seorang pemuda yang di paksa masuk ke dalam dunia lain. Di paksa untuk bertahan hidup berkultivasi dengan cara yang aneh.
cerita ini akan di isi dengan kekonyolan dan hal-hal yang tidak masuk akal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yellow street elite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Dalam keheningan itu, ketika semua orang menanti hasil dari pemanggilan energi spiritual yang menyelimuti tubuh Rynz… tiba-tiba sebuah cahaya kecil menyala di tangan kanannya. Tidak ada efek ledakan, tidak ada aura hebat, tidak ada binatang spiritual yang muncul dari langit.
Yang ada hanyalah...
sebuah palu kecil.
Besi tua, gagang kayu pendek, dan kepala palunya pun sedikit berkarat.
Rynz menatap benda itu.
Matanya menyipit.
Mulutnya bergumam,
"Eh? Mainan?"
Namun di depan altar langit, sebuah tulisan akhirnya muncul—menggantung di udara dengan cahaya abu-abu pucat:
> PROFESI: BLACKSMITH
TINGKAT: 1 (Dasar)
KEMAMPUAN: MEMBENTUK PERALATAN KELAS RENDAH | DURABILITAS 60% | NO COMBAT FUNCTION
Beberapa detik berlalu tanpa suara.
Lalu…
ledakan tawa meledak dari kalangan para calon pahlawan.
"Hahaha! Pandai besi? Itu juga level satu?! Bukannya itu profesi NPC pendukung?"
"Dia pikir ini game survival? Mau bikin kapak dari batu?"
"Ck, ck, ck… siapa yang manggil bocah sampah ini ke upacara pemanggilan pahlawan?"
Rynz masih memandangi palu di tangannya. Beratnya lumayan... tapi tetap saja tidak tampak seperti senjata legendaris. Tak ada aura. Tak ada nama khusus. Bahkan tidak ada fungsi bertarung sama sekali.
Dia berusaha tersenyum canggung, mengangkat palunya sedikit.
"Ehe… mungkin ini versi awal dari item rahasia ya? Ntar bisa evolve?"
Namun suara lembut Anantasia terdengar, kini tidak lagi selembut tadi.
Nada suaranya berubah—dingin, kaku, dan jenuh.
"Kau adalah hasil pemanggilan yang sia-sia. Jiwa tanpa nilai. Tak ada kekuatan. Tak ada potensi."
Ia mengangkat tangannya, dan cahaya istana mulai menggulung seperti ombak putih yang menyapu langit.
"Aetherion butuh pahlawan… bukan beban yang harus kami rawat. Pergilah."
Seketika itu juga, tubuh Rynz diselimuti oleh kilatan cahaya kasar. Bukan teleportasi halus seperti yang diberikan kepada para pahlawan, melainkan dorongan paksa—seperti seseorang yang ditendang keluar dari rumah mewah tanpa sempat memakai sepatu.
"WOOOAAAHHH!! TUNGGUUU!! GUA BELUM GANTI BAJU!!"
Suara teriakannya bergema, lalu menghilang bersama tubuhnya yang dilempar keluar dari altar cahaya...
menuju hutan liar di batas dunia Aetherion.
Dingin. Gelap. Dan penuh makhluk buas.
Dan di sanalah ia tergeletak, wajah menempel di tanah, palu kecil masih dalam genggamannya.
Rynz terbaring telentang di tanah lembap, tubuhnya pegal-pegal, dan kepalanya masih berdenyut karena terhempas begitu saja dari istana cahaya. Suara burung liar menggema dari pepohonan tinggi, kabut tipis melayang di antara semak belukar, dan hawa sejuk dari akar-akar lembab menyusup ke dalam pakaiannya.
Namun meskipun semuanya terasa begitu nyata…
“Hah… pasti ini bagian dari tutorial game. Disuruh jatuh dulu, biar pemain ngerasa susah di awal…” gumamnya sambil duduk perlahan.
Ia melihat ke tangan kanannya. Palu kecil itu masih di sana. Tak ada ikon status. Tak ada petunjuk. Tak ada HUD. Hanya sepotong logam konyol yang bahkan tidak memantulkan cahaya dengan benar.
“Oke… jadi kayaknya ini semacam class tersembunyi. Kayak blacksmith yang nanti bisa bikin senjata legendaris. Iya kan? Hehe… ya kan?”
Ia memaksa dirinya tertawa. Garing. Sunyi. Hanya angin yang menjawab.
Perutnya mulai lapar. Air liurnya mengental.
“Eh... tapi biasanya kalo di game, ada menu inventori, peta, atau petunjuk... Mana ini?”
Rynz mengayunkan tangan di depan wajahnya, berharap ada jendela holografik muncul. Tak ada. Ia coba menekan pelipis, dada, bahkan... menampar pipinya sendiri.
Plak.
Sakit.
“Oke. Itu sakit. Jadi kalau ini game, realistisnya udah keterlaluan.”
Ia pun akhirnya bangkit, sedikit sempoyongan, lalu mulai berjalan tanpa arah. Hutan itu begitu luas, dengan akar-akar menjulur di mana-mana dan suara makhluk asing bersahutan dari kejauhan.
Namun, alih-alih panik…
Rynz malah menggumam seperti komentator YouTube:
“Oke, sekarang masuk fase survival. Cari kayu, cari batu. Bikin kapak. Classic tutorial stuff.”
Ia melihat sebatang pohon kecil, lalu mencoba memukulnya pakai palu.
Duk. Duk. Duk.
Tak ada yang terjadi. Bahkan kulit pohonnya tak tergores.
“Hmm… mungkin level gua kurang. Harus ningkatin dulu EXP-nya.”
Dia celingukan, lalu melihat seekor kelinci kecil muncul dari balik semak.
“Perfect. Monster level satu.”
Dia maju perlahan. Pelan-pelan. Menjinjit.
Angkat palu. Tarik napas.
"Maaf ya, kelinci. Demi progress—"
Namun sebelum sempat menghantam...
Srettt!
Kelinci itu melompat… dan dari belakangnya, muncul ular besar, sisiknya hijau gelap, matanya merah menyala. Giginya menyembul dari rahang bawah, menjulur lidah panjang yang mendesis.
Rynz membeku.
Matanya melotot.
Palu di tangannya mulai gemetar.
“…Tutorial apaan nih anjing.”
Rynz berlari sekuat tenaga. Napasnya memburu, kaki terantuk akar-akar pohon besar, dan tubuhnya mulai penuh goresan akibat ranting tajam. Di belakangnya, ular hutan raksasa itu masih mengejar, melata cepat di antara rerumputan dan tanah becek, mengayunkan tubuhnya seperti cambuk hidup.
"Gila… ini... tutorial macam apa yang langsung ngasih boss level early game begini?!" teriak Rynz dalam hati.
Namun nasib buruknya tidak berhenti di situ.
Saat ia menerobos celah antara dua pohon besar, tanah di depannya terbuka menjadi area berumput luas yang dikelilingi batu-batu runcing. Di tengahnya, berdiri seekor makhluk... yang seketika membuat darahnya membeku.
Seekor serigala merah. Tapi bukan sembarang serigala.
Makhluk itu setinggi kuda dewasa, berdiri dengan sikap waspada. Bulu merah darah menyelimuti seluruh tubuhnya, tampak seperti kobaran api yang hidup. Tubuhnya kekar, penuh otot yang berdenyut pelan, dan dari punggungnya menjulur dua deretan duri tulang yang menyembul seperti tombak kecil.
Namun yang paling mencolok adalah kepalanya—moncong panjang dengan rahang bawah yang retak di sisi kanan, seolah pernah bertarung dengan sesuatu yang lebih besar. Lidahnya menjulur, menjilat taring-taring panjang yang menghitam di ujungnya.
Dan di dahinya…
sepasang tanduk iblis, melengkung ke belakang seperti sabit yang tumbuh dari dalam tengkorak. Tanduk itu menghitam, berkilau seperti batu obsidian, memancarkan aura jahat yang menekan dada siapa pun yang melihatnya.
Matanya...
merah menyala, tapi tidak memantul cahaya. Mata itu seperti lubang ke dalam jurang neraka, penuh kebencian purba dan naluri pembunuh. Nafasnya mengepul, dan dari setiap hembusan itu muncul percikan api kecil yang membakar rumput di sekitarnya.
[Red Devil Wolf — Rank B]
[Warning: Beast-Class Demon Detected]
Rynz membeku. Tubuhnya gemetar. Bahkan ular yang mengejarnya tadi pun berhenti mendadak, mendesis pelan, lalu... mundur perlahan, melata pergi dari arah makhluk mengerikan itu.
Sementara Rynz masih berdiri di tengah lapangan itu.
Palu kecilnya...
bergetar di tangannya. Tak memberikan rasa aman sama sekali.
"...Oh."
"...Ini bukan tutorial."
"...INI SURVIVAL MODE NGENT..."
Sebelum ia sempat menyelesaikan umpatan terakhirnya, Red Devil Wolf itu mengangkat kepalanya...
dan menatap langsung ke mata Rynz.
Rynz memutar tubuhnya secepat yang ia bisa, tidak sempat berpikir dua kali. Ular yang tadi mengejarnya sudah tidak lagi menjadi ancaman—sekarang, seluruh fokusnya adalah berlari menjauh dari Red Devil Wolf yang mengeluarkan desisan rendah, seperti suara bara api yang tersiram darah.
Kakinya bergerak tanpa arah pasti, hanya mengandalkan naluri untuk menyelamatkan nyawa. Napasnya memburu, jantungnya berdentum begitu keras hingga seakan memukul tulang rusuknya dari dalam. Tapi di dalam otaknya… satu kalimat terus menggemakan kebohongan yang selama ini menenangkan:
“Ini masih tutorial. Ini masih game. Gak beneran. Gak nyata.”
Namun kenyataan tidak peduli pada anggapan seseorang.
Suara "DUARRK!!" terdengar dari belakang.
Red Devil Wolf menerjang dengan kecepatan mengerikan. Tubuh besar itu meluncur di udara, dan dalam sekejap… cengkeraman rahangnya menghantam dari sisi kiri tubuh Rynz.
Rynz berusaha menghindar. Tapi dia terlambat.
CRAAAKKK!
Seketika itu juga... lengan kirinya tercabik.
Bahu hingga bawah sikunya menghilang dalam satu gigitan. Terdengar suara tulang patah dan otot yang terkoyak, lalu semburan darah panas menyembur liar dari bekas pangkal lengannya. Tubuhnya terlempar ke tanah seperti boneka kain yang robek.
"AAAAAAAAAAARGHHHHH!!!"
Jeritannya menggema di hutan.
Suara parau penuh rasa sakit yang menusuk.
Seketika itu juga… dunia yang selama ini tampak seperti "game VR", "tutorial isekai", dan semua imajinasi bodoh yang ia ciptakan di kepala…
runtuh.
Darah itu panas. Terlalu panas.
Rasa sakitnya nyata.
Terus-menerus menggigit, membakar, menghantam dari dalam.
Rynz menggigil. Napasnya pendek-pendek. Pandangannya mulai buram. Ia memeluk tubuhnya dengan tangan yang tersisa, berusaha menekan luka yang tak bisa dihentikan.
“Bukan game… ini… beneran… ini... DUNIA NYATA!!”
Tubuhnya mulai melemas, tubuhnya basah oleh darah sendiri, keringat dingin membasahi leher dan kening. Namun dari kejauhan—ia bisa melihat bayangan samar seperti dinding batu, siluet sebuah desa, jauh di balik barisan pohon dan kabut.
Satu-satunya harapan.
Ia menggertakkan giginya.
"Aku belum mau mati… belum sekarang…!"
Dengan seluruh sisa tenaganya, ia mulai menyeret tubuhnya menuju arah desa. Kaki kanan bergerak, tangan kanan mencengkeram tanah. Palu kecilnya—masih tergenggam, penuh darah dan lumpur.
Red Devil Wolf masih berdiri di belakangnya, namun tidak langsung mengejar. Ia hanya mengendus, lalu mengeluarkan erangan rendah—seolah mengintai...
...menunggu korban itu mati perlahan.