Tak pernah di sangka kehidupan bahagia keluarga Azka akan berakhir mengerikan hanya karena Ayahnya di tuduh menghamili anak dari seorang kaya dan sangat berpengaruh di desanya.
Azka yang sakit hati, terpaksa mengambil jalan pintas untuk membalaskan kekejaman para warga yang sudah di butakan oleh uang.
Dia terpaksa bersekutu dengan Iblis untuk membalaskan sakit hatinya.
Bagaimanakah nasib Azka, selanjutnya? Yu ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERSETERUAN EMI DAN FIKA
Hari pun mulai siang. Rendi saat itu sedang bersiap untuk pulang cepat, memenuhi janjinya kepada sang istri sultan nya.
Saat hendak mengabari Wina, ia lupa kalau ia belum meminta nomor telponnya, Wina. "Astaga... mengapa aku sampai lupa untuk meminta nomor ponselnya. Apa aku sambangi saja dia di kebun ya? Tapi, entar malah semakin di curigai para pekerja. Huft...! Aku salah besar dalam hal ini. Sudahlah, aku pulang saja. Toh aku tadi pagi sudah bilang sama dia, kalau aku akan pulang siang." Rendi segera menyambar kunci mobilnya lalu secepatnya pulang.
Sepanjang perjalanan, otak nya tak berhenti memikirkan wanita idamannya. "Aku belikan Emas, sama baju. Aku yakin dia akan sangat bahagia kalau aku belikan itu semua. Tapi, bagaimana caranya agar Laela tidak curiga ya?" Rendi termenung sepanjang jalan memutar otak mencari alsan yang tepat agar dengan leluasa membeli sebanyak yang ia mau.
"Tidak ada cara lain, kayaknya. Aku harus sembunyi-sembunyi membelinya. Toh, uang hasil penjualan bulan ini kan, masih di tanganku. Hehe... aku ambil sedikit, pasti nggak bakal ketahuan." Senyum licik pun mengembang di bibir, Rendi.
Laela yang mendengar suara mobil.yang sangat
familiar di telinganya, segera berlari. Dan dugaannya pun benar, dia melihat mobil suaminya yang masuk ke dalam halaman rumahnya. Wajahnya nampak begitu berseri-seri. "Mas! Kamu pulang awal banget! Aku kira bakal pulang di jam yang sudah aku tentukan tadi pagi."
"Aku nggak mau istriku nunggu lama. Apa kamu sudah siap sayang?" Rendi turun daru mobil.
Laela tersipu malu. "Ah, Mas ini. Selalu saja bikin aku tersipu. Udah dong mas. Mas ganti baju dulu geh! Trus kita langsung jalan. Dan nanti makan siangnya, kita makan di restaurant mahal di kota. Jaraknya cuma satu jam, mas nggak kelaparan kan, nantinya?"
"Aku gini aja sayang. Toh sama aja kan? Aku tetap tampan walau aku memakai baju apa pun. Dan soal makan siang, aku ikut aturan kamu saja, sayang." Rendi mengedipkan matanya menggoda sang istri.
"Ya ganti dulu dong sayang. Itu kan baju dari kebun, bau matahari."
"Iya-iya deh, sayang. Aku ganti. Pokoknya, asal kamu bahagia, aku pun bahagia." Rendi mengecup kening istrinya intens.
Laela sungguh terharu. Dia pun memeluk pinggang suaminya merasa sangat-sangat bersyukur mempunyai suami yang sayang sekali kepada dirinya.
Apa yang ibu katakan kalau Rendi, suatu saat akan berubah, semuanya salah. Aku yakin, Mas Rendi tidak akan pernah berubah. Dia terlihat begitu tulus
menyayangiku. Oh, Mas Rendi, aku benar-benar beruntung memilikimu. Pilihanku tak akan pernah salah
"Aku masuk dulu ya sayang. Biar kita segera pergi."
Ucap Rendi melepaskan ciumannya.
Laela mengangguk setuju. Setelahnya... mereka pun pergi dengan hati penuh kegembiraan.
***
Sementara di perkebunan. Hari beranjak mulai sore.
Sang surya pun telah bergeser hendak menenggelamkan sinarnya. Semua para pekerja telah bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing.
Winarti pun telah siap untuk menuju kediaman, Bi Supri. Di persimpangan jalan, ia memutuskan memisah diri, karena jalan ke rumah Bi Supri, bisa melalui jalur jalan setapak di persawahan yang jaraknya bisa di persingkat.
"Hati-hati ya, Neng. Masih banyak ular berbisa di area sana." Pesan Ibu-Ibu lain.
Wina mengangguk sopan. "Iya, Bu. Makasih sudah di ingatkan." Wina kemudian berbelok. Kini dia sendirian.
Sampai akhirnya, ia melihat semak yang bergerak tak wajar. Ia pun di kejutkan dengan suara desisan ular dari sebalik rumput yang menjulang tinggi sebatas lututnya.
SSSSTTT....
SSSTTTT...
Wina mulai berwaspada. Sampai akhirnya ular itu kini tepat berada di depannya.
SSSTTT...
SSSTTT...
Wina mematung saat ular berbisa itu tiba-tiba melompat akan mematok nya.
Sampai seseorang meneriakinya. "AWAAASSS!!!"
Teriaknya sambil mendorong tubuh Wina, supaya terhindar dari patokan ular berbahaya itu.
Napas lelaki itu terdengar tersengal. Mungkin karena kepanikannya barusan.
"Embak! Nggak apa-apa kan?" Tanya pria itu khawatir.
Wina tampak begitu kesal saat menatap pria itu.
"Embak orang baru ya? Di desa ini. Saya baru lihat.
Perkenalkan Embak, saya Sobirin. Rumah saya di ujung sana. Jaraknya sekitar 500 meter dari sini." Sobirin dengan percaya diri mengulurkan tangan memgajak berjabat.
Wina pun akhirnya pura-pura tidak mengenalnya.
"Oh, aku Winarti. Iya aku orang baru di sini. Aku tinggal di rumahnya Bi Supri. Senang berkenalan dengan anda. Dan terimaksih banyak telah menolong saya barusan. Andai tidak ada anda, mungkin saya sudah mati di patok ular tadi." Ucap Wina basa-basi. Yang padahal, dia tidak akan mempan dengan bisa ular apa pun. Karena yang ia sembah adalah ratunya ular itu sendiri.
"Oh iya. Bi Supri kan belakangan hidup sendiri. Jadi,
Embak ini siapanya Bi Supri?" Tanya Sobirin lagi.
"Saya penyewa kamar saja. Bukan siap-siap nya Bi Supri. Lah, kenapa anda sore-sore begini ke sini?" Tanya Wardah yang sebenarnya tidak perduli, dan tidak ingin tahu apa pun tentang, Sobirin.
Sobirin tampak menghela napas dalam. "Saya mau ke atas gunung itu, Embak. Ada kenangan yang terus menghantui saya selama ini. Dan itu adalah kebodohan yang sangat memalukan bagi saya. Teman saya meninggal di sana, tapi malah saya mengabaikannya, hanya karena takut oleh ancaman seseorang yang statusnya lebih tinggi, dan sangat di segani di desa saya ini. Waktu itu, saya sangat bingung. Sempat saya juga menyusul keatas kembali akhirnya. Tapi saya di larang oleh Usatad desa ini. Dan bodoh nya lagi, saya terus saja mendengarkan kata-kata mereka. Yang padahal, saya tahu itu tidak benar. Dan setelahnya, saya selalu di hantui rasa penyesalan, sampai puncaknya, malam kemarin saya seolah di datangi oleh sahabat saya yang terjatuh ke jurang. Sungguh, saya benar-benar pengecut tak tau diri! Menyesaalll sekali, tapi tiada guna sudah. Maka dari itu, saya sering ke sana hanya untuk bisa mengenang lagi kedua sahabat saya itu, dan terus mengirim doa setiap malam jum'at. Saya pun, membangun lagi, pondok kecil milik almarhum teman saya itu." Papar Sobirin tampak penyesalan yang sangat dalam dari raut wajahnya.
Wina hampir saja menitikkan air mata mendengar cerita Sobirin, yang kini tepat berada di hadapannya. Tak sanggup membayangkan kisa kelam di masa lalu yang sudah ia coba untuk menghapusnya, namun tak mampu.
"Ya sudah. Saya pulang dulu, ya Kang. Takut kemalaman." Ucap Wina tidak mau menanggapi cerita, Sobirin.
"Eh, iya. Haduhh. Maaf malah saya bercerita panjang. Monggo-monggo. Saya mau ke puncak sekarang. Tetap hati-hati ya? Takut masih ada ular berbisa lagi. Tapi, saya rasa sudah tidak ada kok. Soalnya, selalu saya singkirkan ular-ular tersebut. Saya tangkap, dan saya bawa naik ke atas. Supaya tak membahayakan warga kalau ada yang lewat sini." Papar Sobirin dengan semangat.
Wina hanya tersenyum lalu mengangguk. Dia pun melanjutkan perjalanannya kembali. Sobirin menatap kepergian Wina, dengan mata berbinar.
"Wanita yang sangat cantik. Pasti dia nyasar ke desa ini. Wong pawakan kota kok bisa ada si desa ini. Hehe!" Sobirin yang tampaknya mengagumi Wina, lalu berbalik dan melanjutkan pendakiannya.
Sepanjang jalan. Wina tampak berpikir. Dia tahu Sobirin adalah lelaki yang sangat baik. Hanya saja, dia sangat mudah di pengaruhi orang lain, walau tidak sesuai dengan pendapat nya. Dia terbilang lelaki lemah dalam memutuskan sesuatu.
Di dalam hatinya berkecamuk. Apakah sudah benar niatnya untuk membuat Sobirin, menderita? Entahlah. Dia pun segera melajukan jalannya lebih cepat.
Sore itu, sehabis magrib. Kediaman Sulis di datangi oleh salah satu pekerjanya dari kebun teh.
"Embak. Majikan saya sedang istirahat. Kalau mau ke sini besok saja siangan, atau pagian. Jangan bertamu saat mereka sedang istirahat." Ujar Fika menjelaskan.
"Saya ini datang bukan hanya sekedar bertamu, atau pun meminta belas kasihan. Saya datang membawa kabar penting buat keluarga ini. Terlebih buat, Embak Laela. Berapa kali sih saya harus bilang? Masih saja nggak percaya."
Fika memutar bola matanya malas. Lagi-lagi ada yang datang dari pekerja Bosnya. Ujung-ujungnya, ia yang kena omel karena mengijinkan mereka masuk. Kali ini nggak akan lagi tertipu. Pikirnya.
"Iya, saya paham, Embak. Tapi beneran... majikan saya sedang beristirahat. Dan saya di larang mengijinkan siapa pun masuk. Jadi, saya mohon, anda pulang dan temui manjikan saya esok hari."
Emi makin kesal saja karena tetap kukuh di larang masuk. "Kamu ini cuma Babu! Tapi sikapmu sama sekali tidak sopan! Jangan sok ya, Babu. Statusmu itu lebih rendah lo, dari saya. Saya kemari membawa berita penting untuk keselamatan Bos, saya. Jadi, jangan banyak alesan deh kamu. Aku tau, Bu Sulis itu orangnya baik dan ramah. Dari dulu dia mau menemui siapa pun yang ingin bertemu dengannya tanpa pandang bulu. Tapi sikapmu ini, malah seenaknya ngusir-ngusir tamunya, Bu Sulis. Dasar Babu tak tau diri!" Maki Emi kepalang kesal.
Fika pun makin tidak terima di maki-maki seenaknya oleh Emi. "Heh! Siapa yang Babu! Aku di sini sebagai Iparnya Laela, Ya? Aku ini adiknya, Bang Rendi. Aku ikut mengerjakan tugas rumah tangga, karena aku nggak enak saja semua keperluanku di tanggung, Ibu Sulis. Yang sebenarnya, aku pun di layani dengan baik di rumah ini. Eh... ini malah ada Pekerja, Buruh lagi, sok tau dan asal saja ngatain orang. PERGI SANA! Kami tidak menerima Buruh sombong seperti KAMU!" Teriak Fika kepalang marah.
Emi yang tidak percaya atas ucapan Fika, hendak mendebat lagi. Namun, Fika segera mendorong nya, dan menutup pintu dengan kuat tepat di wajahnya.
BRAAK!!!
Emi berjingkat kaget.
"Dasar Babu sialan! Awas saja kamu. Akan aku balas perbuatanmu ini." Dada Emi naik turun tak terkendali sangking marahnya.
"Andainya aku bertemu langsung dengan Laela, atau Bu Sulis. Pasti mereka akan sangat berterima kasih, karena akan terhindar dari kelakuan si pelakor tak tau diri itu. Dan pasti mereka akan memperlakukan aku selayaknya keluarga." Emi masih saja menggumam tak terima, saat berjalan menuju gerbang yang tidak di kunci.
Namun, matanya terbelalak kala melihat mobil yang
di tumpangi Laela, bersama sang suami memasuki pekarangan rumah. Matanya pun membola terperangah oleh penampilan Rendi, yang sangat berbeda. Ia tampak lebih tampan dan lebih mempesona. Sepertinya habis dari salon dan sekaligus merubah penampilan berpakaiannya.
Bibirnya mulai tersenyum lebar.
"Ya ampun! Si Bos, makin tampan saja, meni ganteng... pasan! Aku akan benar-benar pasrah bila si Bos mengajakku berkencan, walau hanya di jadikan selingkuhan, atau teman tidur nya saja. Aku mau... banget." Gumam Emi yang terus mematung menatap Rendi dari balik kaca mobil tak berkedip.
Seru gini ko sepi ya.