Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.
Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.
Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.
Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.
Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.
Kunci aku dalam labirin.
Kurung aku di dalam sangkar.
Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!
Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.
Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.
- Damien Ace -
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Pria yang Malang
Salah satu petugas kepolisian duduk menatap wartawan yang tadi berurusan dengan Alex. Wajahnya terlihat jengah, seperti kehilangan kesabaran.
“Ayolah, kenapa harus membuat masalah jadi serumit ini?” ujarnya seraya mengetuk-ngetuk meja dengan jari. “Hei, aku sedang memberi penawaran yang akan menguntungkan kita berdua. Kau cabut tuntutanmu, dan kau tidak akan menghadapi kemarahan Direktur Ace. Dan aku, tentu saja, akan mempermudah masalahmu di masa depan.”
Nada suaranya menurun, tapi tajam. “Kau tahu, Direktur Ace sudah sangat baik tidak meratakan rumah dan tempat produksimu saat ini. Kalau itu orang lain, kau sudah tidak akan bisa bernapas sampai sekarang. Kau tahu, hah?!”
“Tapi dia sudah melakukan kekerasan pada saya, Pak! Saya tidak mau! Saya akan tetap menempuh jalur hukum!”
Wartawan itu bersikeras, suaranya gemetar tapi matanya keras kepala. Telapak tangannya menghantam meja, menimbulkan suara nyaring.
“Tentu saja Direktur Ace marah karena kau bicara omong kosong!” bentak si petugas. “Kalau kau tidak menyerah, maka Direktur Ace akan menuntut balik dengan tuduhan pencemaran nama baik. Bahkan dengan itu saja dia bisa membuatmu membusuk di penjara! Dan bukan cuma kau, keluargamu juga mungkin kena imbasnya.”
Ia mencondongkan tubuhnya, menatap dalam. “Aku hanya menjalankan tugasku. Dan aku tidak akan sebaik ini lagi padamu.”
Padahal kenyataannya … mereka semua tidak seberani itu.
Ketika Alex mempertanyakan keberanian mereka menangkapnya, tidak ada satu pun yang menjawab. Semua diam. Mereka tahu — jika Alex benar-benar murka, dia mungkin akan meledakkan kantor ini.
Namun, ucapan si petugas tadi tampaknya mulai mempengaruhi wartawan itu. Ia tampak gelisah. Polisi itu cepat-cepat mengambil identitas dari tangannya dan memeriksa dengan seksama.
“Miracle?” Alisnya terangkat. “Hei, aku baru ingat kalau perusahaan ini sudah bangkrut sejak lama. Ah, jadi kau mau menipu, ya? Wartawan palsu?” Suaranya meninggi, lalu ia mengangkat berkas tebal di sampingnya, mengarahkannya ke kepala pria itu.
“Baik, baik, saya mengaku! Saya … saya memang bukan wartawan sungguhan. Tapi tetap saja, Direktur Ace sudah melakukan kekerasan! Saya akan tetap menuntutnya!”
“Oh, sudah menipu dan masih berani melawan?” Petugas itu menyeringai kejam. “Kalau Direktur Ace bisa menuntutmu, maka aku akan menambahkannya lagi agar kau tidak bisa hidup nyaman di penjara. Kau pikir bisa melawan Direktur Ace? Aku akan melaporkan ini padanya.”
Wajah si pria langsung memucat. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Segala macam hal buruk melintas di benaknya — bayangan mengerikan tentang dirinya hilang tanpa jejak, diseret ke hutan, lalu tubuhnya dipotong-potong ….
Sebelum petugas itu sempat menghubungi Alex, wartawan itu panik dan menahan tangan si petugas. “Pak! Kenapa Anda serius sekali? Baiklah, saya … saya yang salah! Saya memang bodoh, saya tidak tahu diri. Saya akan mencabut tuntutan saya. Semua selesai, bagaimana?”
Petugas itu menatapnya datar. “Selesai? Kau sudah membuang-buang waktuku, mempermalukanku di depan Direktur Ace, dan hampir membuatku mati terbunuh olehnya. Kau pikir cuma mencabut tuntutan bisa memuaskanku?”
“Saya juga akan mengatakan pada semua orang kalau Direktur Ace sudah meminta maaf pada saya!” ujarnya cepat, hampir memohon.
Petugas itu menyipitkan mata. “Kau pikir siapa dirimu, membuat Direktur Ace minta maaf padamu? Kau gila?” Ia hampir menghantam kepala pria itu lagi.
“Lalu saya harus apa?! Saya sudah mencabut tuntutan, apalagi yang harus saya lakukan?”
Suaranya pecah.
Petugas itu hanya menatapnya, senyumnya licik.
Dia tahu — orang yang berani melangkah sejauh ini tentu juga ingin membersihkan namanya. Bahkan kalau perlu, mendapat pengakuan langsung dari Alex.
Dan benar saja.
Belum sampai sehari, sebuah saluran media menayangkan siaran langsung: wartawan yang menuntut Alex tadi meminta maaf di depan publik. Ia mengaku hanya wartawan gadungan yang membuat pernyataan palsu dan sengaja menggiring opini buruk terhadap anak laki-laki Alex.
Media sosial yang sejak pagi seperti medan perang mendadak sunyi.
Satu per satu akun yang sebelumnya menyerang Alex menghilang, menutup diri, menyembunyikan jejak.
Petugas tadi tersenyum puas. Ia bersandar di kursinya, menghela napas lega, lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi Rayyan — dengan nada bangga di suaranya.
“Pak, Anda tidak perlu khawatir mengenai kasus Direktur Ace,” ujar petugas itu dengan nada yakin. “Saya sudah menemukan bahwa pria itu hanya memancing keributan. Kalau saya tidak terus menekannya, dia tak akan mengaku tadi. Saya jamin, tidak akan ada lagi rumor yang menyebut nama Direktur Ace.”
“Kau melakukan tugasmu dengan baik.”
Suara Rayyan tenang, nyaris datar. Setelah itu, ia langsung memutus sambungan sebelum petugas itu sempat menambahkan apa pun.
Rayyan menurunkan ponselnya, mengembuskan napas singkat, lalu melangkah ke ruang kerja Alex.
Ruangan itu sunyi. Di sana, Alex hanya berdiri di sisi jendela besar — memandangi langit kelabu di luar tanpa ekspresi, seolah waktu berhenti di sekelilingnya.
Sudah dua jam berlalu sejak ia masuk ke ruangan itu, tapi tak ada yang berubah. Masih posisi yang sama. Masih diam seperti batu.
Rayyan mendekat pelan. “Tuan,” panggilnya hati-hati.
Tak ada respons. Namun ia tetap melanjutkan ucapannya.
“Masalah tadi pagi sudah teratasi. Wartawan itu palsu, dan dia sudah membuat pengakuan di depan publik. Tidak ada tuntutan lagi. Apa Anda ingin saya mencabut semua artikel di internet tentang kejadian itu?”
“Aku tidak peduli.”
Nada Alex datar, tanpa emosi. Ia bahkan tak menoleh. Begitu saja ia membalikkan tubuh, mengambil kunci mobil dan long coat-nya, lalu melangkah pergi.
Rayyan hanya bisa diam. Pintu tertutup lembut di belakang punggung Alex, meninggalkan kesunyian yang berat di ruangan itu.
Mobil Alex meluncur cepat keluar dari kompleks perusahaan, meninggalkan gedung kaca yang megah itu di kejauhan.
Ia tidak punya arah pasti, tapi entah kenapa, setirnya membawa ia ke tempat yang sudah lama sekali tak ia datangi.
Jalan itu … masih sama seperti dulu. Lampu-lampu kota, aroma sore — semuanya terasa akrab di matanya.
Sampai akhirnya ia berhenti di depan bangunan yang seharusnya adalah bar tempat Paula dulu bekerja.
Namun langkah Alex terhenti. Dahi pria itu berkerut pelan.
Bar itu … sudah tidak ada.
Yang berdiri di hadapannya sekarang hanyalah restoran berlampu hangat dengan papan nama baru. Ia terpaku beberapa saat, mencoba meyakinkan dirinya.
Apa dia salah ingat? Atau mungkin efek amnesia yang membuatnya ragu pada ingatan sendiri?
Tapi tidak. Ia yakin, ini jalan yang benar. Tempat yang benar.
Hanya saja, bar itu seolah menghilang dari dunia.
Alex tidak berusaha mencari tahu lebih jauh. Ia tidak ingin.
Entah bar itu lenyap karena waktu atau karena tujuh tahun yang hilang dari hidupnya, ia tidak peduli lagi.
Ia berbalik arah, melanjutkan ke bar milik Darren.
Begitu sampai, ia langsung memesan ruang VIP dan duduk sendirian.
“Alex ke bar?” Darren mengulang pertanyaan bartender lewat telepon, nada suaranya cepat.
“Ya. Dia sudah minum sangat banyak. Haruskah aku hentikan? Atau kau mau memanggil istrinya menjemput? Sepertinya dia mabuk berat.” Suara bartender terdengar khawatir di ujung sambungan.
“Jangan biarkan orang lain masuk. Aku akan datang menjemputnya.” Darren menutup telepon, melirik jam di pergelangan tangannya. Baru delapan malam — tapi bagaimana mungkin Alex sudah sampai seperti itu? Berapa lama dia minum?
“Kenapa, Pak?” tanya Leana, masih duduk di depannya. Mereka baru saja pulang dari makan malam dengan klien, belum juga beranjak.
“Alex mabuk di barku,” jawab Darren sambil menghela napas. “Pria itu … kurasa dia menyalahkan dirinya atas kematian Damien. Aku akan menjemputnya.” Ia menatap pintu, rautnya kusut.
Leana mendorong piring kecil ke arahnya. “Makanlah sebentar, Pak. Anda tadi tak berselera, kan? Setelah satu proyek selesai, bukankah layak kita merayakan sedikit?”
Darren tersenyum kaku. “Kau benar. Aku juga mulai lapar.” Ia mengangkat bahu, menerima tawaran Leana, berpikir mungkin Alex bisa menunggu sebentar lagi.
Tapi jam berlalu, dan Darren tak kunjung sampai di bar. Bartender menunggu lebih dari sejam; tidak ada tanda-tanda Darren akan muncul.
Di dalam ruang VIP, Alex sudah benar-benar mabuk. Ia tergeletak di sofa—long coat tersingkap di lantai, kemeja terbuka beberapa kancing, rambut acak-acakan.
Asbak penuh, puntung rokok berserakan. Napasnya berat, seperti orang yang mencoba menekan sesak di dada.
Pintu ruang VIP berderit pelan terbuka. Alex sama sekali tak menyadari seseorang masuk.
Langkah itu pelan, hampir tidak bersuara, lalu sosok itu mendekat dan mencondongkan badan, menatap pria yang tak sadarkan diri di sofa.
“Pria yang malang.” Suara itu berbisik, tawanya ringan tapi tajam, gema kecil memenuhi ruangan. Orang itu mencondongkan kepala, lalu mendekat ke telinga Alex, menggumamkan sesuatu dengan nada yang mengundang—“Bangunlah. Ini tidak akan menyenangkan kalau kau tidak sadar.”
***