Nayla Arensia hanyalah gadis biasa di kota Valmora hingga suatu malam, dua pria berpakaian hitam datang mengetuk pintunya. Mereka bukan polisi, bukan tamu. Mereka adalah utusan Adrian Valente, bos mafia paling kejam di kota itu.
Ayah Nayla kabur membawa hutang seratus ribu euro. Sebagai gantinya, Nayla harus tinggal di rumah sang mafia... sebagai jaminan.
Namun Adrian bukan pria biasa. Tatapannya dingin, kata-katanya tajam, dan masa lalunya gelap. Tapi jauh di balik dinginnya, tersembunyi luka yang belum sembuh dan Nayla perlahan menjadi kunci untuk membuka sisi manusiawinya.
Tapi bisakah cinta tumbuh dari ancaman dan rasa takut?
Atau justru Nayla akan hancur sebelum sempat menyentuh hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bakwanmanis#23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Tawanan Sang Raja Gelap
Aku terbangun dengan tubuh kaku dan kepala berat. Ruangan ini begitu asing, dengan dinding batu berwarna abu-abu gelap, langit-langit tinggi, dan jendela besar berjeruji. Tirai hitam menggantung lemas di sudut ruangan, dan aroma ruangan ini seperti buku-buku tua yang pernah dikurung bersama rahasia gelap.
Tempat tidurku empuk, terlalu empuk untuk seseorang yang diculik. Tapi aku tahu, ini bukan kemurahan hati ini jebakan berbalut kemewahan. Vila ini bukan rumah, tapi penjara.
Aku bangkit, membuka pintu kamar yang tidak dikunci. Lorong luar panjang dan sunyi, diterangi lampu gantung bergaya klasik. Setiap langkahku bergema. Di tengah lorong, seorang pria berbadan besar berpakaian hitam berdiri menjaga.
“Ke mana aku bisa pergi?” tanyaku ragu.
Dia tak menjawab. Hanya menunjuk ke ujung lorong.
Aku mengikuti arah itu. Tangga besar mengarah ke lantai bawah. Ada aroma kopi dan roti panggang samar di udara. Perutku lapar, tapi hatiku masih sesak oleh rasa takut dan marah.
Di ruang makan luas, kulihat Adrian Valente duduk santai, membaca koran sambil menyeruput kopi. Ia mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung dan celana bahan gelap. Gaya santainya terlihat wajar… jika saja dia bukan orang yang telah menculikku tadi malam.
“Duduk,” katanya tanpa menoleh.
Aku berdiri kaku. “Aku bukan pelayanmu.”
“Dan aku bukan monster yang akan membiarkanmu mati kelaparan,” balasnya santai.
Aku duduk, meski jantungku berdebar tidak nyaman. Di depanku sudah tersedia sepiring roti panggang, telur, dan segelas jus jeruk. Aku menatapnya curiga.
“Beracun?” gumamku.
Dia menoleh, lalu tersenyum miring. “Kalau aku ingin membunuhmu, aku sudah melakukannya tadi malam.”
Aku menggigit roti perlahan. Lidahku tahu rasanya enak, tapi batinku masih menolak menikmati.
“Berapa lama aku harus tinggal di sini?” tanyaku.
“Sampai hutang ayahmu lunas.”
“Dan bagaimana kau berniat melunasinya lewatku? Menjualku? Menyewakanku?” tanyaku tajam.
Dia menurunkan koran, menatapku serius. “Kau punya mulut tajam untuk gadis yang hidupnya tergantung pada belas kasihan orang lain.”
“Aku tidak butuh belas kasihanmu. Aku butuh keadilan.”
“Keadilan?” Ia terkekeh. “Sayang sekali, Nayla. Di dunia ini, yang ada hanya kekuasaan dan pembayaran.”
Aku berdiri. “Kau tidak bisa memperlakukanku seperti tawanan. Aku manusia, bukan boneka.”
Adrian bangkit juga. Tingginya membuatku harus mendongak, tapi aku menolak mundur.
“Kau memang manusia,” bisiknya sambil mendekat. “Tapi sekarang kau hidup di dunia ku. Dan di sini, manusia dihargai sesuai keputusan ku.”
Tangannya menyentuh pipiku, membuatku refleks menepisnya.
“Jangan sentuh aku!”
Wajahnya mengeras. Tapi justru ia tertawa pelan. “Kau berbeda dari perempuan lain yang pernah kuhadapi.”
“Karena aku tidak takut padamu.”
“Kau takut,” bisiknya. “Aku bisa melihatnya di matamu. Tapi kau berani. Dan itu berbahaya, Nayla. Jangan terlalu sering menunjukkannya... atau dunia ini akan merobekmu.”
Aku menggigit bibir, menahan emosi. Dia berjalan menjauh, mengambil ponsel dari sakunya.
“Mulai hari ini, kau akan bekerja di rumah ini. Di bawah pengawasan. Bukan pelayan. Tapi juga bukan tamu.”
“Apa maksudmu?”
“Kau akan belajar… tentang dunia tempat ayahmu berutang. Dan mungkin… kau akan tahu kenapa aku seperti ini.”
Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi sesuatu dalam nadanya membuatku membatalkannya. Suaranya... mengandung luka.
______
Hari itu aku diberi kamar pribadi, pakaian bersih, dan akses terbatas di vila. Tapi setiap sudut diawasi kamera. Dan aku tahu, Adrian mengamatiku. Setiap detik.
Di malam hari, aku berdiri di balkon kamar, menatap langit Valmora yang gelap tanpa bintang. Hanya bulan yang menyelinap di balik awan, seolah malu melihatku.
Aku memeluk tubuhku sendiri.
“Ayah… apa sebenarnya yang kau lakukan?” bisikku.
Di kejauhan, suara mobil memasuki halaman. Dari atas aku melihat Adrian turun dari mobil mewahnya, diikuti beberapa pria lain membawa koper.
Dia terlihat… lelah. Tapi tetap tegas. Seolah dunia bisa runtuh dan dia tetap akan berdiri.
Aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Di balik semua rasa benci dan takut… ada rasa penasaran. Siapa sebenarnya pria itu? Kenapa sorot matanya begitu dingin, tapi bibirnya menyimpan rahasia?
Dan… kenapa hatiku mulai berdebar setiap kali dia menatapku?
Aku menutup tirai dengan cepat, kembali ke tempat tidur. Tidak, Nayla. Ini hanya sindrom Stockholm. Kau tidak bisa jatuh hati pada penculikmu.
Tapi benakku membisikkan sesuatu yang lebih menakutkan:
"Bagaimana kalau kau bukan jatuh hati... tapi tertarik pada kegelapan yang ia miliki?"