Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.
Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Bukan Wanita Shalehah
Nayla duduk termenung matanya menatap kearah langit. Nayla mulai mengingat setiap momen saat di kampus. Awalnya, Nayla mengira perubahan itu hanya bagian dari dinamika profesional. Tapi semakin hari, semakin jelas, ada sesuatu yang berbeda dalam cara Azam menatapnya, menyapanya, bahkan menyebut namanya saat diskusi kelas.
Tak lagi hanya formal. Tak lagi sebatas akademis. Ada kelembutan yang terselip. Ada perhatian yang tak terucap.
Ia menyadarinya saat Azam dengan sengaja mengarahkan pertanyaan di kelas hanya untuk mendengar pendapatnya, meski mahasiswa lain sudah menjawab. Ia menyadarinya saat Azam menyelipkan buku tasawuf klasik ke mejanya, tanpa kata, hanya secarik kertas kecil bertuliskan,
"Kau pasti menyukai bagian ini: tentang ma'rifat sebagai bentuk tertinggi dari pengakuan diri."
Nayla menyadari semuanya. Ia bukan gadis naif. Tapi kini hatinya tak lagi mudah meledak oleh harap. Ia telah belajar banyak: tentang ikhlas, tentang menjaga diri, dan tentang tidak menggantungkan kebahagiaan pada cinta manusia.
Namun, sore itu, saat langkahnya keluar dari perpustakaan disambut oleh suara rendah yang amat ia kenal, hatinya bergetar juga.
“Nayla... ada waktu sebentar?” suara Azam terdengar lebih lembut dari biasanya.
Ia menoleh. Menatap mata laki-laki yang dulu pernah menjadi suaminya. Mata yang kini tak lagi dingin, tapi penuh pertimbangan.
“Ada apa, Pak?” Nayla masih menggunakan sapaan formal. Batas yang ia pasang rapi sejak pertemuan mereka kembali.
Azam tersenyum kecil. “Bolehkah... aku bicara sebagai Azam, bukan dosenmu?”
Nayla terdiam sesaat. Lalu mengangguk pelan.
Mereka duduk di bangku taman kampus, sore menjingga menari di antara daun-daun yang berguguran. Suasana hening. Sampai akhirnya Nayla membuka bibirnya.
“Saya tahu... ada sesuatu yang berubah, sejak beberapa minggu terakhir.”
Azam tidak menyangkal. Ia menunduk, menarik napas dalam. “Aku... tak bisa membohongi diriku sendiri. Melihatmu tumbuh seperti ini—lebih kuat, lebih tenang—membuatku malu karena pernah menghukummu atas luka yang tak kau pinta.”
Nayla mengalihkan pandangan, menahan gemuruh yang menyelinap. Tapi ia tetap berkata tenang, “Saya sudah memaafkan sejak lama, Mas Azam. Tapi saya tidak pernah berharap kita kembali seperti dulu. Hidup saya sudah berbeda.”
Azam menatapnya, lembut. “Aku tahu. Dan aku tak datang untuk memaksamu kembali. Aku hanya ingin kau tahu... hatiku belum pernah benar-benar pergi. Dan jika suatu hari, kamu memberi ruang... aku ingin menjemputmu, dengan cara yang tak lagi menyakitimu.”
Kata-kata itu menggantung di udara.
Hari-hari setelah pertemuan di taman kampus itu menjadi semacam ruang abu-abu bagi Nayla. Antara harapan dan kehati-hatian. Antara kemungkinan dan kenyataan.
Azam tak pernah memaksa. Tapi ia hadir. Pelan, pasti. Dalam bentuk perhatian kecil. Dalam cara ia menghargai batas. Dalam doa-doa diam yang terasa meski tak terucap.
Namun Nayla tahu, jika benar Azam ingin menjemputnya kembali, ia harus tahu semuanya. Tak ada lagi yang perlu ditutupi. Jika cinta itu ingin dibangun ulang, maka pondasinya harus kebenaran yang utuh, sejujur-jujurnya.
Sore itu, mereka duduk di ruang diskusi fakultas setelah sesi forum kampus selesai. Ruangan sepi, hanya suara hujan yang memukul pelan kaca jendela.
“Mas Azam,” Nayla memulai, suaranya bergetar namun tegas, “Aku tak mau lagi hidup dalam kebohongan. Kalau kamu benar-benar ingin mengenalku kembali, maka dengarkan ini baik-baik.”
Azam menatapnya penuh perhatian, tapi tak memotong.
“Aku bukan hanya mantan pendosa,” lanjut Nayla. “Aku... bahkan pernah menjadi pemuas nafsu seorang pria tua saat SMA. Aku jadi simpanannya. Bukan karena cinta. Tapi karena keadaan, Aku hancur. Lebih dari yang kamu pernah tahu.”
Azam terdiam. Kata-kata Nayla seperti angin tajam yang menampar perasaannya. Ia ingin menyangkal, ingin berkata itu tak benar, tapi dari tatapan Nayla, ia tahu ini adalah kejujuran paling utuh yang pernah diberikan padanya.
Nayla melanjutkan, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku menceritakan ini bukan karena ingin kau memaafkan. Tapi karena aku ingin tahu... sampai sejauh mana kamu bisa menerima masa laluku. Karena kalau kamu hanya bisa mencintaiku saat aku sudah baik, maka mungkin bukan aku yang kamu cintai... tapi bayanganku saja.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Hanya suara hujan yang menjawab.
Azam menunduk. Kata-kata Nayla seperti palu yang menghancurkan ego terakhir dalam dirinya. Tapi juga membuka sesuatu yang lebih dalam, keberanian Nayla, ketulusan dalam luka, dan keyakinannya pada pertobatan.
Azam menatapnya kembali, kali ini bukan dengan kaget atau bimbang—melainkan dengan kesedihan yang luar biasa.
“Terima kasih,” katanya akhirnya. “Karena sudah jujur. Karena mempercayaiku dengan luka yang paling gelap itu.”
Nayla menghela napas. Tapi tatapannya masih penuh keraguan.
“Aku tidak tahu, Mas Azam. Setelah ini... apakah kamu masih melihatku sebagai perempuan yang layak kamu perjuangkan?”
Azam tak langsung menjawab. Tapi kali ini ia mendekat, mengambil jeda sejenak, lalu berkata lirih namun tegas.
“Aku tidak akan menjawab hari ini. Karena aku harus bergumul dengan hatiku sendiri. Tapi satu yang pasti, Nayla... Kau perempuan yang telah menjemput Allah lebih dulu dari aku.”
Sunyi kembali menyelimuti ruangan setelah pengakuan berat yang Nayla sampaikan. Tapi bukan karena kata-kata tak cukup. Melainkan karena mereka sedang berada di titik di mana hati berbicara lebih keras daripada suara.
Nayla menggenggam jemarinya sendiri, seolah mencoba menenangkan gemetar yang tak bisa ia redam. Lalu dengan suara yang pelan namun pasti, ia melanjutkan,
“Mas Azam... Aku ingin kamu berpikir jernih. Aku tahu kamu laki-laki baik, laki-laki yang menjaga pandangan, menjaga kehormatan, dan tumbuh dalam didikan agama yang kuat. Kamu layak mendapatkan istri yang jauh lebih baik dari aku.”
Azam mengangkat wajah, mencoba menanggapi, namun Nayla segera memotongnya.
“Aku serius,” ucap Nayla tegas. “Kalau kamu ingin mencari istri shalihah, maka itu bukan aku. Aku tak bisa menghapus masa lalu. Aku tak bisa menghapus semua dosa dan aib yang pernah aku lakukan.”
Ia menarik napas panjang. “Mungkin sekarang aku sedang belajar, sedang bertumbuh... tapi bukan berarti aku sudah sampai pada titik shalihah itu. Tidak. Aku bahkan merasa belum layak mengangkat wajahku di hadapan Allah.”
Azam mendengarkan, tak menyela.
“Banyak perempuan yang jauh lebih baik, lebih suci, lebih pantas. Mereka yang menjaga diri sejak awal. Dan mereka pasti juga menginginkan suami sepertimu Mas Azam. Suami yang tahu bagaimana menuntun, yang kuat imannya, yang lembut hatinya.”
Ada jeda sejenak sebelum Nayla menunduk, menahan bulir bening di pelupuk mata.
“Jadi... kalau kamu ingin mundur, silakan. Aku tidak akan menyalahkan. Bahkan aku akan berterima kasih karena kamu sudah sejauh ini mendengarkanku.”
Azam menatap Nayla dengan campuran kagum, haru, dan perih. Ia tahu, tak mudah bagi siapa pun untuk berkata seperti itu—melepaskan seseorang yang diam-diam masih diharapkan, hanya demi tidak menyakiti lagi.
Namun justru dari ketulusan itu, hati Azam kembali diuji.
Ia menghela napas panjang, menunduk sejenak untuk menyusun jawabannya.
“Kalau aku memang mencari istri yang sempurna dari awal hingga akhir,” katanya pelan, “maka aku tak akan pernah layak menyebut diriku suami. Karena aku sendiri belum tentu lelaki yang sebaik itu.”
Matanya menatap dalam ke arah Nayla. “Tapi sekarang aku sedang berpikir... mungkin bukan kesalehan masa lalumu yang aku cari, Nayla. Tapi kesungguhanmu menjemput Allah hari ini.”
Dan di sana, pada kata-kata yang penuh makna itu, hati Nayla bergetar.
Tapi ia tahu, ini bukan akhir. Ini baru awal dari ujian kepercayaan, dari perjalanan saling mengenal kembali—tanpa bayang-bayang masa lalu.
Langit sore telah lama menggantungkan sunyinya di balik jendela ruang diskusi itu. Hujan telah reda, namun udara dingin seperti mewakili suasana yang menggantung di antara mereka.
Setelah percakapan yang sempat mereda, Nayla kembali membuka suara. Kali ini, nadanya terdengar lebih lirih, lebih dalam, seperti suara dari relung hati yang terpendam terlalu lama.
“Mas Azam,” katanya pelan, “aku belum selesai bercerita... Ada hal lain, yang mungkin akan membuatmu benar-benar berpaling.”
Azam diam, menanti.
Nayla mengalihkan pandangannya, menatap sudut kosong ruangan, seolah ingin berbicara pada masa lalunya sendiri.
“Aku pernah... membunuh,” ucapnya, suara itu nyaris tak terdengar. “Bukan dengan pisau, bukan dengan darah yang mengalir dari luka. Tapi dari tubuhku sendiri. Dari rahimku sendiri.”
Azam menegakkan tubuhnya perlahan, alisnya terangkat dalam keterkejutan, namun ia masih tak bersuara.
Nayla melanjutkan, tangannya mengepal di pangkuan. “Aku pernah hamil di luar nikah. Dan aku menggugurkan janin itu. Bukan sekali, Mas Azam. Tapi dua kali.”
Suara itu pecah, pelan namun menggetarkan. “Aku terlalu pengecut untuk menjadi ibu. Aku terlalu takut dunia tahu aibku. Dan aku terlalu egois untuk membiarkan anak itu hidup.”
Azam menatap Nayla lekat-lekat, napasnya tertahan, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Sorot matanya berubah—bukan karena benci, tapi karena syok yang tak mampu dibungkus oleh kata-kata.
Dan Nayla menangkapnya. Tatapan itu. Tatapan yang tak bisa dibohongi.
Ia tersenyum kecut, pahit.
“Itu dia,” bisiknya lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Tatapan itu... yang aku tahu pasti akan datang begitu kamu tahu semuanya, tatapan itu, sama saat malam itu.”
Matanya berkaca-kaca, tapi tak menangis. Karena air matanya seperti sudah kering sejak lama. “Itu tatapan jijik, Mas Azam. Tatapan terkejut. Tatapan bahwa aku memang sehina itu.”
Azam mencoba berkata sesuatu, tapi tenggorokannya tercekat.
“Aku tak menceritakan ini untuk membuatmu kasihan,” lanjut Nayla. “Aku hanya ingin jujur. Karena aku tak mau kamu membangun cinta di atas kepalsuan. Aku tak mau kamu mengira aku wanita yang hanya sedikit tersesat. Tidak. Aku pernah benar-benar tenggelam dalam dosa.”
Suasana membeku. Bahkan waktu seperti menahan napasnya.
Azam masih terdiam, namun jiwanya bergolak. Ia tidak hanya sedang bergelut dengan kejujuran Nayla—tapi juga dengan egonya sendiri, dengan luka moral yang ditorehkan masa lalu Nayla pada nilai-nilainya sebagai lelaki, sebagai seorang calon imam.
Dan Nayla tahu. Ia tahu itu adalah bagian dari harga kejujuran, kemungkinan ditinggalkan.
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan