Rania Alesha— gadis biasa yang bercita-cita hidup bebas, bekerja di kedai kopi kecil, punya mimpi sederhana: bahagia tanpa drama.
Tapi semuanya hancur saat Arzandra Adrasta — pewaris keluarga politikus ternama — menyeretnya dalam pernikahan kontrak.
Kenapa? Karena Adrasta menyimpan rahasia tersembunyi jauh sebelum Rania mengenalnya.
Awalnya Rania pikir ini cuma pernikahan transaksi 1 tahun. Tapi ternyata, Adrasta bukan sekedar pria dingin & arogan. Dia manipulatif, licik, kadang menyebalkan — tapi diam-diam protektif, cuek tapi perhatian, keras tapi nggak pernah nyakitin fisik.
Yang bikin susah?
Semakin Rania ingin bebas... semakin Adrasta membuatnya terikat.
"Kamu nggak suka aku, aku ngerti. Tapi jangan pernah lupa, kamu istriku. Milik aku. Sampai aku yang bilang selesai."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCTA 8
Langkah Adrasta panjang dan penuh amarah saat menarik pergelangan tangan Rania menuju kamarnya. Cengkeramannya dingin — bukan menyakitkan... tapi cukup kuat untuk membuat Rania tahu: lelaki itu sedang berada di ambang batas dirinya.
Pintu kamar terbanting keras di belakang mereka.
Dan di sanalah Rania berdiri — terperangkap di antara dinding dan sosok Adrasta yang kini berdiri di hadapannya, tinggi, gelap, dan penuh gejolak yang tak bisa dia tebak.
"Apa yang kau pikirkan tadi, hah?" Suara Adrasta rendah, nyaris seperti erangan marah yang ditahan di dada. "Berani-beraninya kau menemui Rey di belakangku."
Rania mendongak, menatap matanya dengan penuh perlawanan. "Aku hanya ingin tahu kebenaran."
Seketika, tawa dingin lolos dari bibir Adrasta. Sepahit itu. Setajam itu.
"Kebenaran?" Ia mendekat. "Kebenaran apa, Rania? Bahwa Rey bagian dari masa lalu mu? Bahwa dia satu-satunya alasan kau berani menantang ku sekarang?"
Jantung Rania berdegup keras. "Kau tidak berhak—"
Terlambat.
Adrasta menghantamkan kedua tangannya di dinding, mengurung tubuh Rania di dalam bayangannya. Wajah mereka hanya berjarak satu tarikan napas.
"Aku tidak berhak?" gumamnya rendah, tapi mematikan. "Kau lupa, sayang... kau milikku."
Dan tanpa memberi Rania kesempatan untuk mengucap apa pun, bibir Adrasta melumat bibirnya dengan paksa — keras, menuntut, penuh rasa frustasi yang membuncah jadi obsesi.
Ciuman itu bukan kelembutan. Tapi penguasaan.
Cara Adrasta menegaskan bahwa dirinya... tidak akan membiarkan siapa pun — bahkan Rey — merebut wanita ini darinya.
Saat akhirnya Adrasta melepaskan ciuman itu, napas mereka berdua tersengal. Mata Rania berkaca-kaca, campuran marah dan bingung. Tapi Adrasta?
Ia menatap dalam, nyaris gila karena takut kehilangan.
"Aku tidak peduli berapa lama Rey pernah ada di hidupmu..." bisiknya di telinga Rania, berat dan dingin, "Tapi sekarang — satu-satunya tempatmu adalah di sisiku. Suka atau tidak."
Dan saat itu juga—
Ting...
Suara notifikasi masuk dari ponsel Adrasta.
Mata Adrasta menajam.
Perlahan, ia mengambil ponselnya.
Satu pesan masuk tanpa nama pengirim.
"Jika kau berpikir Rania akan benar-benar jadi milikmu, Adrasta... maka bersiaplah. Karena aku akan mengambil semuanya darimu. Termasuk dia."
Adrasta mendongak.
Matanya gelap.
Rahangnya mengeras.
Dan tepat di belakang punggungnya — Rania berbisik nyaris tak terdengar, matanya mulai berkaca-kaca...
"Rey... tidak akan pernah menyerah."
Setelah insiden di gudang tua, Adrasta menjadi semakin gelisah. Ancaman dari Rey yang ingin merebut Rania darinya membuatnya merasa kehilangan kendali. la menyadari bahwa selama ini, meskipun Rania berada di sisinya, status hubungan mereka tidak memiliki ikatan yang sah di mata hukum dan agama. Hal ini memberikan celah bagi Rey untuk mencoba mendekati Rania kembali.
Suatu malam, setelah hari-hari yang penuh ketegangan, Adrasta memanggil Rania ke ruang kerjanya. Rania masuk dengan hati-hati, menyadari perubahan sikap Adrasta yang semakin posesif belakangan ini.
"Duduklah," perintah Adrasta dengan suara rendah namun tegas. Rania duduk di kursi di depan meja besar Adrasta, menatapnya dengan waspada.
"Aku telah memikirkan situasi kita, " Adrasta memulai, jemarinya saling bertaut di atas meja. "Untuk memastikan tidak ada lagi gangguan dari pihak manapun, terutama dari Rey, aku memutuskan bahwa kita harus menikah.
Mata Rania melebar, terkejut dengan pernyataan tiba-tiba itu. "Menikah?" ulangnya, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Ya, sesuai dengan kontrak perjanjian kita." Adrasta menegaskan. "Pernikahan ini akan mengikat kita secara hukum dan agama. Dengan begitu, Rey atau siapapun tidak akan memiliki alasan atau kesempatan untuk mendekatimu lagi. " Rania terdiam, pikirannya berputar mencari jawaban.