Hanya karena bentuk fisik yang tak seindah wanita lain. Alice harus menelan pil pahit sebuah pengkhianatan suami.
"Ckkk." Gavin berdecak seraya terkekeh mengejek. "Apa kamu tak berkaca, Alice? Lihat tubuhmu itu, sudah seperti babi putih. Bulat tak ada lekukan. Ukuranmu yang besar itu sudah membuatku jijik. Jangankan untuk menyentuhmu, senjataku saja tak mau berdiri saat melihatmu mengenakan pakaian minim di kamar. Apa pun yang kamu kenakan untuk merayuku, tak mampu membuatku berhasrat padamu. Apa kau mengerti!"
Penghinaan serta pengkhianatan yang Gavin lakukan pada Alice meninggalkan luka yang begitu dalam, hingga membuat hati Alice membiru.
Mahkota yang seharusnya ia hadiahkan pada suaminya, justru menjadi malam petaka dan cinta satu malam yang Alice lakukan pada Bara, kakak iparnya sendiri.
Bagaimana malam petaka itu terjadi? Bagaimana Bara bisa menyentuh Alice saat suaminya saja jijik menyentuhnya? Lalu apa yang akan Alice lakukan untuk melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunga Peony, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab8. Sidang perceraian
Setelah kabar kehamilan Gisella membuat seluruh isi penghuni rumah Gavin berubah terutama Jelita dan Imanuel yang telah lama menantikan kehadiran seorang cucu. Wanita itu pun mulai masuk ke dalam keluarga Apsara. Membuat posisinya perlahan tersingkir.
Sebagai istri yang sudah diceraikan dan tidak diinginkan lagi. Tentu Alice akan memilih untuk pergi. Ia pulang ke rumah kedua orang tuanya.
Hampir satu bulan waktu yang Alice butuhkan untuk menyendiri, meratap dan menangisi hidupnya serta rumah tangganya yang kandas. Untung saja kedua orang tuanya adalah orang tua yang baik. Mereka tidak menyalahkan ataupun mengucilkan wanita bertubuh tambun tersebut. Justru memberikan semangat untuk ia tetap bangkit kembali.
Setelah melalui masa tersulitnya menata hati yang hancur. Alice tidak lagi menunda-nunda perceraian di antara mereka. Ia tak ingin mengemis ataupun memohon cinta dari pria itu lagi.
Ditambah lagi selama sebulan ia di rumah orang tuanya, tak satu pun dari keluarga Apsara yang menghubunginya walau sekedar bertanya kabarnya saja. Mertua yang bisanya tampak menyayanginya pun kini telah melupakannya.
"Hati dan pikiran mereka terhadapku sudah tergantikan. Lalu untuk apalagi aku tetap di sini?" pikir Alice saat itu.
Kini Alice melangkahkan kakinya dengan mantap memasuki gedung pengadilan. Semangatnya kini telah kembali walau badannya masih terasa tak bertenaga. Tubuh Alice terasa lebih ringan dari sebelumnya, efek dari sulitnya ia menelan makanan akibat stres.
Satu sisi hatinya menolak untuk bercerai, namun di sisi lain rasa sakit yang telah mantan suaminya berikan membuatnya mantap untuk hadir di sidang perceraian ini.
Setelah sepuluh menit berada dalam ruang pengadilan. Akhirnya sidang perceraiannya pun digelar. Alice tidak melihat Gavin di ruangan ini. Hanya ada Bara yang melirik sekilas padanya. Apa yang ia harapkan, mana mungkin Gavin mau menyempatkan waktunya untuk datang.
Alice menghela napas. Angan-angannya ingin bertemu Gavin untuk terakhir kali pupus sudah. Ia sudah merencanakan untuk pergi jauh setelah ini.
Alice menutup matanya sejenak setelah mendengar palu hakim yang terketuk beberapa kali. Ketukan itu menandakan jika dirinya dan Gavin resmi berpisah.
Alice tertegun. Seluruh jiwanya seakan di cabut paksa sejenak membuat tubuhnya lemas. Alice sadar setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Namun bukan perpisahan seperti ini yang ia inginkan. Akan tetapi, siapa yang dapat mengubah takdir?
Butiran bening yang sedari tadi mendesak untuk keluar mengalir di pipinya. Semua sudah usai.
Cintanya yang tulus tak terbalaskan hanya karena fisik yang tak sempurna. Sebegitu pentingkah fisik di mata mereka? Bukankah cinta bisa membuat seseorang buta dan keindahan fisik tak lagi menjadi syarat utama? Namun nyatanya semua itu hanyalah omong kosong belaka. Tak ada yang bisa mencintai wanita gendut dan jelek seperti dirinya.
Alice mengusap pipinya dengan kasar. Ia keluar dari ruang persidangan dengan cepat. Ia menghindar dari tatapan mata lelaki yang kini menjadi mantan kakak iparnya itu. Ia tak ingin lagi bertemu siapa pun dari keluarga Apsara. Tidak Gavin, tidak pula Bara. Apalagi Jenita dan Imanuel.
Alice sadar kasih sayang dari keluarga itu palsu. Barang yang beharga adalah barang yang bisa membuat mereka tersenyum bangga karena puji-pujian manusia. Tidak seperti dirinya saat ini.
^ ^ ^
"Kamu yakin akan berangkat, Nak?" Maya menghampiri Alice yang sedang membereskan kopernya. Keberangkatan masih tiga hari lagi, Alice tak ingin terburu-buru. Itu sebabnya ia sudah membereskan barang-barang yang akan ia bawa dari sekarang. Ada sekitar dua koper yang ia bawa, karena ia tak hanya berpergian jauh. Tapi juga akan menetap lama di sana.
Maya duduk di sebelah Alice dengan raut wajah sedih. Baru saja ia senang melihat putrinya kembali dan berkumpul bersamanya. Tetapi kini wanita yang sudah berstatus janda ini justru berniat pergi lagi.
Hati Ibu Mana yang tak akan sedih dengan nasib rumah tangga anaknya yang hancur lebur. Rumah tangga yang selama ini Maya dan suaminya kira baik-baik saja ternyata justru membuat anaknya menderita. Maya sedikit menyesal, kenapa ia dulu menyetujui perjodohan itu. Jika pada akhirnya, putrinya justru disia-siakan seperti ini.
"Iya, Ma. Aku hanya ingin memulai hidupku yang baru dengan status baru ini di tempat yang baru juga." Alice sudah mantap pada keputusannya. Ia memerlukan tempat baru dan suasana baru untuk melupakan kesedihan hatinya.
"Kenapa tidak di sini saja Alice? Kenapa harus ke Jerman? Rasanya Mama sedikit sulit melepaskanmu ke sana." Maya menghela napas panjang. Raut wajah wanita tua itu tampak begitu sendu dengan binar mata yang meredup. Tangan Alice yang sedang menyusun pakaian dalam koper pun terhenti.
Ia menoleh pada Mamanya. Meraih tangan putih keriput namun masih tetap kokoh itu. Hati kecil Alice sedikit tersentil dengan kesedihan ibunya.
Ia merasa seakan dirinya anak yang tak berbakti. Bukannya menemani hari kedua orang tuanya yang mulai menua. Ia justru pergi ke suatu tempat untuk meninggalkan mereka. Sebenarnya apa yang ia cari sampai ke negeri seberang sana?
Alice mencoba menarik garis bibirnya ke atas untuk membuat sebuah lengkungan indah. Ia tak ingin menangis lagi hari ini. Ia tak ingin tampak seperti wanita lemah yang hanya mampu mengeluarkan air mata.
"Mama jangan khawatir, aku di sana pasti baik-baik saja. Karena ada Bianca yang akan menemaniku di sana. Lagi pula beberapa bulan sekali aku pasti akan pulang ke Indonesia untuk mengunjungi Mama dan Papa. Aku juga janji akan menelpon kalian berdua setiap hari," ujar Alice menyakinkan.
Ia menaikkan jari kelingkingnya untuk ditautkan pada jari Maya sebagai tanda jika ia sudah berjanji. Maya pun ikut tersenyum, ia terbayang gadis kecilnya yang dulu, gadis manis dengan pipi caby. Kulit putih, rambut panjang tergerai indah.
Banyak orang mengatakan putrinya gendut dan jelek. Namun bagi Maya, putrinya bagai permata yang berkilau. Hanya saja kilaunya yang indah dan bentuk permatanya yang beharga sedang tersembunyi oleh balutan lumpur. Hingga di mata orang lain, Alice hanya tampak seperti batu kerikil teronggok di pinggir jalan.
Saat lapisan lumpur itu pecah maka kilau batu tersebut akan memukau dunia. Maya yakin ada hari di mana putra dari keluarga Apsara akan menyesal dengan keputusannya. Menyia-nyiakan putri yang ia sayang dengan segenap jiwa.
"Ma!"
"Mama!"
Maya tersentak dari lamunannya. Ia menoleh pada Alice yang menatapnya dengan bingung.
"Mama memikirkan apa sampai melamun begitu? Aku kan sudah bilang, Mama nggak perlu khawatir."
"Tidak ada, Nak. Mama sedang membayangkan putri Mama hidup bahagia dengan keluarga kecilnya," ucapan Maya membuat senyum di wajah Alice redup.
Jika suaminya saja membuangnya bagai barang tak beharga. Siapa yang mau memungut barang tak beharga sepertinya?