Dion terpaksa menikahi wanita yang tidak cintainya karena perjodohan yang diatur orang tuanya. Namun kehidupan pernikahannya hancur berantakan dan membuatnya menjadi duda.
Selepas bercerai Dion menemukan wanita yang dicintai dan hendak diajaknya menikah. Namun lagi-lagi dia harus melepaskan wanita yang dicintainya dan menuruti keinginan orang tua menikahi wanita pilihan mereka. Demi menyelamatkan perusahaannya dari kebangkrutan, akhirnya Dion bersedia.
Pernikahan keduanya pun tidak bisa berlangsung lama. Sang istri pergi untuk selamanya setelah memberikan putri cantik untuknya.
Enam tahun menduda, Dion bertemu kembali dengan Raras, wanita yang gagal dinikahinya dulu. Ketika hendak merajut kembali jalinan kasih yang terputus, muncul Kirana di antara mereka. Kirana adalah gadis yang diinginkan Mama Dion menjadi istri ketiga anaknya.
Kepada siapa Dion melabuhkan hatinya? Apakah dia akan mengikuti kata hati menikahi Raras atau kembali mengikuti keinginan orang tua dan menikahi Kirana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan Kedua
Sesampainya di ballroom, semua keluarga pasangan pengantin sudah berkumpul. Penghulu yang akan menikahkan mereka juga sudah datang. Kedua pria itu segera menuju meja akad yang ada di dekat panggung pelaminan. Seorang petugas KUA berusia lima puluh tahun lebih nampak tengah memeriksa dokumen calon pengantin. Kepalanya terangkat ketika Dion mendudukkan diri di hadapannya.
“Ini calon pengantin prianya?”
“Iya, Pak.”
“Nama lengkap Dion Aprilio?”
“Betul.”
“Pasti lahirnya bulan September.”
Candaan receh penghulu tersebut tak ayal membuat Dion tersenyum juga. Apa yang dilakukan pria itu berhasil mengusir kegundahannya menghadapi pernikahan keduanya.
“Ada pepatah tak kenal maka tak sayang, jadi lebih baik kita berkenalan dulu sebelum akad berlangsung. Nama saya Rahman Badarudin Surahman.”
Pria bernama Rahman itu mengulurkan tangan pada Dion seraya menyebutkan namanya. Dion pun segera membalas uluran tangan sang penghulu. Baru sekarang dia melihat penghulu memperkenalkan dirinya. Pada pernikahan pertamanya, penghulu yang menikahkannya tidak banyak bicara dan wajahnya cenderung serius. Berbeda dengan Rahman yang terlihat ramah dan banyak tersenyum.
“Usianya 25 tahun. Masih cukup muda ternyata. Eh statusnya duda. Masih muda sudah jadi duda.”
“Namanya juga perjalanan hidup, Pak.”
“Kalau mendengar kata duda, saya jadi ingin membuat pantun. Apa boleh?”
“Silakan Pak.”
“Sang baginda Raja memberi titah. Menyiapkan jamuan untuk tamu kerajaan. Memang benar apa kata pepatah, kalau duda semakin di depan.”
“Hahaha..”
Semua yang mendengar pantun yang dilontarkan penghulu tersebut sontak tertawa, tak terkecuali Dion. Selain ramah dan murah senyum, ternyata Rahman juga pandai membuat pantun.
“Duda memang semakin merajalela akhir-akhir ini. Dimulai dari presiden sampai gubernur kita, semuanya duda.”
“Hahaha…”
“Kang Dion selain masih muda, ganteng dan pastinya sudah mapan secara finansial.”
“In Syaa Allah, Pak.”
“Saya punya julukan yang tepat buat Kang Dion. Kang Dion si duren mantap.”
“Apa tuh artinya?” tanya Jamil, adik Letisha yang terkenal humoris.
“Duda Keren, Mapan dan Tampan.”
Hanya senyuman saja yang diberikan Dion seraya menggelengkan kepalanya. Penghulu di hadapannya ini senang sekali menggoda calon pengantin.
“Si duren mantap ini sebentar lagi akan jadi mantan duda. Sudah siap belum Kang, melepas masa dudanya?” tanya Rahman seraya menaik turunkan alisnya.
"In Syaa Allah siap, Pak.”
“Calon pengantin wanitanya sudah siap?”
“Sudah, Pak. Sedang menunggu di ruangan lain.”
“Baiklah kalau begitu, tidak usah berlama-lama kita langsung saja mulai akadnya. Kang Dion sepertinya sudah tidak sabar berganti status.”
Rahman mempersilakan Fendi yang duduk di sebelahnya untuk memulai jalannya akad. Pria itu segera menggenggam tangan calon menantunya dengan erat. Wajah Dion sedikit tegang, untuk kedua kalinya dia akan melepas masa sendirinya dengan wanita yang tidak dicintainya.
“Ananda Dion Aprilio, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri saya yang bernama Letisha Anindya Pradhana dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan satu set perhiasan emas seberat lima puluh gram dibayar tunai!”
“Saya terima nikah dan kawinnya Letisha Anindya Pradhana binti Fendi Pradhana dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!”
“Bagaimana para saksi, sah?”
“Sah!”
“Alhamdulillah sah. Sudah berpengalaman ijab kabul, malu atuh kalau salah.”
Candaan Rahman sedikit bisa mengurai ketegangan yang dirasakan Dion dan Fendi. Pria paruh baya itu terharu ketika Dion berhasil mengucapkan kalimat kabul dengan lancar. Sekarang tanggung jawabnya akan sang putri sudah berpindah ke pundak Dion.
Dari arah ruangan kecil yang ada di ballroom, muncul Letisha ditemani oleh Sinta dan Marina. Wanita itu nampak anggun dalam balutan kebaya sunda berwarna coklat muda. Warna yang sama dengan beskap yang dikenakan suaminya. Sinta mendudukkan Letisha tepat di samping Dion, pria yang sudah sah menjadi suami putrinya.
“Istrinya ayu dan manis seperti ini. Pantas kalau Kang Dion sudah ngga sabar untuk menikah.”
Ucapan Rahman hanya dibalas senyuman kecil dari Dion. Tanpa melihat pada istrinya, Dion mengambil kotak beludru lalu mengeluarkan sebuah cincin dari dalamnya. Dia menyematkan cincin tersebut pada jari manis Letisha. Ketika Letisha memakaikan cincin ke jari manisnya, kepala Dion masih tetap menunduk. Dia masih belum mau melihat pada istrinya.
Letisha meraih tangan Dion lalu mencium punggung tangannya dengan takzim. Sejenak Dion terdiam, baru kemudian membalas apa yang dilakukan sang istri dengan memberikan ciuman di keningnya. Pasangan tersebut mengubah posisi duduknya menghadap ke depan, kemudian menanda tangani dokumen pernikahan.
“Foto dulu ya sambil memperlihatkan buku pernikahan dan cincin pernikahan,” sang fotografer memberi arahan.
Kompak keduanya memegang buku pernikahan sambil memamerkan cincin pernikahan di jari manis masing-masing. Letisha menyunggingkan senyuman manisnya ketika fotografer mengabadikan pasangan pengantin tersebut, berbeda dengan Dion yang tidak menampilkan senyuman. Kamal yang menyaksikan itu, mengepalkan tangannya. Pria itu benar-benar tidak menyukai ekspresi wajah Dion saat ini.
“Teteh Letisha, panggilannya apa?”
“Leti.”
“Teh Leti tidak masalah kan dengan status Kang Dion?”
“Tidak, Pak.”
“Maaf, apa Kang Dion sudah memiliki anak?”
“Belum, Pak.”
“Sekarang Akang sudah bisa kalau mau membuat Kang Dion atau Teh Leti kemasan mini, sudah ada lawan dan sudah sah.”
Tak ayal Letisha tertawa mendengar guyonan Rahman. Namun sekali lagi, Dion tidak menunjukkan ekspresi apapun.
“Di live TikTok ada mimi peri. Lagi nyalon jadi bupati. Kalian sekarang sudah jadi suami istri. Bulan madu sudah menanti.”
“Cakep.. lagi Pak.”
“Ke pasar malam main ombak banyu. Pulangnya beli mie gacoan. Teh Leti begitu manis dan ayu. Membuat Kang Dion sudah tak tahan.”
“Terus, Pak.”
“Ini pantun buat Teteh Leti. Dengarkan baik-baik ya, Teh.”
Hanya anggukan kepala saja yang diberikan Letisha. Tidak disangka penghulu yang menikahkannya ternyata pintar membuat pantun. Wanita itu tidak sabar ingin mendengar pantun yang dibuat untuknya.
“Pergi ke sekolah untuk belajar. Bawa bekal nasi rendang. Ayo Akang kita ke kamar. Aku tidak sabar ingin digoyang.”
Sontak wajah Letisha langsung memerah mendengar pantun yang terlontar. Wanita itu menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan semburat merah yang menghiasi wajahnya.
“Nah kalau sekarang jawaban dari Kang Dion. Biar lebih afdol Kang Dion ikuti pantun saya, oke?”
Bukan tanpa alasan Rahman meminta Dion mengikutinya. Pria itu menyadari kalau sejak Letisha datang, Dion langsung berubah pendiam. Tidak ada senyum lagi yang menghiasi wajahnya.
“Siap Kang Dion?”
“Siap, Pak.”
“Kang Dion duduknya menghadap Teh Leti terus pegang kedua tangannya sambil ditatap matanya.”
Mau tidak mau Dion mengubah posisi duduknya menghadap Letisha, begitu pula dengan wanita itu. Dia menggenggam kedua tangan istrinya sambil memandang padanya.
“Si Udin sedang belajar berdagang. Sebagai permulaan, berdagang pasta gigi. Mangga Kang.”
“Si Udin sedang belajar berdagang. Sebagai permulaan, berdagang pasta gigi,” ulang Dion.
“Jangan khawatir istri ku sayang. Aku siap menggoyang sampai pagi.”
Bukannya mengulangi, Dion malah melihat pada sang penghulu sambil membelalakkan matanya. Semua yang mendengar hanya bisa menahan senyum. Letisha lagi-lagi dibuat malu oleh pantun yang dibuat Rahman.
“Ayo Kang, ulangi. Tapi sambil lihat istrinya, jangan saya. Masa saya yang mau digoyang sampai pagi,” ujar Rahman sambil berusaha menahan senyum.
“Lupa lagi, Pak.”
“Jangan khawatir istri ku sayang. Aku siap menggoyang sampai pagi.”
“Jangan khawatir istri ku sayang. Aku siap menggoyang sampai pagi.”
“Hahaha..”
Akhirnya pecah juga tawa orang-orang yang menyaksikan akad. Letisha melepaskan tangannya dari genggaman Dion lalu mengubah posisi duduknya. Dia terlalu malu melihat pada Dion setelah mendengar pantun yang dilontarkan. Dion pun hanya bisa mengusap tengkuknya untuk mengusir rasa malu. Rahman pun tersenyum senang melihat sikap Dion yang sudah tidak sekaku tadi.
Usai berhasil mempermalukan penghulu dengan pantun nyelenehnya, Rahman segera memberikan tausyiah untuk pasangan pengantin. Pria itu menekankan tentang kewajiban suami istri dalam hidup berumah tangga. Letisha mendengarkan dengan sungguh-sungguh apa yang disampaikan sang penghulu. Dia akan mengingat betul apa yang didengarnya dan berusaha menjalankan sebaik mungkin. Tapi apa mungkin Dion akan melakukan hal sama padanya?
Selesai pemberian tausyiah, pasangan pengantin menerima nasehat demi nasehat dari kedua orang tua. Dion mendekati kedua orang tuanya bersama dengan Letisha. Pahlevi segera menyambut mereka.
“Jadilah keluarga yang sakinah mawadah dan warohmah. Tunaikan kewajiban mu sebagai suami dengan baik karena ini adalah pilihan mu,” bisik Pahlevi di telinga Dion sambil memeluknya.
“Iya, Pa.”
“Mama akan selalu mendoakan kebahagiaan kalian. Jika ada masalah, jangan ragu mengadu pada Mama,” ujar Marina pada Letisha yang hanya dijawab anggukan kepala.
Setelah mendapat wejangan dari kedua orang tua Dion, sekarang pasangan pengantin mendekati Fendi dan juga Sinta.
“Sekarang tanggung jawab Papa sudah beralih pada Dion. Dia adalah imam mu sekarang,” Fendi mengusap punggung anaknya dengan lembut.
“Papa titipkan Leti pada mu, Dion. Sayangi dia dan jangan sakiti hatinya. Kalau kamu sudah tidak sanggup hidup bersamanya, kembalikan dia baik-baik pada Papa,” Fendi melihat pada Dion yang berdiri di dekatnya.
“Iya, Pa.”
Perlahan Letisha mengurai pelukannya. Sambil menghapus airmatanya, dia mendekati Sinta. Tangis Letisha kembali pecah ketika berhadapan dengan Ibu yang sangat disayanginya. Letisha menangis tersedu dalam pelukan Mamanya.
“Mama titip Leti pada mu. Jaga dia dan sayangi dia seperti kami menyayanginya. Leti sekarang tanggung jawab mu, jangan sakiti dia dan sia-siakan dirinya.”
Airmata Letisha semakin deras bercucuran mendengar nasehat yang dilontarkan Sinta untuk Dion. Wanita itu belum mau melepaskan pelukannya di tubuh sang Mama. Seakan tengah meminta kekuatan dari wanita yang sudah melahirkannya, agar dirinya sanggup menjalani bahtera rumah tangga bersama Dion yang dia tahu tidak akan mudah.
***
Siapa yang kangen sama Pak Rahman?🙋🏻♀️
Marahlah Raras kepada Susi yang merasa dia yang memperkerjakan Susi.
Ketika Raras bilang mau memecat Susi, Letisha sudah berdiri di belakang Susi dan berkata - kamu tidak berhak memecat pegawai di rumah ini.
Malu dong harusnya Raras dengan Letisha berkata begitu.