangan jika Bella tidak bisa menyelesaikan tugasnya.
"Jika aku tidak bisa memisahkan kalian berdua, aku akan membuat anak itu tidak akan pernah muncul di dunia ini."
terimakasih