Ganesha percaya Tenggara adalah takdir hidupnya. Meski teman-temannya kerap kali mengatakan kepada dirinya untuk sebaiknya menyerah saja, si gadis bersurai legam itu masih tetap teguh dengan pendiriannya untuk mempertahankan cintanya kepada Tenggara. Meski sebetulnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa dia hanya jatuh cinta sendirian.
"Sembilan tahun mah belum apa-apa, gue bisa menunggu dia bahkan seribu tahun lagi." Sebuah statement yang pada akhirnya membuat Ganesha diberikan nama panjang 'Ganesha Tolol Mirella' oleh sang sahabat tercinta.
Kemudian di penghujung hari ketika lelah perlahan singgah di hati, Ganesha mulai ikut bertanya-tanya. Benarkah Tenggara adalah takdir hidupnya? Atau dia hanya sedang menyia-nyiakan masa muda untuk seseorang yang bahkan tidak akan pernah menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 8
"Abang," panggilnya. Abangnya hanya berdeham. "Echa--"
Bip... Bip... Bip...
Ucapannya terputus sebab panggilan lain datang menginterupsi, mendesak untuk diangkat.
"Halo? Kamu masih di sana kan, Cha? Ada apa? Kamu mau ngomong apa tadi?"
Ganesha terdiam sesaat, menatap ID pemanggil yang tertera di layar.
"Cha?"
"Abang, ada telepon lain yang masuk," katanya pelan, "Echa angkat dulu, ya. Takut penting. Nanti Echa telepon Abang lagi."
Terburu-buru jemarinya menekan tombol terima, hingga tak menyempatkan diri untuk mendengar abangnya menjawab iya.
"Halo, Kak Aga?"
Lagi-lagi, hanya untuk seorang Tenggara.
"Kok suaranya sengau? Lo sakit?"
"Enggak," jawabnya cepat.
"Serius? Sengau banget itu suara lo, kayak lagi flu."
Ganesha menggigit bibir bawahnya, lalu tanpa sadar meremat selimut yang membentang sebatas paha. "Tadi habis beresin gudang, terus kena debu, jadinya agak nggak nyaman hidung gue. It will get better soon, no need to worry." Satu dusta lagi dia buat malam ini.
Ketika seharusnya segera mendapatkan tanggapan, Ganesha malah menemukan Tenggara terdiam. Sunyi merambat begitu cepat. Suara deru napas lelaki itu pun bahkan sama sekali tak terdengar.
"Kenapa telepon gue jam segini, Kak?" tanyanya kemudian, enggak membiarkan hening semakin membesar.
"Oh, gue cuma mau mastiin lo nggak sakit habis gue ajak hujan-hujanan. Minggu depan jadwal kita full, so ... yeah ... cuma mau mastiin aja kondisi fisik lo oke biar kita bisa tampil maksimal."
Meski bukan kali pertama, ternyata rasanya masih sakit. Dadanya masih terasa perih untuk tahu bahwa: Tenggara hanya peduli pada reputasi band mereka.
"Aman kok, tenang aja." Dan dari banyaknya kata umpatan yang ada di kepalanya, tak satu pun berhasil keluar. Ujung-ujungnya dia lagi yang mengalah. Ujung-ujungnya dia lagi yang menekan egonya agar Tenggara tidak terluka.
"Oke deh kalau gitu. Gue tutup teleponnya, ya. Selamat istirahat, Esha."
"Iya, selamat istirahat juga, Kak Aga." Entah apakah Tenggara sempat mendengar balasannya, sebab telepon terputus lebih cepat daripada yang seharusnya.
Di malam ketika dia hanya memiliki dirinya sendiri, Ganesha lagi-lagi harus menarik napas begitu dalam agar sesak di dadanya tak terlalu terasa menyakitkan.
......................
Pukul 2 dini hari, Ganesha keluar kamar setelah tidak kuat menahan haus yang menyerang. Langkahnya terayun pelan. Tubuhnya sedikit limbung, jadi dia berhenti sejenak di ujung tangga. Ia memandang anak-anak tangga yang jumlahnya terlalu banyak. Otaknya yang mulai tidak waras tiba-tiba saja mulai berhitung, memperkirakan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke dapur.
"Kalau gue menggelinding ke bawah, bakal mati nggak kira-kira?" tanyanya, entah kepada siapa.
Meski otaknya sudah mulai memikirkan opsi untuk berseluncur melewati pegangan tangga yang licin (seperti di film-film), pada akhirnya, Ganesha tetap memilih untuk mengayunkan kakinya perlahan. Menuruni satu persatu anak tangga dengan tenaga yang tersisa.
Begitu langkah perlahan yang susah payah diambilnya membawanya ke anak tangga terakhir, tubuhnya langsung membeku.
Netranya bertemu dengan milik seseorang—sepasang mata sekelam malam yang, entah kenapa, hari ini tampak lebih sendu dari biasanya.
"Nesh..." Suara berat lelaki itu mengudara.
Tiba-tiba, Ganesha merasakan sesak luar biasa. Kabut bening menyelimuti matanya dalam sekejap. Kakinya yang semula lemas mendadak mendapat suplai energi entah dari mana, membuat langkahnya terayun cepat, menerobos sisa jarak yang tinggal sedikit—hanya agar bisa segera tiba di hadapan lelaki itu.
Tanpa aba-aba, dia menghambur ke dalam dekapan hangat Kafka. Detik itu juga, air matanya luruh. Di dada bidang lelaki itu, ia menangis sejadi-jadinya—seperti anak kecil yang baru saja kehilangan mainan favoritnya.
Heningnya suasana dini hari membuat tangisnya kian terdengar jelas. Kepedihan yang menyebar dari isakan lirihnya membuat Kafka, yang dipeluk erat, menggigit bibirnya sendiri demi menahan sesak. Kedua tangan besar lelaki itu terangkat perlahan, memeluk tubuh kecil Ganesha erat hingga sepenuhnya tenggelam.
Bibir merahnya tak bergerak. Kafka yang biasanya penuh kosakata mendadak bisu—seolah ini hari pertamanya lahir ke dunia, dan kemampuan berbicara belum dimilikinya.
Untuk waktu yang cukup lama, Ganesha menguras air matanya hingga tuntas dalam pelukan Kafka, sementara lelaki itu dengan sabar mendengarkan setiap rintihan memilukan. Usapan demi usapan yang diterimanya justru makin membuat tangisnya meledak.
“Keluarin aja semuanya,” bisik Kafka pelan.
Baginya, tak masalah jika harus terjaga sampai pagi hanya demi mendengar tangis Ganesha. Memang itu tujuannya tetap di sini, memilih bergadang hingga dini hari. Ia tak sampai hati meninggalkan Ganesha sendirian saat fisik dan hatinya sedang tidak baik-baik saja. Sebagai sahabat yang baik, ia hanya ingin selalu ada.
Isakan masih terdengar, tapi Kafka merasakan sosok dalam dekapannya mulai menggeliat pelan, berusaha melepaskan diri dari kungkungan.
Begitu tubuh Ganesha benar-benar lepas, dorongan Kafka untuk membunuh Tenggara terasa lebih besar dari hari-hari sebelumnya.
Karena, bajingan mana lagi yang sanggup melukai hati Ganesha sedalam ini kalau bukan Tenggara? Dan kali ini, Kafka merasa semuanya sudah terlalu keterlaluan.
“Bajingan itu habis ngapain lagi?” tanyanya, sambil mengusap jejak air mata yang membasahi seluruh wajah pucat Ganesha.
“Bukan karena dia,” jawab Ganesha, suaranya serak dan parau.
“Kalau bukan dia, terus siapa lagi? Siapa manusia di muka bumi ini yang bisa bikin Ganesha Mirella—si wonder woman—nangis?”
“Lo,” sahut Ganesha, membuat Kafka terdiam seketika.
Beberapa detik berlalu sebelum Kafka menghela napas pelan dan menjauhkan tubuh Ganesha darinya. “Bukan waktunya buat bercanda,” katanya, suaranya rendah tapi penuh penekanan.
Bukannya menjawab, Ganesha malah kembali menghambur ke pelukannya—kali ini lebih erat dari sebelumnya.
"Gue nangis karena terharu, Kaf," ucap sang gadis, suaranya tak terlalu jelas karena wajahnya terbenam di dada Kafka.
Kafka diam. Kepalanya ramai, sibuk menerjemahkan tiap kata yang Ganesha ucapkan.
"Gue kira lo bakal ninggalin gue sendirian. Kesakitan, kesepian. Tapi ternyata enggak. Lo tetap di sini, bahkan sampai begadang kayak gini." Suara Ganesha kembali bergetar saat mengatakannya.
Kafka yang semula hanya berdiri mematung, akhirnya membalas pelukan itu. "Lo kira gue tega ninggalin lo sendirian? Enggak, lah, Nesh. Ini juga bukan apa-apa, bare minimum yang bisa gue lakuin sebagai teman."
"Makasih." Ganesha mengangkat wajahnya sedikit, hanya agar bisa menatap netra kelam Kafka lebih lama. "Makasih, Kaf. Gue nggak tahu gimana hidup gue jalan kalau nggak ada lo sama Selena." Lalu ia kembali membenamkan wajahnya ke dada Kafka.
Kafka masih diam. Lidahnya kelu. Yang bisa dia lakukan hanya menerima pelukan itu, selama Ganesha mau.
Pukul 2 lewat 20 menit, Kafka kembali merasakan sesak di dadanya. Karena dia tahu, perjalanan menuju kejujuran akan terasa semakin jauh dan rumit.
Bersambung....
Weh, Kafka jengkel setengah mampus inu😅