Yue menerima perjodohan itu dengan satu kata singkat. "Ya."
Bukan karena cinta, jauh dari itu. Dia hanya berpikir hidupnya akan seperti kisah di film atau novel yang sering dia tonton, klasik, klise, dan penuh drama. Seorang pria kaya raya yang dingin dan tak acuh, yang diam-diam mencintai wanita lain, dan hanya menikah karena tekanan keluarga. Lalu Yue akan menjalani hidup sebagai istri formal, tidak dicintai, tapi tetap hidup mewah. Simple.
Satu-satunya alasan Yue setuju hanyalah karena satu kata sakral, UANG. Dia realistis, bukan romantis. Tapi yang terjadi, sungguh berbeda.
Pria itu, Raymon Sanchez tidak sesuai skrip. Sejak hari pertama mereka bertemu, bukan tatapan datar yang dia terima, melainkan pandangan tajam seolah dia adalah teka-teki yang ingin dia pecahkan. Bukan sikap acuh, tapi perhatian yang menusuk hingga ke tulang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Romanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Pria Ini Sakit
Yue langsung membuka pintu mobil begitu roda kendaraan itu berhenti sempurna di depan lobi apartemennya, dia bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih ketika tumit sepatunya menyentuh trotoar.
Dengan gerakan cepat dan penuh panik, dia menetapkan langkah dan berlari menuju pintu masuk gedung.
"Yue."
Suara Raymon terdengar dari balik jendela mobil yang mulai terbuka perlahan, tenang dan tetap memanggil namanya seperti mantra, namun Yue tak menoleh.
Dia harus masuk. Sekarang, sebelum pria itu melakukan hal tak terduga lainnya.
Begitu sampai di depan lift, jari-jarinya gemetar menekan tombol.
Kenapa liftnya lama sekali!?
Dari kaca reflektif di seberang, Yue bisa melihat wajahnya sendiri, keringat di pelipis, nafas naik-turun, dan mata yang terbuka lebar dalam satu kesimpulan mengerikan.
Raymon tidak normal!
Dia bukan sekadar pria kaya dijodohkan dengannya!
Dia bukan sekadar tertarik!
Dia terobsesi!
Begitu pintu lift terbuka, Yue masuk dan menekan lantai dengan terburu-buru, hampir mencet semua tombol sekaligus. Pintu tertutup perlahan, dan hanya saat itu dia menghela napas, berusaha menenangkan degup jantungnya yang seperti genderang perang.
"Aku cuma perlu tidur." gumamnya. "Besok resign, selesai urusan."
Tapi tepat saat pintu lift menutup sepenuhnya, ponselnya bergetar.
Satu pesan masuk.
Psikopat
Besok pagi, aku jemput. Kita sarapan.
Yue memandang layar ponselnya lama. Bibirnya bergetar, bukan karena takut tapi karena.
"INI KENAPA MALAH BIKIN JANTUNGKU MELEDAK."
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Yue merindukan pria miskin, datar, dengan mantan kekasih penuh drama. Huhu!
Pria seperti Raymon terlalu mengerikan.
Karena pria kaya, dingin, dan tak punya masalah masa lalu ini jauh lebih menakutkan.
Begitu pintu apartemennya tertutup, Yue bersandar pada dinding dengan napas memburu. Dia menatap ruangan luas nan mewah miliknya, tapi tak merasa aman sedikit pun. Tangannya gemetar saat melepas sepatu hak tinggi dan melempar tas ke sofa.
Langkahnya berat menuju kamar, dan ketika sampai, dia menggigil. Bukan karena udara malam yang dingin, tapi karena ingatan akan tatapan pria itu.
Tatapan yang tenang, dalam, dan tak bisa dibaca, namun jelas memiliki satu makna mengerikan. Kau milikku, hanya milikku.
"Dia gila." bisiknya pelan, hampir tak terdengar. Yue duduk di tepi ranjang, menatap kedua tangannya yang saling menggenggam erat.
"Pria itu gila."
Dari semua skenario yang pernah dia bayangkan tentang perjodohan, tidak ada satu pun yang seabsurd ini.
Bukannya punya kekasih yang diam-diam menangis di pojokan atau mantan pacar yang masih mengejar-ngejar, pria itu malah hanya fokus padanya.
Tak ada gangguan, tak ada penghalang.
Seolah semesta telah disingkirkan dari jalan pria itu, hanya demi dia.
Yue bangkit, membuka lemari pakaiannya dan menarik hoodie besar, lalu memeluk dirinya sendiri sambil berjalan ke dapur.
Dia menuang segelas air, tapi tangannya tetap gemetar.
"Harus... harus berhenti." ucapnya pada dirinya sendiri, seperti mantra.
Tapi ponselnya kembali bergetar di meja, pesan baru dari Raymon lagi. Dengan satu kalimat pendek yang membuat tengkuknya merinding.
Psikopat
Kau sudah di dalam?
Yue menjatuhkan gelasnya, air tumpah ke lantai.
Dia baru ingat! Dia tidak memberi alamat apartemen itu, dia tidak bilang kalau langsung pulang.
Tapi Raymon tahu?
Dan di sanalah Yue berdiri, tubuh menggigil, air membasahi kaki telanjangnya.
Satu hal pasti, dia terjebak dalam permainan yang jauh lebih berbahaya dari cinta. Yue memutar kepalanya cepat, menatap setiap sudut ruangan.
Langit-langit, dinding. rak buku, ventilasi, lampu bahkan vas bunga di pojok ruangan.
"Gila, jangan bilang dia masang kamera?"
Jantungnya berdetak semakin cepat. Dia segera merangkak ke bawah meja, menatap bagian bawah furnitur, memeriksa rak TV, lalu berlari ke kamar mandi.
Tangannya yang gemetar menyentuh kaca, lalu bingkai lampu di atas cermin.
Setiap detik, rasa paniknya bertambah.
"Ini seperti di film, orang kaya psikopat yang mengawasi dari balik layar. Oh sial!"
Yue berlari kembali ke ruang tengah, lalu mencabut stopkontak lampu meja dan membuka casing jam digital di dinding. Tidak ada apa-apa, tapi itu tak membuatnya lega justru membuatnya lebih takut.
"Kalau aku tak bisa menemukan apa-apa, berarti dia lebih pintar dari yang aku kira."
Suara notifikasi ponsel kembali memecah kekalutan, pesan dari Raymon lagi.
Psikopat
Tenang saja, aku tidak memasang kamera.
Tapi kalau kau benar-benar ingin tahu, aku bisa kirim tim keamanan untuk periksa seluruh apartemenmu malam ini.
Deg!
Yue jatuh terduduk di lantai, jari-jarinya gemetar menggenggam ponsel.
Dia tahu, dia tahu Yue curiga. Bahkan tahu dia sedang mencari.
Apakah dia sedang memantau dari luar? Atau...
"Ini bukan perjodohan. Ini penyanderaan." gumam Yue dengan suara pelan.
Dia ingin lari. Ingin kabur ke luar negeri, ganti identitas, jadi penggembala kambing di pedalaman Turki kalau perlu.
Tapi tubuhnya beku, lalu pesan baru masuk lagi.
Psikopat
Sayang, jangan takut. Aku hanya ingin melindungimu. Karena kalau bukan aku, dunia akan melukaimu. Dan aku tidak akan membiarkannya.
Yue menatap layar ponselnya, matanya mulai berkaca-kaca.
"Pria ini, sakit Mamaaa!"
Tapi yang lebih mengerikan, ada bagian kecil dari dirinya yang mulai percaya.
Sial, dia pasti juga gila!
Yue terduduk di lantai ruang tamunya, ponsel masih tergenggam erat, wajahnya pucat, rambutnya berantakan, napasnya memburu.
Matanya menatap kosong ke depan, lalu bibirnya bergerak pelan, hampir seperti gumaman putus asa.
"Apa yang harus kulakukan, ini tidak sama dengan skrip!"
Di drama-drama yang dia tonton, heroine biasanya punya waktu untuk jatuh cinta, untuk merasa bimbang, untuk memilih.
Selalu ada sahabat yang mendukung, plot twist lucu, atau kesempatan kabur saat pria dingin itu terlalu sibuk mengurus perusahaan.
Tapi Raymon tidak seperti itu, dia tidak memberi waktu. Tidak memberi ruang, tidak membiarkan dunia ikut campur.
Pria itu seperti membaca pikirannya, mengontrol arah cerita, dan memotong semua jalur keluar.
"Seharusnya ada rival cinta, seharusnya dia tidak terlalu peduli. Seharusnya ada alasan dramatis untuk kami bertengkar bukan ini." Yue berbicara pada dirinya sendiri, suara suaranya hampir pecah.
Dia berdiri pelan, menatap bayangannya sendiri di jendela besar apartemen. Langit malam begitu tenang, padahal dadanya seperti perang dunia ketiga.
"Aku bukan tokoh utama di cerita ini, aku sandera!"
Tapi kemudian, dalam diamnya, dia mengepalkan tangan. Matanya yang biasanya lembut, kali ini menyala, bukan dengan rasa takut, tapi dengan tekat.
"Kalau dia pikir dia bisa mengendalikan hidupku, dia salah."
Karena meskipun bukan heroine dalam drama romantis, Yue bukan gadis biasa, dan dia akan membalikkan skrip ini.
Tbc
