“Mama, dadan Luci atit, nda bita tatan ladi. Luci nda tuat..."
"Luci alus tatan, nda ucah bitala dulu. Abang Lui nda tuat liat Luci nanis,” mohon Rhui berusaha menenangkan adik kembarnya yang tengah melawan penyakit mematikan.
_____
Terasingkan dari keluarganya, Azayrea Jane terpaksa menghadapi takdir yang pahit. Ia harus menikah dengan Azelio Sayersz, pimpinan Liu Tech, untuk menggantikan posisi sepupunya, Emira, yang sedang koma. Meski telah mencintai Azelio selama 15 tahun, Rea sadar bahwa hati pria itu sepenuhnya milik Emira.
Setelah menanggung penderitaan batin selama bertahun-tahun, Rea memutuskan untuk pergi. Ia menata kembali hidupnya dan menemukan kebahagiaan dalam kehadiran dua anaknya, Ruchia dan Rhui. Sayangnya, kebahagiaan itu runtuh saat Ruchia didiagnosis leukemia akut. Keterbatasan fisik Rhui membuatnya tidak bisa menjadi pendonor bagi adiknya. Dalam upaya terakhirnya, Rea kembali menemui pria yang pernah mencampakkannya lima tahun lalu, Azelio Sayersz. Namun, Azelio kini lebih dingin dari sebelumnya.
"Aku akan melakukan apa pun agar putriku selamat," pinta Rea, dengan hati yang hancur.
"Berikan jantungmu, dan aku akan menyelamatkannya.”
Dalam dilema yang mengiris jiwa, Azayrea harus membuat pilihan terberat: mengorbankan hidupnya untuk putrinya, atau kehilangan satu-satunya alasan untuknya hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18. TAK KUNJUNG TURUN
Sejak kepergian Rea lima tahun silam, rumor mengenai keluarga Sayersz tak pernah padam, khususnya terkait hubungan yang menggantung antara Emira dan Azelio. Desas-desus yang tersebar di ranah maya sangat beragam; mulai dari Rea melarikan diri akibat perlakuan buruk mertuanya, Azelio dicap impoten, hingga Rexan dianggap pewaris gagal lantaran tidak mewarisi kecerdasan sang ayah. Demi menghentikan segala spekulasi miring yang merusak reputasi keluarga, Papa Joeson akhirnya mengambil keputusan untuk segera menikahkan Azelio dan Emira.
“Papa, serius?”
“Ini satu-satunya jalan agar desas-desus itu lenyap, Mah. Dengan pernikahan mereka, kita akan menutupinya. Kita berdua tahu Emira dan Azelio saling mencintai, bukan?” ucap Papa Joeson, nada bicaranya tegas.
“Tapi, Mama tidak setuju,” Mama Azura menolak dengan raut keberatan.
“Mengapa kau tidak setuju, Sayang?” tanya Papa Joeson dengan kesabaran yang menipis.
“Sebab Rea masih hidup. Menantu kita masih hidup. Jika mereka ingin menikah, mereka harus minta restu terlebih dahulu kepada Rea,” jelas Mama Azura.
“Mama, Rea sudah tiada. Sudah lima tahun dia tidak kembali ke rumah ini. Sudah lima tahun Jeremy mencari di luar sana, namun Rea tidak dapat ditemukan. Maka jelas, Rea telah meninggal dunia.” Perkataan Papa Joeson ini bagai sambaran petir bagi istri tercintanya.
“Pokoknya Mama tidak setuju!” Mama Azura membuang muka, kekecewaan tergambar jelas. Ia melenggang pergi, meninggalkan Papa Joeson yang menghela napas berat, seolah memikul beban dunia.
.
.
Rea?
Detak jantung Rea kini berdegup lebih cepat, berdentum keras di dadanya tatkala melihat Emira, wanita yang telah lima tahun tak ia tatap. Rasa bergemuruh membanjiri hati Rea. Ia mencoba memalingkan wajah, tetapi sudah terlambat untuk melarikan diri dari wanita itu, yang kini melangkah perlahan mendekatinya.
“Rea, itu benar dirimu, bukan?” Emira bertanya, berdiri tepat di hadapannya, matanya memancarkan kerinduan yang membakar.
“Bukan. Orang yang Tuan Putri sebutkan sudah tiada,” jawab Rea. Nada suaranya dingin, datar, dan tanpa ekspresi, seolah ia sedang berbicara dengan orang asing.
Raut wajah Rea yang jauh berbeda menggores luka yang nyata pada hati Emira. Genangan air mata mulai terbentuk di pelupuk matanya. Rea perlahan mundur selangkah, tetapi dengan gerakan cepat, Emira memeluk erat tubuhnya.
“Syukurlah… kau masih hidup, Rea.” Isak tangis Emira memecah keheningan dapur, suaranya sarat akan kelegaan dan penderitaan terpendam. Raut muka Rea yang semula membeku, perlahan melunak. Ia mencoba mempertahankan sikap acuhnya, tetapi tangisan wanita yang pernah menyelamatkan nyawanya ini membuatnya luluh. Sambil memalingkan wajah, tanpa sadar setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya.
“Dari mana saja kau selama ini, Rea?” Setelah kerinduan yang terpendam tertuntaskan melalui pelukan, Emira melontarkan pertanyaan seraya menatap Rea lekat-lekat. Namun, Rea hanya diam membisu.
“Maafkan aku, aku sudah membuatmu menderita, Rea,” bisik Emira dengan suara bergetar, pandangannya merunduk penuh penyesalan. Ia mengusap sudut matanya, lalu meremas jari-jemarinya, menahan isak yang hampir lolos dari tenggorokan. Hatinya seperti dicabik-cabik. Rea, yang dulu ia sayangi seperti adik kandung dan selalu menyambutnya dengan tawa riang, kini menghilang. Bahkan, Rea hanya memberinya sekilas pandang dengan enggan.
“Maafkan aku, Kak.”
Deg.
Dada Emira terguncang hebat. Ia mengangkat kepala dan melihat air mata membasahi pipi Rea. Sekali lagi, Emira memeluk Rea, kali ini dengan kekuatan yang lebih tulus.
“Kau tidak bersalah, Rea. Ini semua kesalahanku. Aku yang telah membuatmu menderita. Gara-gara aku, kau dipaksa menggantikan posisiku.”
Rea menggeleng pelan, melepaskan diri dari pelukan.
“Tidak, Kak Emi tidak salah. Aku yang salah. Gara-gara Kak Emi menyelamatkan aku, Kau harus mengalami koma dan kehilangan pernikahanmu dengan Kak Zilo,” lirih Rea, matanya menatap Emira, penuh pengorbanan yang tak terucapkan.
“Sekarang karena Kak Emi sudah sembuh, Kak Emi harus berbahagia bersama Kak Zilo. Kak Zilo sangat mencintaimu. Kak Emi berhak bahagia bersamanya,” lanjut Rea dengan senyum yang dipaksakan, padahal sesungguhnya hatinya menjerit kesakitan.
“Aku harus kembali ke kamar. Kak Emi juga harus kembali ke kamar. Selamat malam, Kak.” Rea berbalik, melangkah secepat kilat, pergi sebelum Emira sempat menahannya lagi.
Emira tetap membeku di tempatnya, rasa sakit mencengkeram dadanya. Jeritan kesedihan tertahan di tenggorokannya. Ia hanya bisa menundukkan wajahnya, air mata mengalir deras membasahi tangannya. Kesedihan mendalam menyelimutinya. Ia tak menyangka ikatan batin dengan Rea telah terputus, menyisakan jarak yang terasa bagaikan orang asing.
“Aku tidak membutuhkan Zilo, Rea. Yang aku butuhkan hanyalah maaf darimu,” isak Emira, ia jatuh berlutut di lantai yang dingin. Derai air matanya tak terbendung. “Tante Dara, maafkan aku. Aku sudah gagal memenuhi janjiku. Padahal Tante sudah mengorbankan nyawa demi aku, tetapi aku tidak mampu menyelamatkan kehidupan anakmu. Maafkan aku, Rea.”
Drap! Drap! Drap!
Mendengar langkah kaki seseorang mendekati dapur, Emira segera menghapus air matanya. Ia berdiri, dan merapikan pakaiannya yang sedikit kusut. Ia menduga itu adalah Ibunya, namun yang muncul justru Azelio, yang hendak pulang. Di samping Azelio, Rexan sudah bersiap menantinya.
Sebenarnya, Emira ingin sekali berteriak bahwa Rea sudah kembali, sudah ada di rumah ini. Sayangnya, suaranya sudah serak akibat tangis yang tertahan, membuatnya hanya bisa pasrah.
Rexan maju selangkah, berniat meraih tangan Emira, tetapi wanita itu sudah melangkah pergi. Ia tak berhasil menyentuh Ibunya. Rexan menunduk, kesedihan menusuk hati kecilnya. Seolah perkataan Rhui adalah bualan, Ibunya memang masih sering mengabaikannya. Kesedihan itu seketika sirna ketika sebuah tangan terulur di hadapannya. Ia mengangkat wajah, terperanjat melihat Ayahnya, Azelio, kini tersenyum lembut. Hati kecil Rexan berdesir hangat.
“Papa…”
“Sini, Papa gendong ke mobil.”
Rexan cepat-cepat mengusap matanya, lalu menyambut tangan Ayahnya yang tiba-tiba terasa hangat malam itu. Betapa ia senang. Penantian tiga tahun untuk merasakan sedikit saja kasih sayang dari pria dingin itu, kini terwujud. Ia pun sepenuhnya percaya pada Rhui.
.
Di kamar, Rea dilanda kepanikan hebat sebab panas Ruchia tak kunjung mereda, bahkan semakin meninggi. Tak ada pilihan lain, ia segera mengangkat tubuh kecil Ruchia untuk membawanya ke rumah sakit, tak lupa membangunkan Rhui yang terlelap.
Rhui langsung terguncang begitu terbangun dan melihat kondisi mengerikan adiknya. Pupil matanya membesar ngeri melihat darah segar mengalir deras dari hidung Ruchia. Kaki bocah itu mendadak lemas, tak bertenaga.
“Mama… hidung Luci bedalah!” suara cadelnya pecah, dipenuhi ketakutan.
srmoga saja fia mau, wlu pyn marah dan kesal pada kelakuan papa ny
tapi ingin menyelsmat kan putri ny darimaut
maka ny dia marsh sambil ngebrak meja 😁😁😁
songong juga nech si Ron2.
henti kan kegilaan mu Rhui, utk memberi pelajaran dan menghancue kan perusahaan ayah mu
jika bukan Luna dan Celina...
Emira hafis baik, dia tdk akan mauenikah dengan mu, katena ituenyakiti jati afik ny Rea.
paham kamu..
kokblom keliatan.
jarus kuat. pergi lah sejauh mungkin, dan utup indentitas mu, agar yak afa yg bisa menemu kan mu Rea.
biar kita lihat, sampai do mana sifat angkuh nu ny si Azeluo