Elena hanya ingin menguji. Setelah terbuai kata-kata manis dari seorang duda bernama Rd. Arya Arsya yang memiliki nama asli Panji Asmara. Elena melancarkan ujian kesetiaan kecil, yaitu mengirim foto pribadinya yang tak jujur.
Namun, pengakuan tulusnya disambut dengan tindakan memblokir akun whattsaap, juga akun facebook Elena. Meskipun tindakan memblokir itu bagi Elena sia-sia karena ia tetap tahu setiap postingan dan komentar Panji di media sosial.
Bagi Panji Asmara, ketidakjujuran adalah alarm bahaya yang menyakitkan, karena dipicu oleh trauma masa lalunya yang ditinggalkan oleh istri yang menuduhnya berselingkuh dengan ibu mertua. Ia memilih Ratu Widaningsih Asmara, seorang janda anggun yang taktis dan dewasa, juga seorang dosen sebagai pelabuhan baru.
Mengetahui semua itu, luka Elena berubah menjadi bara dendam yang berkobar. Tapi apakah dendam akan terasa lebih manis dari cinta? Dan bisakah seorang janda meninggalkan jejak pembalasan di jantung duda yang traumatis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elena A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ciuman Yang Membakar Jiwa
Ciuman itu berlangsung singkat, tetapi dampaknya terasa seperti sambaran petir yang menghancurkan semua tembok pertahanan yang dibangun Elena untuk beberapa waktu. Panji melepaskan ciumannya, tetapi genggaman tangannya pada pergelangan Elena tidak kendur.
Elena terkesiap, mundur sedikit. Wajahnya yang semula dingin kini memerah, matanya memancarkan percampuran antara amarah dan kebingungan yang membakar.
"Apa maksud dari semua ini, Tuan Panji?" desis Elena, suaranya rendah dan penuh bahaya. "Ini diluar kesepakatan kita! Saya adalah umpan Tuan, bukan boneka untuk Tuan jadikan mainan!"
Panji tersenyum, senyum penuh kemenangan yang membuat Elena ingin menamparnya.
"Kontrol emosi kamu, Elena sayang. Bukankah kita baru saja sepakat untuk terbuka?" balas Panji, suaranya tenang, seolah ciuman itu hanyalah prosedur standar bisnis. "Aku baru saja mengujimu. Aku harus memastikan kamu memiliki respons yang meyakinkan ketika kita harus tampil mesra di hadapan publik."
"Menguji katamu, Tuan?" tanya Elena, tidak percaya.
"Ya. Kamu tidak bisa menjadi pasangan yang meyakinkan jika kamu terlihat kaku. Ratu Widaningsih Asmara adalah pengamat yang tajam. Dia harus percaya bahwa ada percikan nyata di antara kita," jelas Panji, matanya kembali menatap lurus, fokus. "Dan, sebagai bonus, aku juga ingin tahu apakah lidah kamu sejujur kata-kata kamu?"
Elena melepaskan tangannya dari genggaman Panji dengan hentakan keras. Hatinya bergemuruh. Ia merasa dipermainkan lagi, tetapi kali ini, ciuman itu jauh lebih berbahaya daripada sekadar kata-kata manis di WhatsApp. Itu membangkitkan sesuatu yang sudah lama ia kubur, yaitu gairah yang harus ia tolak dari pria yang kini sangat ia benci.
"Dengar, Pak Arya," kata Elena, kini nada suaranya kembali dingin, seolah ia baru saja membersihkan jiwanya dari sentuhan Panji. "Jangan pernah lagi menggunakan saya untuk melampiaskan hasrat atau menguji kedalaman hati saya. Tuan tidak lebih dari seorang haji cabul. Saya bekerja untuk keadilan, bukan untuk fantasi Tuan. Jika ini terulang lagi, maka perjanjian di antara kita batal."
Panji memandang Elena, ekspresi nakal dan playboy di wajahnya perlahan menghilang, digantikan oleh kekaguman yang tersembunyi. "Baiklah. Aku mengerti. Tidak ada lagi tindakan tanpa pemberitahuan. Mari kita fokus pada gala," katanya, kembali ke mode profesional.
Mereka menghabiskan dua jam berikutnya menyusun detail rencana mereka, tetapi aura canggung dan tegangan seksual yang tersisa dari ciuman itu terus membayangi.
Tiga hari tersisa menuju acara gala. Persiapan mereka dilakukan secara profesional dan efisien. Panji mengurus undangan dan memastikan Ratu Widaningsih Asmara akan hadir. Elena, dengan koneksi lamanya, memesan gaun malam yang menantang namun elegan.
Namun, Panji menolak gaun yang dipilih Elena.
"Tidak, Elena. Gaun dan hijab itu terlalu terlalu sederhana. Ratu Widaningsih Asmara adalah simbol kemewahan dan kesempurnaan. Untuk memprovokasinya, kita harus tampil sebagai pasangan yang tak terduga, tetapi harmonis," kata Panji melalui panggilan video, saat Elena menunjukkan pilihan gaunnya.
Panji kemudian mengirimkan Elena ke butik langganan Ratu Widaningsih Asmara. Dia memiliki tujuan gila. Panji ingin gaun Elena sejalan dengan estetika Ratu, tetapi dengan sentuhan pribadi yang lebih berani dan segar. Ini adalah perang psikologis yang dimulai dari lemari pakaian.
Di butik mewah itu, Elena bertemu dengan penata gaya yang mengenal Ratu Widaningsih Asmara dengan baik.
"Tuan Arya memesankan yang terbaik untuk Nyonya. Katanya, ini harus menjadi malam di mana semua orang lupa bahwa Nyi Ratu pernah menjadi pusat perhatian Tuan Arya," kata penata gaya itu sambil tersenyum licik.
Elena merasa dirinya semakin larut dalam drama yang dibuat Panji. Ia tidak lagi hanya menuntut keadilan, ia sudah menjadi performer dalam pementasan dendam ini. Ia memilih gaun malam panjang berwarna emerald green, berpotongan sederhana namun tetap menutup seluruh auratnya dengan elegan dan percaya diri.
Sabtu malam. Udara dingin kota Sumedang membelai jendela apartemen Elena. Jantungnya berdebar, campuran antara rasa takut dan adrenalin. Malam ini, ia akan berjalan bergandengan tangan dengan pria yang pernah memblokirnya secara brutal, semata-mata untuk menghancurkan wanita yang kini menjadi musuh mereka bersama.
Tepat pukul tujuh malam, bel pintu berbunyi.
Elena membuka pintu, dan untuk pertama kalinya, ia melihat Panji di luar konteks kantor. Panji mengenakan tuksedo hitam yang pas di tubuh, memancarkan aura maskulinitas yang mahal dan berwibawa. Matanya memancarkan kekaguman yang sulit disembunyikan saat melihat Elena dalam balutan emerald green.
"Kamu... terlihat anggun, Elena," puji Panji, suaranya serak.
"Itu tujuannya. Umpan harus terlihat menggoda, bukan?" balas Elena, nada suaranya dingin, tetapi senyum tipis tersungging di bibirnya.
Saat mereka berada di dalam mobil, Panji kembali ke mode instruksi.
"Ingat, kita saling mencintai, Elena. Tatapan mata, sentuhan tangan, dan tawa. Ratu akan mengamati detail terkecil," ujar Panji, menatap Elena sebelum menyalakan mesin. "Kita perlu meyakinkan dunia bahwa drama WhatsApp yang pernah terjadi dulu hanyalah kesalahpahaman kecil yang berhasil kita lalui."
Elena mengangguk. "Saya ingat. Tapi Tuan Panji, setelah semua ini berakhir, jangan harap saya akan membiarkan Tuan melupakan dendam saya."
"Aku takkan lupa. Dendammu adalah pengingat terbaik bagiku untuk tidak pernah lagi salah menilai kejujuran," jawab Panji.
Mobil melaju menuju lokasi acara gala yang gemerlap. Di perjalanan, Panji menggenggam tangan Elena. Genggaman itu kuat, terasa posesif, tetapi juga memberikan rasa perlindungan yang aneh. Elena membiarkannya, membiarkan tubuhnya beradaptasi dengan peran barunya sebagai kekasih.
Saat mobil mereka memasuki halaman gedung, lampu sorot kamera wartawan mulai berkedip liar. Acara gala ini ternyata menarik perhatian media bisnis dan sosialita.
Panji dan Elena keluar dari mobil. Panji meletakkan tangannya di punggung bawah Elena, sentuhan itu intim dan mengundang perhatian. Elena tersenyum, senyum yang disengaja dan memukau, ke arah kerumunan wartawan.
Mereka melangkah di atas karpet merah, semua mata tertuju pada mereka, pasangan baru yang misterius.
Saat mereka mencapai pintu masuk ballroom, Ratu Widaningsih Asmara sudah berdiri di sana, dikelilingi oleh sekelompok teman sosialitanya. Wajahnya yang anggun kini dipenuhi dengan amarah yang tertahan. Gaunnya, ternyata, berwarna ungu lavender, dengan desain yang sangat mirip dengan milik Elena, tetapi Elena terlihat lebih berani. Ratu memandang Elena dari atas ke bawah, sorot matanya seperti pisau cukur.
"Lihat siapa yang datang," bisik Ratu pada temannya, suaranya cukup keras untuk didengar Elena.
Panji tersenyum dingin, menarik Elena lebih dekat. "Jangan dengarkan! Fokus pada umpan," bisiknya ke telinga Elena.
Saat mereka melewati Ratu, Ratu tiba-tiba melangkah maju, memotong jalan mereka.
"Selamat datang, Akang. Dan..." Ratu mengalihkan tatapannya ke Elena, senyumnya palsu dan menakutkan. "Selamat datang, Elena. Atau haruskah aku memanggilmu, Nona Janda Pembawa Sial?"
Ratu Widaningsih mengucapkan kata-kata itu dengan nada yang manis, tetapi cukup keras sehingga beberapa wartawan di dekat mereka menoleh. Tuduhan'pembawa sial (atau yang lebih parah, pembunuh suami orang) telah dilontarkan di depan umum.
Elena terkejut, tetapi ia mempertahankan senyumnya. Sebelum Elena sempat membalas, Panji melangkah maju, tangannya memegang bahu Elena, memosisikan dirinya di antara Elena dan Ratu.
"Kamu bicara terlalu banyak, Ratu. Bukankah seharusnya kamu sudah pergi? Aku takkan membiarkan wanita yang merencanakan kebohongan bisnis berdiri di sampingku. Dan kamu tahu, Ratu, jejak kaki yang kamu tinggalkan di jantungku, kini sudah digantikan dengan nama Elena."
Panji menarik Elena melewatinya, menunjuk Ratu dengan tatapan menusuk. Namun, saat mereka melangkah masuk ke dalam ballroom yang gemerlap, Panji tiba-tiba meremas tangan Elena dengan sangat kuat.
"Aku harus menemuinya sebentar," bisik Panji, wajahnya pucat. "Dia... dia menggunakan kata sandi lama mantan istriku untuk mengancamku melalui email. Dia tahu rahasia yang tidak boleh diketahui oleh siapa pun. Tunggu aku di sini, Elena. Jangan bergerak."
Panji berbalik, meninggalkan Elena sendirian di tengah kerumunan, dan melangkah kembali ke arah Ratu Widaningsih Asmara yang kini tersenyum jahat, seolah baru saja memenangkan babak pertama.