Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30_Kebenaran yang Tak Bisa Dibungkam
Angin malam berhembus kencang, menggesek jendela ruangan kantor kosong di lantai atas B ‘N M Corporation. Langit tampak muram, seolah turut menyimpan rahasia yang selama ini dikubur dalam-dalam. Di ruangan itu, Bima berdiri sambil memandang ke arah kota, punggungnya membelakangi pintu. Rokok menyala di jarinya, kepulan asap menari pelan ke langit-langit.
Pintu dibuka perlahan. Sean melangkah masuk, tenang tapi tegas.
“Aku tahu kamu di sini,” ucap Sean.
Bima menoleh perlahan, menyeringai.
“Ternyata kamu berani datang juga.”
“Aku bukan datang untuk berdebat. Aku datang untuk menuntut jawaban,” balas Sean.
“Jawaban?” Bima terkekeh.
“Kamu pikir ini panggung drama, Sean? Dunia ini tidak sesederhana benar atau salah.”
“Aku tidak peduli sesederhana apa menurutmu,” Sean mendekat, tatapannya tajam.
“yang aku tahu, kamu hampir menghancurkan hidup seseorang yang sangat aku cintai.”
“Kamu terlalu percaya diri. Namira? Dia hanya alat, sama seperti kamu.” Bima membalikkan badan sepenuhnya, menghadapi Sean.
“Kamu pikir cinta bisa menyelamatkan semuanya? Dunia ini tidak mengenal cinta, Sean. Dunia hanya mengenal kekuasaan dan kepentingan.”
Sean mencengkeram meja di depannya, menahan amarah.
“Kalau kamu percaya itu, maka kamu lebih rapuh dari yang aku kira.”
Bima mendekat, wajah mereka hanya terpaut sejengkal.
“Apa kamu datang untuk mengancamku?”
“Aku datang untuk menyampaikan pilihan,”
Sean menatap mata pria itu dalam-dalam.
“Kamu bisa mengakui kebenaran dan menyerahkan diri sebelum semuanya meledak atau kamu terus menyembunyikan kebusukanmu, dan bersiap melihat semuanya runtuh.”
Bima tertawa keras, dingin.
“Kamu pikir kamu siapa? Hanya kurir paket yang kebetulan punya wajah bersih dan cerita menyedihkan.”
“dan kamu lupa,” ujar Sean pelan.
“Kadang suara yang paling rendah justru mengguncang gedung paling tinggi.”
Bima hendak membalas, namun suara ponsel Sean berdering. Ia mengangkatnya.
“Sean, ini Nina. Rekaman itu... sudah tersebar. Teman Anton berhasil menyebarkannya ke beberapa kanal independen. Mereka mulai memberitakan ulang versi yang sebenarnya.”
Sean menutup telepon dan menatap Bima.
“Permainanmu mulai goyah.”
Bima meremukkan puntung rokok di asbak kaca, rahangnya menegang.
“Kamu belum tahu siapa yang kamu lawan.”
“Aku tidak sendiri,” ucap Sean tenang.
“Kamu tahu betul, satu hal yang tidak bisa kamu beli adalah kebenaran yang muncul dari luka orang-orang yang kamu injak.”
Sementara itu, di tempat lain, Namira baru saja selesai meminum obatnya. Ruang rawatnya tenang, namun matanya tak bisa lepas dari layar tablet yang memperlihatkan berita terbaru. Judulnya mencolok:
Rekaman CCTV Ungkap Fakta Sebenarnya di Grand Hotel: Upaya Pemaksaan, Bima Terpojok!
Namira menutup mulutnya, air matanya meleleh tanpa suara. Ia tahu, ini bukan hanya tentang membersihkan namanya. Ini tentang semua luka yang selama ini ia telan dalam diam.
Pintu kamar diketuk. Nina masuk sambil tersenyum.
“Kamu lihat berita itu?” tanyanya.
Namira mengangguk.
“Itu bukan keajaiban... itu keberanian.”
“Keberanian dari pria yang kamu tolak cintanya berkali-kali,”
Nina menirukan nada jenaka, meski matanya berkaca-kaca, “dan sahabatmu yang super cantik dan cerdas ini, tentu saja.”
Namira tertawa lirih.
“Terima kasih, Nina.”
“Aku hanya membantumu melihat siapa yang sebenarnya layak kamu genggam.”
Sementara itu, Anton yang sedang berada di kantor media alternatif, menyaksikan editor menyusun berita dengan wajah serius. Salah satu editor menoleh padanya.
“Kita sudah distribusikan ke dua belas jaringan online. Netizen mulai membandingkan versi berita sebelumnya dengan yang baru.”
Anton mengangguk.
“Teruskan. Jangan biarkan ini tenggelam begitu saja.”
Tak lama kemudian, telepon Anton berdering.
Dari Sean.
“Aku sudah bertemu Bima,” suara Sean berat tapi terkendali.
“Dia belum akan menyerah. Tapi dia mulai terpojok.”
“Kita harus waspada. Orang seperti Bima akan semakin liar saat merasa terdesak.”
Sean memandang ke langit malam dari atap parkiran.
“Aku tahu dan aku tidak akan membiarkan dia menyentuh Namira lagi.”
Anton diam sejenak.
“Kita hanya punya satu kesempatan. Besok, semua stasiun televisi akan menerima rekaman itu. Kita harus pastikan tidak ada sabotase.”
Sean mengangguk.
“Besok pagi aku akan konferensi pers. Bukan sebagai siapa-siapa. Tapi sebagai orang yang mencintai Namira, dan saksi dari kebenaran.”
...****************...
Di sisi lain kota, Bima sedang menendang kursi kantornya. Ia menatap layar laptop yang menunjukkan reaksi publik atas video yang tersebar. Komentar demi komentar menyerang dirinya. Tagar #JusticeForNamira menduduki trending satu.
Seorang anak buahnya masuk terburu-buru.
“Pak Bima... beberapa sponsor mulai mundur dan... Dewan Komisaris meminta penjelasan.”
Bima berdiri.
“Hubungi pengacara. Kita tuntut penyebaran video itu.”
“Tapi video itu asli, Pak.”
“Aku bilang hubungi pengacara!” bentaknya.
Setelah ruangan kembali sepi, Bima duduk lemas. Pandangannya kosong. Satu demi satu, pondasi yang ia bangun mulai retak.
***
Keesokan harinya, di halaman depan sebuah gedung konferensi, ratusan kamera media berkumpul. Para jurnalis menunggu seseorang muncul di podium.
Tak lama, pintu terbuka. Sean melangkah keluar, mengenakan kemeja putih sederhana dan wajah yang tenang. Ia berdiri di depan mikrofon, mengangkat kepalanya, dan berkata,
“Aku bukan siapa-siapa. Tapi hari ini, aku datang membawa kebenaran. Tentang Namira. Tentang apa yang sebenarnya terjadi dan tentang bagaimana cinta bisa mengalahkan ketakutan.”
Kilatan kamera menyala bersamaan. Pertarungan belum selesai. Tapi untuk pertama kalinya, suara dari bawah mulai mengguncang menara yang selama ini berdiri terlalu angkuh.
kl kmu sayang ke Namira, kamu harus ekstra sabar dalam menyikapi Namira.