NovelToon NovelToon
Kejamnya Mertuaku

Kejamnya Mertuaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Mira j

Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.

Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".

Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 8

 

Saat Anjani turun dari motor dengan kantong belanjaan di tangan, Dita yang sedang berdiri di teras meliriknya dengan tatapan penuh sindiran.

"Wah, belanja banyak banget, Mbak! Akhirnya tahu diri juga ya, kalau tinggal di rumah orang harus ikut kontribusi," ucapnya dengan nada sinis.

Anjani hanya diam, malas menanggapi. Ia berjalan melewati Dita dan hendak masuk ke dalam rumah, tetapi Dita tiba-tiba menarik salah satu kantong belanjaan dari tangannya.

"Beli apa aja, nih? Ada sesuatu buat aku nggak?" Dita membuka kantong tanpa izin, lalu tertawa sinis saat melihat isinya. "Hah, sayur doang? Kirain beli sesuatu yang lebih berguna!"

Anjani menghela napas, mencoba menahan kesabaran. "Kalau butuh sesuatu, belilah sendiri. Aku belanja untuk kebutuhan dapur, bukan buat yang lain," jawabnya tegas.

Dita mendengus kesal. "Ih, pelit banget sih jadi orang! Numpang di rumah orang, tapi nggak mau berbagi. Pantes aja Ibu sebel sama kamu!"

Anjani mengepalkan tangannya, tetapi tetap berusaha menahan diri. Ia melangkah masuk, tetapi Dita tidak berhenti di situ.

"Oh ya, hampir lupa! Tadi Ibu bilang dia butuh uang buat investasi. Katanya sih butuh tambahan dana. Masa kamu nggak mau bantu? Kan sekarang udah belanja banyak, berarti ada duit, dong?" ujar Dita dengan nada menyindir.

Anjani menghentikan langkahnya, lalu menatap Dita dengan tajam. "Aku pikir Bu Rina nggak pernah peduli sama aku. Tapi giliran butuh uang, tiba-tiba aku yang diingat?"

Dita terdiam sejenak, tidak menyangka Anjani akan menjawab seperti itu. Namun, ia segera terkekeh. "Terserah kamu, deh. Tapi jangan salahin Ibu kalau nanti sikapnya makin buruk ke kamu."

Anjani hanya tersenyum tipis, lalu melangkah masuk tanpa berkata lagi. Dalam hatinya, ia tahu konflik ini belum selesai.

Anjani segera menuju dapur, meletakkan belanjaannya, dan mulai menyiapkan sarapan. Ia tahu Adrian sebentar lagi bangun, dan sebagai istri, ia tetap ingin melakukan tugasnya meskipun hatinya masih sakit dengan kejadian-kejadian sebelumnya.

Tangannya cekatan menyeduh kopi hitam kesukaan suaminya. Setelah itu, ia mulai memasak nasi goreng sederhana dengan telur ceplok sebagai lauknya. Ia memilih menu yang cepat agar Adrian tidak terlambat ke kantor.

Saat ia hampir selesai, langkah kaki terdengar dari arah kamar. Adrian muncul dengan wajah masih sedikit mengantuk. Ia melirik ke arah dapur, lalu mendekat.

“Kamu udah bangun? Masak apa?” tanyanya, suaranya sedikit lembut.

“Nasi goreng sama telur,” jawab Anjani tanpa menoleh. Ia mengambil piring dan mulai menyajikan sarapan di meja makan.

Adrian duduk di kursi, menghirup aroma kopi yang baru disajikan Anjani. “Terima kasih,” ucapnya singkat sebelum mulai makan.

Anjani hanya diam, duduk di seberangnya sambil memperhatikan ekspresi Adrian.

Anjani meletakkan piring di depan Adrian dan duduk di hadapannya. Setelah mengumpulkan keberanian, ia akhirnya berkata, “Mas, aku ingin kembali bekerja.”

Adrian yang sedang menyantap sarapannya sedikit terkejut. Ia menatap Anjani dengan alis berkerut. “Kamu yakin sudah sehat? Lagipula, kalau kamu kerja, siapa yang ngurus rumah?”

Anjani menarik napas dalam. “Aku sudah sehat, Mas. Aku juga ingin mandiri, nggak mau terus-terusan bergantung sama kamu.”

Sebelum Adrian sempat menjawab, suara Bu Rina tiba-tiba menyela tajam. “Mau kerja apa kamu? Memangnya ada perusahaan yang mau nerima kamu? Paling-paling cuma jadi OB!” katanya sinis.

Dita yang sedang berdiri di dekat pintu ikut menimpali. “Iya, Mbak. Lagian kalau cuma kerja biasa, gajinya juga nggak seberapa. Nggak bakal bisa ngalahin gaji Mas Adrian, kan?”

Adrian tampak ragu. Ia menatap istrinya dengan tatapan bimbang. “Aku nggak melarang, tapi kamu yakin bisa kerja sambil tetap mengurus rumah?”

Anjani mengangguk mantap. “Aku akan coba, Mas.”

Bu Rina mendecak kesal. “Terserah kamu! Tapi jangan sampai rumah ini berantakan gara-gara kamu sibuk kerja!” katanya sambil berdiri dan meninggalkan meja makan.

Setelah mendapatkan izin dari Adrian, senyum mengembang di bibir Anjani. Ia merasa lega akhirnya bisa kembali bekerja dan tidak hanya terkurung di rumah dengan segala tekanan dari mertua dan iparnya.

Segera, ia menuju kamar dan membuka lemari kecil tempat ia menyimpan dokumen-dokumen penting. Tangannya dengan cekatan mengambil ijazah, sertifikat, dan dokumen lain yang mungkin diperlukan. Sambil merapikan semuanya ke dalam map, hatinya bersemangat.

Namun, di luar kamar, Bu Rina dan Dita diam-diam mendengar percakapan tadi. Bu Rina melipat tangan di dada dengan ekspresi tidak suka. “Kita lihat saja, apakah dia benar-benar bisa kerja sambil tetap mengurus rumah,” gumamnya sinis.

Dita terkekeh. “Kalau dia sibuk kerja, makin gampang buat kita bikin dia kelihatan nggak becus di depan Mas Adrian.”

Bu Rina tersenyum penuh arti. “Biar saja dia pergi. Nanti kita buat Adrian berpikir kalau istrinya lebih mementingkan pekerjaan daripada keluarga.”

Di dalam kamar, Anjani tak tahu rencana licik ibu mertua dan iparnya. Ia hanya fokus pada harapan barunya—kesempatan untuk mandiri dan membuktikan bahwa ia bukan perempuan lemah seperti yang mereka kira.

Anjani keluar dari rumah dengan map berisi dokumen di tangannya. Adrian sudah menunggu di teras, bersiap mengantarnya ke perusahaan tempat Anjani ingin melamar kerja.

"Yuk, kita berangkat sekarang biar nggak telat," kata Adrian sambil merapikan jaketnya.

Anjani mengangguk dan segera naik ke motor, duduk di belakang Adrian. Namun, sebelum Adrian sempat menyalakan mesin, suara Bu Rina terdengar dari dalam rumah.

"Mau kerja di mana kamu, Anjani?" tanyanya dengan nada meremehkan.

Anjani menoleh dan menjawab dengan tenang, "Saya mau mencoba melamar di perusahaan yang membuka lowongan."

Bu Rina mendecak sinis, lalu menatap Adrian. "Kamu ini suami macam apa, Adrian? Masa istri sendiri disuruh kerja? Malu-maluin keluarga saja."

Adrian menarik napas dalam, berusaha sabar. "Bukan aku yang nyuruh, Bu. Anjani sendiri yang mau. Lagipula, dia juga butuh kesibukan."

Dita, yang sedang duduk di kursi teras, ikut menimpali. "Hati-hati aja, Mbak. Zaman sekarang nyari kerja susah. Palingan juga cuma jadi tukang bersih-bersih," ujarnya dengan nada menyindir.

Anjani tidak menggubris mereka. Ia hanya mempererat pegangannya di pinggang Adrian. Adrian sendiri hanya menggeleng kecil sebelum akhirnya menyalakan mesin motor.

Sepanjang perjalanan, Anjani terdiam, memikirkan kata-kata Bu Rina dan Dita. Sementara itu, Adrian melirik sekilas melalui kaca spion. "Kamu yakin mau kerja?" tanyanya.

Anjani mengangguk mantap. "Iya, Mas. Aku ingin mandiri dan nggak bergantung pada siapa pun."

Adrian tersenyum tipis. "Baiklah. Aku dukung. Semoga kamu dapat pekerjaan yang cocok."

Anjani meminta Adrian menurunkannya di perempatan jalan.

"Aku turun di sini aja, Mas. Mas langsung ke kantor aja, nanti aku pulang  sendiri," katanya.

"Kenapa nggak langsung aku antar?" tanya Adrian heran.

"Ada beberapa berkas yang harus aku fotokopi dulu," jawab Anjani sambil tersenyum.

Adrian mengangguk, lalu menepikan motor. "Baiklah, hati-hati ya."

Setelah Adrian pergi, Anjani berjalan menuju tempat fotokopi di pinggir jalan. Saat menunggu berkasnya selesai digandakan, matanya tertuju pada gedung pencakar langit di seberang jalan.

Gedung megah itu terlihat mewah dan sangat eksklusif, berbeda jauh dari tempat-tempat lain di sekitar sana. Sebuah plakat emas bertuliskan "Megantara Group" terpampang di bagian depan, menambah kesan prestisius.

Anjani terdiam sejenak, hatinya berdebar tanpa alasan yang jelas. Seakan ada sesuatu yang menuntunnya untuk terus menatap gedung itu.

"Ini mbak, berkasnya sudah selesai," suara pemilik fotokopi menyadarkannya.

Anjani tersenyum dan segera membayar. Namun, saat hendak berbalik pergi, tiba-tiba sebuah mobil mewah melintas tepat di depannya.

Mobil itu berhenti tepat  di depan gedung megah di depan nya. Pintu mobil terbuka, dan seorang pria tampan dengan setelan mahal turun dengan penuh wibawa.

Mata Anjani membelalak. Itu William—anak Pak Robert!

Jantungnya berdegup kencang saat melihat pria itu berjalan masuk ke gedung dengan penuh percaya diri.

Kenapa dia ada di sini? Apa mungkin…?

Seketika, rasa penasaran menguasai dirinya. Anjani menggenggam erat map di tangannya, lalu menarik napas dalam. Tanpa sadar, langkah kakinya mulai bergerak mendekati gedung itu.

Anjani menelan ludah saat melihat satpam itu menatapnya dengan pandangan meremehkan.

“ Pak saya mau tanya apakah disini membuka lowongan pekerjaan?” Tanya Anjani.

“ Mbak,mau ngelamar pekerjaan?” Jawab satpam itu.

“Iya pak” Tasya mengangguk pelan.

"Udah deh, Mbak. Ngaca dulu sebelum ngelamar kerja di sini," katanya sambil tertawa kecil. "Pakaian kayak gitu, tampang lugu, yakin bisa kerja di perusahaan ini? Paling banter juga jadi OB!"

Anjani mengepalkan tangan, mencoba menahan emosinya. "Saya cuma mau coba, Pak. Kalau memang ada lowongan—"

"Lowongan? Mbak kira ini warteg yang bisa dimasuki siapa saja? Karyawan di sini itu lulusan universitas ternama, bukan orang sembarangan," potongnya tajam.

“Udah, mending balik aja, nggak usah bikin malu diri sendiri!"

Beberapa karyawan yang melintas mulai melirik ke arah mereka. Beberapa berbisik, sementara yang lain hanya melihat dengan tatapan tidak peduli. Anjani merasakan panas di pipinya. Rasa malu dan sakit hati bercampur menjadi satu.

"Atau jangan-jangan... Mbak ini nyari bos kaya buat jadi simpanan?" Satpam itu terkekeh. "Banyak tuh perempuan-perempuan kayak gitu yang sengaja datang kesini buat tebar pesona."

Ucapan itu menampar harga diri Anjani. Matanya memanas, tapi ia menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia ingin membalas, ingin berteriak bahwa dirinya bukan seperti yang dikatakan satpam itu. Namun, sebelum ia bisa membuka mulut, sebuah suara berat terdengar dari belakang.

"Ada masalah di sini?"

Satpam itu langsung diam. Anjani menoleh dan melihat seorang pria berjas rapi berjalan mendekat dengan langkah tegap. Wiliam.

Tak sengaja William yang ingin kembali ke mobil untuk mengambil berkas yang tertinggal. mendengar keributan ia segera berjalan menuju arah suara .

Mata pria itu menyipit saat melihat wajah Anjani yang memerah karena menahan amarah. Kemudian, tatapannya beralih ke satpam yang tadi menghina Anjani. "Apa yang terjadi?" tanyanya dingin.

Anjani masih diam di tempatnya, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Matanya tetap terpaku pada Wiliam, pria yang kini berdiri dengan ekspresi datar, tetapi matanya tajam mengawasi situasi.

Satpam itu langsung mengambil kesempatan untuk membela dirinya. "Maaf, Tuan Wiliam, perempuan ini maksa masuk ke gedung tanpa izin. Dia bilang mau melamar kerja, tapi saya rasa dia cuma main-main. Lihat saja penampilannya, nggak profesional sama sekali! Lagipula, dia tadi bersikeras masuk, jadi saya kasih tahu yang seharusnya—"

"Yang seharusnya?" William memotong dengan nada dingin, alisnya sedikit terangkat.

Satpam itu menelan ludah, tetapi tetap melanjutkan, "Saya cuma mengingatkan, Tuan. Perusahaan kita itu bukan tempat sembarangan. Kalau semua orang bisa masuk begitu saja, nanti malah bikin kacau!"

William mengalihkan pandangannya ke Anjani yang masih berdiri kaku. Ia melihat wajah perempuan itu, ada bekas luka yang tak terlihat secara fisik—entah karena ucapan satpam tadi atau sesuatu yang lebih dalam.

"Apa benar?" William akhirnya bertanya pada Anjani.

Anjani menarik nafas pelan, mencoba menenangkan dirinya. "Saya hanya ingin melamar pekerjaan," jawabnya, suaranya terdengar tenang meskipun dadanya masih bergejolak. "Saya tidak tahu kalau dilarang masuk begitu saja."

Satpam itu langsung menyahut, "Tapi, Tuan William, jelas-jelas perempuan ini tidak layak! Lihat saja—"

"Tutup mulutmu," William memotong, kali ini dengan nada lebih tegas. Tatapannya begitu tajam hingga membuat satpam itu menegang. "Aku tidak pernah menyuruh bawahanku menilai seseorang hanya dari penampilannya."

Satpam itu langsung tertunduk, wajahnya pucat. Sementara itu, William kembali menatap Anjani. "Ikut aku," katanya singkat, lalu berbalik menuju pintu masuk.

Anjani masih ragu, tetapi akhirnya mengikuti langkah Wiliam, meninggalkan satpam yang kini hanya bisa menggigit bibirnya menahan ketakutan.

1
Arsyi Aisyah
Ya Silahkan ambillah semua Krn masa lalu Anjani tdk ada hal yang membahagiakan kecuali penderitaan jdi ambil semua'x
Arsyi Aisyah
katanya akan pergi klu udh keguguran ini mlh apa BKIN jengkel tdk ada berubahnya
Linda Semisemi
greget ihhh.... kok diem aja ya diremehkan oleh suami dan keluarganya....
hrs berani lawan lahhh
Heni Setianingsih
Luar biasa
Petir Luhur
seru banget
Petir Luhur
lanjut.. seru
Petir Luhur
lanjut kan
Petir Luhur
lanjut thor
Petir Luhur
bagus bikin geregetan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!