Aini adalah seorang istri setia yang harus menerima kenyataan pahit: suaminya, Varo, berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri, Cilla. Puncaknya, Aini memergoki Varo dan Cilla sedang menjalin hubungan terlarang di dalam rumahnya.
Rasa sakit Aini semakin dalam ketika ia menyadari bahwa perselingkuhan ini ternyata diketahui dan direstui oleh ibunya, Ibu Dewi.
Dikhianati oleh tiga orang terdekatnya sekaligus, Aini menolak hancur. Ia bertekad bangkit dan menyusun rencana balas dendam untuk menghancurkan mereka yang telah menghancurkan hidupnya.
Saksikan bagaimana Aini membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bollyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Selalu Minta Uang
“Mas juga suka sekali menghabiskan waktu denganmu, Sayang. Sekarang kita cari tempat makan malam romantis yang paling mewah, ya? Mas nggak mau dinner di rumah hari ini, suasana di sana terlalu kaku,” kata Varo, lalu mengeluarkan ponselnya dan segera mengirim pesan singkat pada Aini.
Ia berbohong dengan sangat meyakinkan, menulis bahwa ia harus menghadiri makan malam penting dengan klien dari luar kota yang baru datang mendadak, dan ia memperkirakan akan pulang sangat larut malam, mungkin setelah tengah malam. Tentu saja, Varo tidak tahu bahwa Aini tidak sedikit pun curiga dengan kebohongannya, karena Aini sudah mengetahui semua rencana Varo dan Cilla, dan ia sengaja memberikan mereka waktu untuk bersenang-senang.
Varo menggandeng tangan Cilla, berjalan keluar bioskop dengan senyum bangga. Mereka menuju sebuah restoran Italia mewah di lantai teratas gedung pencakar langit, dengan pemandangan lampu-lampu kota yang sangat romantis. Varo tanpa ragu memesankan menu steak termahal dan minuman cocktail yang paling premium untuk Cilla. Sepanjang makan malam, Varo berusaha keras membuat Cilla senang, menghabiskan banyak waktu untuk memuji dan merayu, sekaligus meredakan kecurigaan Cilla yang sempat kesal karena ia hanya dianggap adik ipar.
“Mas Varo, nggak perlu lho kamu boros-boros kayak gini, ini terlalu mahal,” ujar Cilla, meskipun matanya berbinar dan ia terlihat sangat menikmati setiap hidangan mewah yang disajikan, bahkan sesekali mengambil foto makanan itu untuk diunggah nanti.
“Apapun untuk baby kesayangan Mas. Kamu pantas mendapatkan yang terbaik, Sayang. Jangan khawatir soal harga, uang bisa dicari. Lagipula, Mas kan habis dapat promosi besar, ini kan juga berkat support dan semangat dari kamu, Cilla,” Varo tersenyum licik, mengabaikan fakta bahwa promosi itu didapat berkat koneksi dan nama baik Aini di mata para pemegang saham kantor.
Cilla tertawa manja, menyuapkan sepotong makanan ke mulut Varo.
“Tuh kan, Mas. Kalau kamu begini terus, aku jadi makin yakin kalau kamu nggak akan pernah balikan sama Mbak Aini. Kamu nggak akan tahan sama yang kaku, nggak menarik, dan membosankan di ranjang, Mas,” ucap Cilla dengan nada mengejek.
Varo hanya tersenyum samar, menghindari tatapan mata Cilla yang menantang.
“Ya, pastinya, Sayang. Kamu nggak ada duanya, kamu yang paling mengerti Mas,” jawab Varo, dengan sedikit rasa bersalah yang langsung ia hilangkan.
Tepat pukul sembilan malam lebih tiga puluh menit, Varo mengantar Cilla pulang ke rumah. Ia sengaja mengantar Cilla sedikit lebih awal, beralasan harus menyelesaikan beberapa pekerjaan kantor yang sangat penting dan tertunda di rumah, padahal ia hanya ingin memastikan Aini tidak curiga dan tertidur pulas.
“Aku duluan ya, Mas. Sampai ketemu di kamar, ya. Jangan lama-lama di sana, aku kangen,” bisik Cilla, memberikan ciuman kilat yang panjang di pipi Varo sebelum ia turun dari mobil.
Varo hanya mengangguk, matanya sudah dipenuhi kerinduan palsu. Setelah Cilla masuk, Varo melajukan mobilnya menuju garasi. Ia melirik ke arah kamar utama dan memastikan lampu kamar Aini sudah padam.
Namun tiba-tiba ia teringat sesuatu.
“Bagaimana reaksi Aini kalau sampai tahu tentang hubungan gelap ini. Pasti semuanya akan hancur,” gumam Varo dalam hati.
"Aini pasti tidak akan tahu juga, dia kan bodoh".
Ia pun langsung membersihkan tubuhnya, sebelum ia menjalankan sandiwaranya untuk menyelinap ke kamar Cilla, tidak menyadari bahwa Aini, istrinya, kini sedang menanti di dalam rumah.
Sementara Varo sedang menikmati momen terlarang bersama Cilla di kamar sebelah, di ruangan lain, Aini duduk sendiri di sofa ruang tengah. Ia baru saja selesai dari dapur.
“Alhamdulillah, akhirnya semua pekerjaan rumahku selesai juga. Semuanya sudah bersih dan rapi. Rumah ini adalah tempatku, dan aku harus memastikannya tetap utuh, setidaknya sampai aku pergi,” ucap Aini dalam hati, ia baru saja selesai membersihkan dan membereskan seluruh sudut rumah, sebuah pelarian kecil dari kepedihan yang ia rasakan.
Kemudian, Aini menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Setelah itu, dia duduk di sofa empuk sambil menyalakan televisi. Walaupun jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ia pun tahu kalau Varo dan Cilla sudah pulang. Tapi Aini tak perduli dengan mereka berdua.
Namun, bukannya fokus menonton siaran berita atau drama, pikiran Aini justru melayang jauh. Ia malah melamun, kembali mengenang kisah cinta diawal pertemuannya yang dulu terasa sangat manis bersama Varo. Kontras dengan apa yang ia rasakan sekarang, hatinya terasa hancur.
Varo Kesuma adalah suaminya. Kami sudah menikah hampir lima tahun lamanya, namun kami belum dikaruniai seorang anak. Aku mengenal Mas Varo ketika kami masih sama-sama bekerja di perusahaan Artha Kencana Group , salah satu perusahaan holding terbesar di kota ini.
Ya, dulu aku adalah seorang karyawan tetap dengan posisi lumayan di sana. Meskipun aku hanya lulusan SMK, tapi aku mampu membuktikan diri dan bisa bekerja di perusahaan besar dengan gaji yang cukup memuaskan itu. Sebenarnya aku sering bertemu dengan Mas Varo di kantor, setiap hari. Aku tahu dia, dia tahu aku, tapi memang kami belum pernah bertegur sapa secara langsung. Dulunya Mas Varo bekerja sebagai cleaning service di kantor itu.
Suatu pagi yang terburu-buru, aku panik sekali. Pada saat ingin berangkat kerja, ternyata ban mobilku bocor tepat di pertengahan jalan raya yang sangat sepi. Aku sangat bingung dan panik luar biasa, karena sebentar lagi aku akan ada rapat penting dan harus presentasi di kantor. Aku sudah hampir putus asa saat itu.
Namun, tiba-tiba Mas Varo datang mengendarai motor bututnya dan menghampiriku.
“Mbak Aini, ya?” tanya Mas Varo, saat itu dia sudah tahu namaku, karena kami sering bertemu dan dia sering mengamatiku.
“Iya, Mas. Saya Aini,” jawabku, menatap ke arahnya dengan wajah yang sudah panik dan sedikit berantakan.
“Mobilnya kenapa, Mbak? Ada masalah di mesinnya?”
“Ini, Mas. Sepertinya ban mobilku bocor. Aku nggak tahu harus bagaimana, padahal aku sudah telat untuk rapat.”
Varo pun langsung memeriksa ban belakang mobilku. Dia terlihat sangat sigap.
“Mbak punya ban serepnya? Kalau punya, biar saya ganti ban bocor ini. Saya bisa bantu Mbak Aini supaya nggak telat,” tanyanya, sambil melihat ban mobilku yang sudah kempes parah.
“Emmm, sepertinya ada, Mas. Di dalam bagasi,” kataku.
Varo pun langsung mengambil ban serep itu, dan dengan cekatan serta cepat, dia menggantikan ban bocor itu dengan yang baru. Aku sangat kagum dengan kesigapannya, meskipun ia hanya seorang cleaning service.
Oh iya, pada saat itu aku memang sudah punya mobil sendiri dari hasil kerja kerasku selama bertahun-tahun. Walaupun mobil itu bekas dan aku harus mencicilnya dengan sistem kredit, tapi bagiku itu tidak masalah, selagi aku mampu membayar cicilannya setiap bulan.
Tak lama menunggu, Mas Varo akhirnya selesai memperbaiki mobilku. Aku sangat berterima kasih kepadanya, karena sudah mau membantu dan menyelamatkanku dari keterlambatan.
“Terima kasih banyak ya, Mas, atas bantuan dan kebaikan hatinya. Aku nggak tahu harus gimana kalau nggak ada Mas,” ucapku berterima kasih dengan tulus.
“Iya, sama-sama, Mbak. Sudah jadi tugas kita untuk saling membantu,” jawab Mas Varo, senyumnya sangat ramah dan meneduhkan.
“Oh iya, Mas. Ini kerja di kantor Wijaya Grup juga kan?” tanyaku untuk basa-basi.
“Iya, Mbak. Saya kerja sebagai cleaning service di sana,” jawabnya jujur tanpa ada rasa malu sedikit pun.
“Gimana kalau Mas ikut saya saja ke kantor? Barengan di mobilku,” tawarku.
“Nggak usah, Mbak. Terima kasih tawarannya. Saya jalan pakai motor ini saja,” ucap Varo sambil menunjuk motor tuanya.
Aku pun melihat motor Varo. Aku kira tadi Varo tidak bawa motor, makanya aku tadi menawarkan untuk berangkat bareng sebagai tanda terima kasihku.
“Oh, saya kira tadi Masnya nggak bawa motor. Ya sudah kalau begitu saya duluan ya, Mas. Sekali lagi, makasih banyak sudah bantu saya,” kataku.
Aku pun mengambil beberapa lembar uang untuk diberikan kepada Varo sebagai ucapan terima kasih, namun Varo menolak dengan halus karena dia bilang dia ikhlas membantuku.
Karena Varo menolak, aku pun tidak mau memaksa. Kemudian aku melanjutkan perjalanan ke kantor.
Sejak pertemuan yang tidak terduga itu, aku dan Varo sering berbincang-bincang santai ketika jam istirahat di kantor. Semakin hari, hubungan kami pun semakin dekat dan intens. Lama-kelamaan, aku pun mulai menyukainya. Aku jatuh cinta pada sifatnya yang penyayang dan perhatian yang begitu tulus ia berikan kepadaku.
Kurang lebih selama tiga bulan kami dekat, dan kemudian Mas Varo pun menyatakan perasaannya. Aku pun tanpa ragu lagi langsung menerima perasaan Mas Varo. Meskipun dia hanya bekerja sebagai cleaning service dan gajinya jauh di bawah gajiku, tapi bagiku itu sama sekali tidak masalah.
Selagi dia mau bekerja keras dan berusaha, pasti aku menerima itu semua. Aku pun bukan berasal dari keluarga yang kaya raya, jadi bagiku tampan, status sosial, atau kaya itu tidak penting. Yang penting adalah tanggung jawab dan ketulusan.
Pada saat kami berpacaran, Mas Varo memperlakukan aku sangat istimewa. Perhatiannya padaku benar-benar membuat aku semakin hari semakin cinta padanya. Hingga akhirnya, ia pun berani melamarku dan meminta izin langsung ke orang tuaku.
Sebenarnya, pada saat itu ketika Ayahku masih ada, beliau tidak merestui hubungan kami Namun, karena aku begitu sayang dan sangat cinta pada Mas Varo, aku meyakinkan Ayah. Akhirnya Ayah pun setuju dan menerima Mas Varo sebagai suamiku dan menantunya.
Sedangkan Ibu Karina, ibuku, tidak terlalu memperdulikan siapa jodohku. Tapi Ibu selalu bilang kepadaku, kalau tanggung jawabku untuk membiayai kebutuhan mereka tidak akan berhenti sampai aku menikah. Itu adalah sebagai bakti dan balas budi seorang anak kepada orang tua. Aku pun tidak bisa berbuat apa-apa, hanya menuruti permintaan beliau saja, demi membuat hidup Ibu dan Cilla, adikku, lebih nyaman.
Bayangan masa lalu yang indah itu pun sirna ketika aku mengingat kejadian memuakkan pagi tadi, di mana suamiku yang aku sayangi dan cintai sudah menduakan aku.
“Mengapa kamu tega menyakitiku, Mas? Apa salahku yang begitu besar ini? Bukankah dulu kamu berjanji akan selalu setia denganku? Kenapa kamu berselingkuh di belakangku dengan cara yang sangat keji? Apalagi wanita selingkuhanmu itu adalah adik kandungku sendiri, Cilla. Kenapa nggak perempuan lain saja? Dia adik kandungku, Mas! Aku sangat menyayanginya, meskipun perlakuan Ibu terhadap aku dan dia selalu berbeda, aku tetap menyayanginya,” ucap Aini dalam hatinya, dia begitu sangat kecewa dengan penghianatan yang dilakukan oleh suamininya, dan lebih hancur lagi dengan penghianatan dari Cilla.
“Ternyata kasih sayang Mbak dan semua pengorbanan finansial Mbak kepadamu, Cilla, tak membuatmu berterima kasih sedikit pun. Selama ini Mbak selalu membantu dan menolongmu, apalagi membiayai sekolahmu, kuliahmu, bahkan uang jajanmu saja Mbak yang selalu memberikannya secara rutin, tapi kenapa kamu menusuk Mbak dari belakang? Kamu benar-benar sudah melampaui batas!”
“Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Apakah aku harus menangkap basah mereka, menghampiri kamar Cilla, dan mempermalukan mereka saat ini juga?”
“Atau aku langsung saja memukul, menjambak rambutnya, dan mengusir Cilla dari rumahku? Sebenarnya sangat mudah untuk aku lakukan, karena aku sudah mempunyai bukti video dan foto-foto mesra mereka.”
“Tapi sebaiknya aku harus membalas penghianatan ini dulu, bukan dengan amarah sesaat. Ya, aku harus bermain cantik dan menyusun rencana yang jauh lebih menyakitkan dari yang aku rasakan. Aku akan membalaskan semua penghianatan ini, Varo dan Cilla, dan kalian akan merasakan yang lebih menyakitkan dari apa yang aku rasakan ini. Kalian akan kehilangan segalanya, termasuk harga diri,” gumam Aini dengan wajah datar dan tatapan mata penuh kebencian yang menusuk.
"Sudahlah lebih baik aku istirahat ini sudah larut." ucap Aini yang kemudian beranjak dari duduknya menuju kamarnya namun ia Berhenti sejenak memandang kamar Cilla.
"Silakan kalian ingin berbuat hal yang menjijikan. Untuk saat ini kalian bebas melakukan hal apa saja dikamar itu. Tapi tunggu saja saatnya pastikan kalian akan menyesal". setelah mengatakan hal itu Aini pun langsung masuk dalam kamarnya dan memilih untuk tidur saja.
*Pagi hari*
Drrrtttt
Drrrtttt
Terdengar suara ponsel Aini bergetar dan berdering nyaring. Ia melirik layar ponselnya dengan setengah sadar dikarenakan ia masih tertidur. Ternyata yang menelepon adalah Ibu Karina, ibunya.
“Halo, ada apa lagi Ibu menelepon sepagi ini?” Ucap Aini dengan nada malas yang tidak bisa ia sembunyikan.
“Halo, Aini, anakku. Ibu mau minta tolong, ini mendesak sekali,” seru Ibu Karina, suaranya terdengar tergesa-gesa dan dibuat-buat cemas.
“Apa lagi, Bu?” Jawab Aini singkat, ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.
“Tolong transferkan Ibu uang ya, Aini. Nggak banyak kok, Sayang. Cukup satu juta rupiah saja untuk kebutuhan mendadak,” ucap Ibu dengan entengnya, seolah meminta uang seribu rupiah.
Sudah kuduga. Kenapa Ibu tidak pernah meneleponku jika tidak ada maunya? Gumam batin Aini.
“Uang itu untuk apa, Bu? Bukankah dua minggu lalu aku sudah transfer ke Ibu dua juta rupiah untuk biaya bulanan dan kebutuhan lain?” tanya Aini, berusaha sabar.
“Eh, i-itu, Ibu mau memperbaiki genteng rumah yang bocor, Nak. Bocornya lumayan besar, jadi butuh biaya banyak,” jawab Ibu Karina berbohong, nadanya sedikit gugup.
“Bukannya bulan lalu sudah diperbaiki, Bu? Dan uangnya sudah aku transfer dua kali lipat dari biasanya, kan?”
“Yaaa, itu kan bulan lalu, Nak. Ternyata masih ada yang bocor besar, Aini. Aduh, kamu cepat, ya, kirim ke Ibu uangnya. Ibu nggak bisa tidur tenang kalau rumah bocor,” desak Ibu Kariba.
“Nggak bisa, Bu. Maaf sekali, untuk kali ini aku nggak bisa menuruti permintaan Ibu,” Aini akhirnya memberanikan diri menolak permintaan ibunya.
“Ibu pakai saja uang yang aku kirim dua minggu lalu. Pasti masih ada, kan? Nggak mungkin sudah habis secepat itu, Bu. Lagian, memperbaiki genteng nggak mahal-mahal amat sampai satu juta rupiah.”
“Loh, kok kamu ngomong gitu sih, Ai? Kamu mau lihat rumah Ibu kebanjiran kalau malam, hah? Di sini tuh sering hujan lebat kalau malam hari!” Ibu Karina pun langsung marah-marah dan meninggikan suaranya, memprotes penolakan Aini.
“Uangku juga sudah menipis, Bu. Aku juga butuh uang di sini untuk keperluan pribadiku. Aku ini tinggal di kota besar yang serba mahal, Bu. Lagian, aku juga setiap bulan kirimkan uang ke Ibu dengan jumlah yang sama, masa baru dua minggu sudah habis total?” balas Aini, nadanya lelah namun tegas.
“Halah, itu cuma alasan kamu saja kan, Aini! Kamu sekarang sudah nggak mau bantu dan nurut omongan Ibu lagi! Kamu juga kan pasti dapat uang bulanan dari suami kamu yang jadi Manajer itu, dan kamu juga punya usaha rumah makan di sana!” tuduh Ibu Karina, merasa dirinya lebih berhak atas uang Aini.
“Asal Ibu tahu ya, selama ini aku nggak pernah dikasih uang lebih dari Mas Varo! Hanya satu juta rupiah Mas Varo kasih aku uang nafkah tiap bulan, Bu! Ibu bayangin aja, uang satu juta selama sebulan, dan tinggal di kota yang serba mahal ini, pastinya nggak akan cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari!”
jelas Aini kepada ibunya, selama ini Aini memang tidak pernah bilang ke siapa pun tentang uang nafkah yang diberikan Varo, karena ia malu. Sebenarnya uang nafkah itu tidak pernah cukup, namun dia tidak bisa berbuat apa-apa karena gaji Varo yang sebenarnya memang tidak lah sebesar yang dikira orang-orang.
“Ya sudah, Bu. Aku tutup dulu teleponnya. Maaf, untuk kali ini aku nggak bisa bantu. Ibu pakai saja uang yang sudah aku kirim. Ibu harus belajar mengelola keuangan,” Aini pun langsung menutup telepon mereka tanpa menunggu jawaban ibunya.
Selama ini, dia selalu menutupi kekurangan uang bulanan dari Varo dengan uangnya sendiri, dari hasil usaha rumah makannya yang tidak terlalu besar itu. Begitu pula dengan uang bulanan ibunya, dia juga sering mengambil dari hasil usahanya sendiri.
Aini meletakkan ponselnya, menghela napas panjang. Beban keluarga dan pengkhianatan Varo dan Cilla kini terasa menyatu.
“Kalian berdua telah membuat aku lelah secara fisik dan emosional. Sekarang, saatnya aku berhenti menjadi korban. Aku akan memastikan Varo tidak hanya kehilangan karier, tapi juga kehilangan rasa hormat dari semua orang yang ia kenal. Dan kamu, Cilla, akan membayar mahal atas setiap kebahagiaan yang kamu curi dari rumah tangga ini.”
Berasambung