NovelToon NovelToon
Benih Pahit Berbuah Manis

Benih Pahit Berbuah Manis

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cinta setelah menikah / One Night Stand / Hamil di luar nikah / Cinta Seiring Waktu / Menikah Karena Anak
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Volis

Shanaira Monard tumbuh dalam keluarga kaya raya, namun cintanya tak pernah benar-benar tumbuh di sana. Dicintai oleh neneknya, tapi dibenci oleh ayah kandungnya, ia menjalani hidup dalam sepi dan tekanan. Ditengah itu ada Ethan, kekasih masa kecil yang menjadi penyemangatnya yang membuatnya tetap tersenyum. Saat calon suaminya, Ethan Renault malah menikahi adik tirinya di hari pernikahan mereka, dunia Shanaira runtuh. Lebih menyakitkan lagi, ia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung anak dari malam satu-satunya yang tidak pernah ia rencanakan, bersama pria asing yang bahkan ia tak tahu siapa.

Pernikahannya dengan Ethan batal. Namanya tercoreng. Keluarganya murka. Tapi ketika Karenin, pria malam itu muncul dan menunjukkan tanggung jawab, Shanaira diberi pilihan untuk memulai kembali hidupnya. Bukan sebagai gadis yang dikasihani, tapi sebagai istri dari pria asing yang justru memberinya rasa aman.

Yuk ikuti kisah Shanaira memulai hidup baru ditengah luka lama!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8. Malam Yang Tidak Bisa Di Ubah

Langkah-langkah pelan Shanaira menyusuri tangga menuju kamarnya terasa berat, seolah setiap anak tangga membawanya lebih dalam ke dalam jurang yang tak ia pahami. Setelah percakapan penuh api di ruang tamu tadi, tubuhnya hanya ingin rebah dan menghilang dari dunia.

Begitu pintu kamarnya tertutup, ia bersandar di baliknya. Sunyi menyelimuti ruangan, tapi hatinya bergejolak. Di cermin riasnya, wajah pucatnya terpantul—mata yang bengkak, bibir yang gemetar, dan tatapan kosong.

Ia perlahan duduk di sisi ranjang, tangannya menyentuh perutnya yang masih rata. Ada kehidupan kecil di dalam sana… dan hingga kini ia masih belum tahu bagaimana harus menjalani hari esok.

Pikiran tentang Karenin kembali memenuhi benaknya. Kata-katanya semalam begitu sederhana, tapi tegas. Ia tidak berbicara banyak, hanya satu kalimat yang terus terngiang di kepala Shanaira:

"Aku tidak akan membiarkan anakku lahir tanpa ayah."

Ia menatap ponsel di meja rias. Layarnya berkedip—satu pesan masuk.

Karenin: "Jika kau merasa cukup kuat, temui aku di taman belakang hotel malam ini. Aku ingin membicarakan sesuatu. Tapi jika tidak, aku akan tetap menunggumu besok. Aku tidak akan memaksa. Tapi aku tidak akan mundur."

Hati Shanaira teraduk. Ia masih takut, bingung, bahkan belum yakin akan semua ini. Tapi satu hal yang membuatnya diam beberapa saat lebih lama di tepi ranjang adalah kenyataan bahwa… tidak ada satu pun yang pernah menunggunya seperti itu sebelumnya.

Bukan ayahnya, bukan ibu tirinya, bukan juga pria yang selama ini ia cintai.

Ia berbaring perlahan, menatap langit-langit kamar, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa hidupnya mungkin akan berubah. Tapi belum tentu untuk lebih buruk.

Dalam diam, air mata mengalir. Bukan karena lemah, tapi karena jiwanya mulai mengizinkan diri untuk berharap. Mungkin dengan mempertahankan bayi ini hidupnya akan berubah.

***

Shanaira berjalan perlahan menuju taman belakang hotel seperti yang dijanjikan Karenin. Langit malam yang gelap memberikan kesan sepi, seakan dunia hanya milik mereka berdua. Suara langkahnya terhenti saat ia melihat sosok Karenin yang sudah menunggu di bawah pohon besar, wajahnya tampak tegas, namun ada sesuatu yang lebih lembut di matanya.

Karenin menatapnya dengan serius. "Shanaira," katanya, suaranya rendah namun jelas, "Saya tahu kamu bingung dan merasa terperangkap dalam semua ini. Tapi saya ingin menunjukkan sesuatu." Karenin tahu Shanaira masih tidak percaya kalau dialah yang bersamanya malam itu. Karena itu Karenin ingin menunjukkan ini padanya.

Ia mengeluarkan ponselnya, kemudian memutar sebuah video yang membuat jantung Shanaira berdebar. Pada layar, terlihat jelas gambaran malam itu, malam yang hilang dari ingatannya—saat dirinya dibawa ke kamar hotel dalam keadaan yang tak sadarkan diri. Video itu memperlihatkan Shanaira terbaring lemah di ranjang, dan Karenin, dengan tegas namun hati-hati, berusaha memastikan kondisi wanita itu.

Shanaira menatap layar dengan wajah pucat. Itu adalah kenyataan yang sangat sulit diterima, namun semuanya menjadi jelas kini. "Itu... itu aku?" suaranya bergetar.

Karenin mengangguk pelan. "Kau tidak ingat apa-apa dari malam itu, kan? Kau diberi obat perangsang tanpa sadar. Aku tidak tahu siapa yang melakukannya, tapi aku di sana, dan aku tidak bisa membiarkanmu begitu saja."

Shanaira menundukkan kepala, perasaan bercampur aduk antara marah dan bingung. "Kenapa kau menunjukkan ini padaku?"

"Karena aku tahu kamu tidak percaya hanya dengan perkataanku kemarin," jawab Karenin tegas.

"Dan karena aku tidak bisa membiarkan anak ini lahir tanpa nama. Aku tahu ini mungkin terlalu mendalam, tapi aku ingin menikahimu, Shanaira. Bukan hanya karena bayi ini, tetapi karena aku ingin mengubah nasib kita berdua. Kita bisa mulai lagi, dengan cara yang benar."

Shanaira terdiam, kata-kata itu menghantamnya begitu kuat. Dia belum siap dengan keputusan sebesar ini, namun ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa menepis rasa tanggung jawab yang ditawarkan Karenin.

Dia menatap Karenin, dalam diam yang panjang, sebelum akhirnya berkata, "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku bingung, dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Tapi… aku akan memikirkannya."

Karenin menatapnya dengan penuh pengertian. "Aku tahu ini bukan hal yang mudah. Ambil waktumu, Shanaira. Aku akan menunggumu."

Shanaira berdiri sejenak, lalu akhirnya mengangguk perlahan. "Terima kasih, Karenin. Aku akan coba berpikir tentang semuanya."

Saat itu, meski keputusan besar ada di hadapannya, ada satu hal yang pasti: dia tidak akan menghadapi ini sendirian.

Karenin menatap Shanaira yang pergi dengan langkah goyah dan kembali melihat video di ponselnya membuatnya teringat malam dimana semua kesalahan terjadi.

Malam itu, hujan mengguyur kota, merembes lembut di balik kaca kamar hotel tempat Karenin menginap sepulang dari luar negeri. Ia baru selesai mandi saat mendengar suara pintu terbuka dari luar. Dengan tubuh masih dibalut handuk, ia berjalan keluar dari kamar mandi dan langsung terpaku melihat seorang perempuan dibaringkan di tempat tidurnya.

Gadis itu—Shanaira—masih mengenakan gaun pesta, terlihat setengah sadar, wajahnya memerah dan tubuhnya tampak gelisah. Karenin mengejar langkah kaki seseorang yang baru saja keluar dari kamar, tapi saat ia sampai di ambang pintu, lorong sudah kosong. Pintu mendadak terkunci dari luar. Ia mencoba menyalakan ponsel—mati. Ia mencoba telepon kamar—tak ada sambungan.

Panik, bingung, dan mulai sadar bahwa ini bukan situasi biasa, Karenin mendekati gadis itu. Saat ia menyentuh pergelangan tangan gadis itu, ia merasakan detak jantung cepat, tubuhnya panas—seolah sedang berada dalam pengaruh obat kuat. Tubuh itu bergerak, mendesah pelan, memanggil dalam kebingungan dan ketakutan.

“Jangan sentuh aku…” gumamnya samar, tapi tangannya justru menarik erat kain seprei, dan matanya tetap tertutup.

Karenin berdiri kaku, pikirannya penuh badai. Semua jalan keluar tertutup. Ia bisa membiarkan gadis itu tergeletak begitu saja—tapi kondisi gadis itu memburuk. Ia menggigil, berkeringat, mengigau. Dia tak tahu harus berbuat apa dan tak ada bantuan. Ia mencoba menyelimuti gadis itu, menjauh, duduk, menunggu. Tapi suara isakan dan tubuh yang terus menggeliat membuatnya goyah.

Saat malam semakin larut, dan hawa panas tubuh gadis itu makin tak terkendali, ia mendekat kembali—hanya berniat memastikan gadis itu tidak masuk fase bahaya. Namun, dalam kegilaan malam yang sunyi dan ruangan tanpa sinyal itu… niat baik bisa berubah arah.

Karenin kalah.

Gadis itu, dalam kondisi separuh sadar, memanggil, menggenggam, mencengkeram tangannya, dan menangis lirih memohon agar tidak ditinggalkan sendirian. Dalam keputusasaan, dalam kondisi di mana batas-batas kewarasan tergerus rasa takut dan keinginan melindungi, tubuh mereka akhirnya menyatu dalam kesalahan yang tak pernah Karenin niatkan.

Pagi harinya, ia terbangun lebih dulu. Tubuh gadis itu meringkuk dalam selimut, wajahnya damai tapi sayu. Ia menatapnya lama, menyadari sepenuhnya bahwa malam itu bukan sesuatu yang bisa diulang, bukan sesuatu yang mudah dimaafkan—bahkan oleh dirinya sendiri.

Awalnya dia ingin menunggu garis itu bangun. Tapi, ketukan pintu yang datang membuatnya harus pergi saat itu juga.

1
Marifatul Marifatul
ko dikt
Marifatul Marifatul
lanjut lagi dooong
Miu Nih.
kayaknya Karenin baik nih. aku suka cowok grenflag... jgn patahkan ekspektasiku ya tor /Determined//Determined/
Miu Nih.
Hehe, bikin ethan mabuk aja kalo gituuu 😘😘
Miu Nih.
semoga Karenin baik 😌
Miu Nih.
wah, orang yang berpengaruh ini pastiny 🤩🤩
Miu Nih.
aaahh... kasihan banget shanaria... ethan juga kasihan 😭😭
Miu Nih.
iklin liwittt~ trabas aja, aku lanjut author 🤗🤗
Miu Nih.
ya wis lah, Claira sama ethan wae...
shanaria biar ketemu bapak dari adek bayi yang ada diperutnya 😌
Miu Nih.
Ha? ya ampun thor,, kisah kamu plot twist banget... cukaaa 🥶🥶
Miu Nih.
aaahh 😫😫 penyesalanku berakhir dengan penyesalan... kasihan shanaria ku, huhu...
Miu Nih.
aduh, bahaya nih
Miu Nih.
sip ini, semoga jadi cinta sejati /Determined//Determined/
Miu Nih.
Kamu pantas bahagia Shanaria,, nama kamu cantik banget 🥰🥰
Miu Nih.
Holla kak, aku mampir...

baca pelan2 ya sambil rebahan 🤭
salam kenal dari 'aku akan mencintaimu suamiku,' jangan lupa mampir 🤗
范妮
ak mampir kak..
jangan lupa mampir jg di Menaklukan hati mertua mksh
Marchel
kasian shan. semoga shan mendapatkan kebahagiaan yang sempurna
Marchel
Anak siapa itu shan?
Marchel
Kasian shan, di awal cerita harus menanggung bawang.. semoga shan bahagia ya dan yang jadi lakinya tetap setia
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!