NovelToon NovelToon
Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Fantasi Timur / Balas Dendam
Popularitas:11k
Nilai: 5
Nama Author: Kokop Gann

Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.

Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.

Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.

Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.

"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Surat Tanpa Kata

Waktu di dalam Gua Pertobatan tidak berjalan lurus; ia menetes, lambat dan dingin, seperti air yang merembes dari stalaktit di langit-langit gua.

Sudah satu bulan Liang Wu terkurung.

Dinding batu itu lembap dan berlumut, menyerap setiap sedikit panas tubuh yang ia miliki. Tidak ada cahaya matahari di sini, hanya seberkas sinar kelabu yang masuk dari celah ventilasi alami di ketinggian tebing, terlalu tinggi untuk dipanjat, terlalu sempit untuk dilewati. Pintu utama gua telah disegel oleh Guru Besar Xuan dengan Mantra Dinding Emas—sebuah tirai energi transparan yang kerasnya melebihi baja.

Di hari-hari awal, Liang Wu menghabiskan waktunya memukul dinding mantra itu. Ia berteriak, memohon, bahkan mengutuk. Tapi Guru Xuan tidak pernah datang. Suaranya hanya memantul kembali, mengejek ketidakberdayaannya sendiri.

Kini, di bulan kedua, Liang Wu berhenti berteriak.

Ia duduk bersila di tengah gua, membiarkan kegelapan memeluknya. Namun, ia tidak sedang bermeditasi mencari kedamaian. Di dalam benaknya, ia sedang berlatih membunuh.

Ia membayangkan leher Duan. Ia membayangkan struktur tulang pria itu, aliran meridiannya, dan di titik mana tekanan jari akan mematahkan napasnya paling cepat. Setiap kali bayangan Duan yang tersenyum muncul, Liang Wu memutar satu butir tasbihnya.

Klik. Klik. Klik.

Suara itu menjadi satu-satunya ritme di kegelapan.

Suatu malam, ketika badai sedang berkecamuk di luar, ritme itu terganggu.

Ada suara langkah kaki kecil di luar gua. Langkah yang ragu-ragu, terseret, dan berat. Seseorang sedang memanjat jalan setapak tebing yang licin dan berbahaya menuju penjara ini.

Liang Wu membuka matanya. Ia merangkak mendekati dinding mantra transparan itu.

"Siapa?"

Sebuah tangan kurus dan pucat menempel di permukaan luar mantra. Tangan itu gemetar kedinginan.

"Mei?" bisik Liang Wu, jantungnya mencelos.

Wajah Mei muncul dari kegelapan malam, diterangi kilatan petir sekilas. Dia basah kuyup, bibirnya membiru, dan pakaiannya kotor oleh lumpur. Dia pasti terpeleset berkali-kali untuk sampai ke sini. Di tangannya, dia mendekap bungkusan kain berminyak—makanan.

Liang Wu menempelkan telapak tangannya di sisi dalam mantra, sejajar dengan tangan Mei. Mantra itu mendesis pelan, menolak sentuhan mereka untuk bertemu, tetapi mereka tetap bertahan.

"Bodoh..." suara Liang Wu tercekat. "Jalan tebing ini curam. Kau bisa mati jatuh ke jurang. Kenapa kau ke sini?"

Mei tidak menjawab. Dia hanya tersenyum lemah, lalu meletakkan bungkusan itu di celah kecil di bawah batu dasar gua—satu-satunya lubang tikus yang tidak tertutup mantra sepenuhnya. Aroma bakpao hangat menguar, melawan bau apek gua.

Makan, isyarat tangannya lemah di balik tirai energi.

"Aku tidak lapar," bohong Liang Wu. Perutnya perih, tapi melihat kondisi Mei membuatnya lupa pada rasa lapar. "Katakan padaku, Mei. Bagaimana keadaan di kuil? Apa Duan... apa dia mengganggumu?"

Mei menggeleng cepat. Terlalu cepat.

Dia mengangkat tangannya untuk membuat isyarat 'Semua baik-baik saja', tetapi saat lengan bajunya tersingkap, Liang Wu melihatnya.

Di pergelangan tangan Mei yang putih, terdapat memar-memar ungu berbentuk jari tangan. Cengkeraman kasar.

Mata Liang Wu melebar. "Tanganmu... Siapa yang melakukan itu? Duan?!"

Mei segera menarik tangannya, menyembunyikannya di balik lengan baju. Dia menggeleng lagi, kali ini dengan air mata yang mulai menggenang. Dia membuat gerakan tangan patah-patah: Aku jatuh saat mengambil kayu bakar.

"Jangan bohong padaku!" Liang Wu memukul dinding mantra. Bumm! Energi emas itu bergetar, melemparkan Liang Wu mundur, tapi dia segera merangkak kembali. "Itu bekas cengkeraman tangan pria! Dia menyentuhmu?! Apa Guru tahu?!"

Mei menunduk. Bahunya berguncang. Dia tidak menjawab pertanyaan tentang Guru. Itu jawaban yang cukup bagi Liang Wu. Guru Xuan pasti tidak tahu, atau lebih buruk... Guru Xuan memilih untuk percaya pada "pertobatan" Duan daripada pelayannya.

"Dengarkan aku, Mei," desak Liang Wu, menempelkan wajahnya ke energi dingin itu. "Pergilah. Tinggalkan kuil ini. Turunlah ke desa di kaki gunung. Bawa uang tabunganku di bawah bantal. Lari sejauh mungkin dari sini."

Mei mendongak, menatap Liang Wu dengan mata basah. Dia membuat satu gerakan tegas.

Tidak.

Dia menunjuk Liang Wu, lalu menunjuk dirinya sendiri, lalu menautkan kedua jarinya. Aku tidak akan pergi tanpamu.

"Mei, tolong! Firasatku buruk. Orang itu... dia bukan manusia. Dia akan memakanmu!"

Mei tersenyum sedih. Dia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sesuatu. Sebuah simpul tali merah yang dianyam rumit, dengan lonceng kecil di tengahnya. Itu adalah jimat pelindung yang biasa dibuat gadis-gadis desa untuk kekasih atau saudara mereka yang pergi merantau.

Dia menyelipkan jimat itu melalui celah lubang tikus bersama makanan tadi.

Simpan ini, isyaratnya. Agar kau tidak kesepian di dalam.

Petir menyambar lagi, lebih dekat kali ini. Hujan semakin deras. Mei tahu dia tidak bisa berlama-lama. Dia membungkuk dalam pada Liang Wu, menyentuh dinding mantra itu sekali lagi seolah menyentuh pipi Liang Wu, lalu berbalik.

"Mei! Kembali! Jangan kembali ke kuil!" teriak Liang Wu.

Gadis itu tidak menoleh. Sosoknya yang kecil ditelan kegelapan dan hujan, menuruni jalan setapak menuju mulut serigala.

Liang Wu memungut simpul tali merah itu. Masih hangat dari genggaman Mei. Dia menggenggamnya erat, lalu berteriak. Teriakan frustrasi yang panjang dan menyakitkan, kalah oleh suara guruh yang menggelegar.

Malam itu, Liang Wu tidak tidur.

Dia duduk menghadap pintu gua, membiarkan energi Mantra Dinding Emas itu membakar kulitnya setiap kali dia mencoba menerobosnya. Dia memukul, menendang, mencakar.

Darah segar dari tangannya mulai menetes, bercampur dengan lumpur gua.

"Aku bersumpah..." racau Liang Wu, matanya merah menatap kegelapan. "Jika satu helai rambutnya jatuh... aku akan membakar sutra-sutra itu. Aku akan membakar semuanya."

Di lehernya, tasbih kayu cendana itu mulai terasa berat, seolah-olah butiran kayunya perlahan berubah menjadi timah. Di dalam dantian-nya, Qi emas yang biasanya tenang mulai bergolak, berputar lebih cepat, lebih tajam, merespons amarah tuannya yang murni.

Tanpa dia sadari, di bawah tekanan keputusasaan itu, kemacetan pada tingkat kultivasinya mulai retak.

Dia naik ke Pengumpulan Qi Tingkat 5.

Bukan karena pencerahan.

Tapi karena kebencian.

1
azizan zizan
jadi kuat kalau boleh kekuatan yang ia perolehi biar sampai tahap yang melampaui batas dunia yang ia berada baru keluar untuk balas semuanya ..
azizan zizan
murid yang naif apa gurunya yang naif Nih... kok kayak tolol gitu si gurunya... harap2 si murid bakal keluar dari tempat bodoh itu,, baik yaa itu bagus tapi jika tolol apa gunanya... keluar dari tempat itu...
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Misi dimulai 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Cerita bagus...
Alurnya stabil...
Variatif
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sukses 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sapu bersih 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Hancurken 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yup yup yup 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Jlebz 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Rencana brilian 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Dicor langsung 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Bertambah kuat🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Semangat 🦀🍄
Wiji Lestari
busyet🤭
pembaca budiman
saking welas asihnya ampe bodoh wkwkwm ciri kas aliran putih di novel yuik liang ambil alih kuil jadiin aliran abu² di dunia🤭
syarif ibrahim
sudah mengenal jam kah, kenapa nggak pake... 🤔😁
Wiji Lestari
mhantap
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Keadilan yg tidak adil🦀🍄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!