Dia adalah darah dagingnya. Tapi sejak kecil, kasih ibu tak pernah benar-benar untuknya. Sang ibu lebih memilih memperjuangkan anak tiri—anak dari suami barunya—dan mengorbankan putrinya sendiri.
Tumbuh dengan luka dan kecewa, wanita muda itu membangun dirinya menjadi sosok yang kuat, cantik, dan penuh percaya diri. Namun luka masa lalu tetap membara. Hingga takdir mempertemukannya dengan pria yang hampir saja menjadi bagian dari keluarga tirinya.
Sebuah permainan cinta dan dendam pun dimulai.
Bukan sekadar balas dendam biasa—ini adalah perjuangan mengembalikan harga diri yang direbut sejak lama.
Karena jika ibunya memilih orang lain sebagai anaknya…
…maka dia pun berhak merebut seseorang yang paling berharga bagi mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hana Dihakimi
Makan malam pun akhirnya tetap dilaksanakan, walau atmosfernya kini berubah total.
Semula Burhan ingin menjadikan Rendy dan orang tua kayanya sebagai sorotan utama malam itu, namun takdir berkata lain.
Rendy dan orang tuanya malah duduk di pojokan, ketiganya tetap santai makan walau dengan tatapan penuh caci maki dari orang-orang.
Justru Ratna, dengan pesonanya yang kalem, ramah, dan mudah bergaul, menjadi pusat perhatian para tamu.
Para tante dan ibu-ibu keluarga besar Burhan begitu antusias mengobrol dengannya, tak henti memuji cara bicaranya yang santun, penampilannya yang elegan, serta kehangatannya sebagai seorang ibu.
Sementara itu, Pradipta yang sedari tadi memperhatikan Hana dalam diam, tak mampu lagi menyembunyikan rasa kagumnya.
Melihat Hana yang begitu anggun malam ini, penuh kesopanan, dan bahkan berhasil memikat ibunya hanya dengan sikap yang alami dan tulus, membuatnya semakin yakin jika keputusannya untuk menikahinya memanglah yang tepat.
Di bawah cahaya lampu teras yang temaram dan semilir angin malam yang menenangkan, Pradipta berdiri di samping Hana, sesekali menatapnya dengan penuh kelembutan.
Ia sempat terdiam beberapa saat, seolah mencari cara terbaik untuk menyampaikan isi hatinya.
"Hana. Terima kasih sudah mengundang aku dan ibuku," katanya pelan namun mantap.
“Aku justru yang mengucapkan terima kasih karena kalian sudah berkenan untuk datang.” Hana menatap Pradipta, perlahan.
“Hana. Aku senang karena ibuku sepertinya langsung menyukaimu.” Pradipta kembali menatap Hana bangga.
Hana tersenyum manis.
“Aku juga menyukai ibu Kak Pradipta. Beliau orang yang baik dan penuh kelembutan.”
“Melihat ibu Kak Pradipta membuatku langsung merindukan nenekku.” Tatapan Hana berubah sendu. Memikirkan sang Nenek yang entah sedang apa di kampung sana.
“Kalau kamu mau. Kapan-kapan kita bisa pergi kesana. Nenekmu pasti ingin mengenal calon suami cucu kesayangannya.”
“Benarkah?” tanya Hana dengan mata berbinar.
“Tentu saja. Nanti aku beri tahu kapan aku libur dan kita bisa langsung kesana.”
Hana mengangguk cepat masih dengan mengembangkan senyumnya.
Pradipta lagi-lagi tak bisa mengalihkan pandangannya.
“Malam ini kamu sangat berbeda. Aku senang melihat wajahmu yang terus dihiasi senyuman indah.”
“Karena aku sedang sangat bahagia.” Hana melihat Pradipta sekilas lalu menerawang ke langit malam.
“Semoga apa yang terjadi malam ini menjadi awal yang baik,” gumam Hana lagi masih menatap malam. Malam ini adalah malam dimulainya kehancuran keluarga yang semenjak dulu membuatnya hancur dan terluka.
“Untuk kita?” tanya Pradipta ingin memperjelas maksud Hana.
Hana tersentak. Langsung melihat Pradipta yang masih setia menatapnya.
“I—Iya. Tentu saja untuk kita.” Hana berbohong. Pradipta pasti telah salah paham akan maksud ucapannya.
Pradipta tersenyum senang. Seolah telah mendapatkan rambu hijau untuk meneruskan hubungan mereka ke tahap selanjutnya.
“Apa itu berarti kamu siap untuk kita segera menikah?”
Hana kembali menatap Pradipta lembut.
“Biarkan keluargaku menyiapkan pernikahan Malika dan Rendy dulu ya.”
“Baiklah.” Pradipta setuju.
Ngomong-ngomong soal Rendy. Pradipta baru ingat jika tadi dia melihat calon suami Malika itu dengan dandanan tak seperti biasa, tidak lagi seperti orang kaya yang selalu di sombongkan Malika dan kedua orang tuanya.
“Bukan maksudku ikut campur urusan orang. Tapi benarkah yang di dalam itu Rendy dan keluarganya?”
“Iya.” Hana langsung mengangguk.
Pradipta langsung mengernyit heran. Banyak pertanyaan dalam benaknya, namun dia tak berniat kembali menanyakannya pada Hana, takut merusak suasana karena biar bagaimanapun Rendy adalah mantan calon suaminya.
Keduanya kembali terdiam. Tak lama kemudian Ratna yang rupanya mencari-cari mereka di dalam datang menghampiri dan putra dan calon menantunya.
“Pradipta. Hana. Ibu mencari-cari kalian kemana-mana.” Ratna tersenyum ke arah keduanya.
“Ada apa ibu? Apa ibu perlu sesuatu?” tanya Hana pada calon ibu mertua.
“Tidak sayang. Ibu hanya mau bertanya, karena ibu sudah berkunjung ke rumahmu jadi kapan giliranmu berkunjung ke rumah ibu?” tanya Ratna penuh harap.
Hana dan Pradipta langsung tersenyum.
“Ibu tenang saja. Aku akan segera membawanya ke rumah kita," ucap Pradipta sambil menatap Hana.
Hana mengangguk pelan. Malam yang penuh kehangatan diantara mereka akhirnya harus di akhiri. Ratna dan Pradipta bersiap berpamitan.
Hana nyaris tak berkutik ketika tiba-tiba Ratna memeluknya dengan erat. Sebuah pelukan hangat, tulus dan tak menyisakan sedikitpun keraguan. Hana menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan getar di dada, tak ada yang pernah memeluknya seperti ini selain neneknya. Bahkan pelukan ibunya sendiripun terasa dingin dan palsu, akan tetapi pelukan ini terasa hangat dan nyata, seolah ingin membalut luka yang selama ini ia genggam sendiri.
**
Keesokan harinya, suasana rumah Burhan berubah mencekam. Udara pagi yang biasanya tenang kini terasa berat, seolah dipenuhi amarah yang menunggu meledak. Malika berdiri di ruang tengah dengan mata sembab, wajahnya muram, rambutnya acak-acakan dan masih mengenakan gaun malam yang belum sempat diganti. Di belakangnya, Burhan duduk di sofa dengan tangan terkepal, Sri berdiri di sampingnya dengan tatapan sinis, dan Rosma menatap tajam, seolah siap menghakimi.
Semua mata tertuju pada satu orang. Hana.
Hana berdiri di depan mereka, tenang namun tetap waspada. Pandangannya lurus, dingin seperti biasanya, tetapi ada seberkas kelelahan di sana, bukan karena takut, melainkan muak dengan permainan yang selalu berulang.
"Katakan apa yang sebenarnya terjadi?" seru Burhan, nadanya tinggi.
"Kamu tahu kan kalau Rendy selama ini hanya pura-pura kaya?"
"Benar," seru Malika sambil menunjuk Hana. "Kau tahu siapa Rendy sebenarnya! Kau tahu dia bukan siapa-siapa, tapi kau diam. Kau biarkan aku terjerumus tipu muslihatnya."
Sri ikut menimpali, suaranya tajam, “katakan Hana! Katakan jika kamu memang sudah mengetahui kebohongan Rendy"
Rosma menatap tajam seperti ingin menerkam, "Jawab Hana. Atau jangan-jangan kau juga bagian dari kebohongan ini."
Namun, Hana tetap tenang. Tatapannya menusuk balik, seperti cermin yang memantulkan semua kebusukan mereka sendiri.
“Kenapa aku yang kalian salahkan?” tanya Hana dengan polos.
“Bukankah kalian yang membawanya masuk ke rumah ini? Karena kalian tahu reputasinya yang seorang penipu. Lalu ketika dia sedang memainkan perannya, kenapa kalian juga yang percaya dengan mudahnya?”
good job thorr...sehat sehat..up nya yg bnyk ya ..