Lanjutan dari novel Reinkarnasi Pendekar Dewa
Boqin Changing, pendekar terkuat yang pernah menguasai zamannya, memilih kembali ke masa lalu untuk menebus kegagalan dan kehancuran yang ia saksikan di kehidupan pertamanya. Berbekal ingatan masa depan, ia berhasil mengubah takdir, melindungi orang-orang yang ia cintai, dan menghancurkan ancaman besar yang seharusnya merenggut segalanya.
Namun, perubahan itu tidak menghadirkan kedamaian mutlak. Dunia yang kini ia jalani bukan lagi dunia yang ia kenal. Setiap keputusan yang ia buat melahirkan jalur sejarah baru, membuat ingatan masa lalunya tak lagi sepenuhnya dapat dipercaya. Sekutu bisa berubah, rahasia tersembunyi bermunculan, dan ancaman baru yang lebih licik mulai bergerak di balik bayang-bayang.
Kini, di dunia yang telah ia ubah dengan tangannya sendiri, Boqin Changing harus melangkah maju tanpa kepastian. Bukan lagi untuk memperbaiki masa lalu, melainkan untuk menghadapi masa depan yang belum pernah ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Boqin Changing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memasuki Kota Jiankang
Hari pun berganti.
Cahaya pagi menyelinap di sela-sela pepohonan, menembus tipis kabut yang masih menggantung rendah di tanah. Api unggun malam sebelumnya telah padam, hanya menyisakan abu hangat. Satu per satu, mereka bangkit dari istirahat singkat itu. Tidak ada percakapan panjang. Semua orang paham, perjalanan harus dilanjutkan.
Boqin Changing berdiri paling awal. Ia menoleh ke arah kereta kuda yang telah dimasuki oleh Shang Ni. Dengan satu gerakan tangan yang tenang, kereta itu kembali terangkat perlahan dari tanah, melayang setinggi pinggang. Tanpa banyak kata, rombongan itu kembali terbang.
Hari itu mereka melaju lebih lama. Langit cerah, angin bersahabat, dan jalur terbang yang dipimpin Shang Mu terasa jauh lebih mantap. Pegunungan, sungai, dan hutan berganti di bawah mereka, seolah hanya lukisan yang digeser perlahan. Sesekali mereka berhenti sejenak untuk beristirahat, namun sebagian besar waktu dihabiskan di udara.
Malam kembali tiba. Seperti malam sebelumnya, mereka mendarat di tempat yang relatif aman. Api unggun dinyalakan, tenda didirikan, dan makanan sederhana kembali dibagi. Tidak ada ketegangan berlebihan, hanya kelelahan yang wajar setelah perjalanan panjang. Dan sekali lagi, Shang Ni menghibur mereka.
Ia duduk di dekat api unggun, kecapi di pangkuannya. Jemarinya menari di atas senar, menciptakan alunan yang sedikit berbeda dari malam sebelumnya. Kali ini nadanya lebih ringan, namun tetap menyimpan kesedihan halus yang tak bisa disembunyikan. Suaranya mengalun pelan, menenangkan, membuat malam terasa lebih singkat.
Hari-hari berikutnya pun berlalu dengan pola yang hampir sama. Terbang di siang hari. Beristirahat di malam hari. Shang Ni memainkan kecapinya hampir setiap malam, dan entah disadari atau tidak, alunan itu perlahan menjadi penopang batin bagi mereka semua. Bahkan Sha Nuo, yang biasanya cerewet dan penuh canda, lebih sering diam saat musik itu mengalun.
Hingga akhirnya… Hari kelima. Sore itu, matahari belum sepenuhnya condong ke barat ketika Shang Mu yang terbang paling depan tiba-tiba melambatkan lajunya. Ia mengangkat tangan, memberi isyarat agar semua berhenti.
“Sudah terlihat,” katanya pelan.
Boqin Changing mengikuti arah pandang Shang Mu.
Di kejauhan, sebuah kota besar terbentang di ufuk. Dindingnya tinggi dan tebal, membentang luas seperti naga batu yang meringkuk menjaga wilayahnya. Menara pengawas menjulang di beberapa titik, bendera-bendera berkibar pelan diterpa angin sore.
“Kota Jiankang…” gumam Zhiang Chi.
Benteng kota itu tampak kokoh. Tidak ada bekas kehancuran. Tidak ada asap hitam, tidak ada dinding runtuh, tidak ada tanah hangus seperti yang mereka lihat di Kota Longjing. Kota itu masih berdiri utuh, hidup, dan terjaga.
Shang Mu menghela napas panjang, ada kelegaan yang jelas di wajahnya.
“Setidaknya… kota ini belum jatuh.”
Namun justru karena itulah, kehati-hatian mereka meningkat. Mereka turun di sebuah area berbukit yang cukup jauh dari gerbang kota, terlindung oleh pepohonan dan kontur tanah. Kereta kuda diturunkan perlahan, lalu disembunyikan di balik semak lebat.
Mereka berkumpul, membentuk lingkaran kecil.
Sha Nuo menyilangkan lengannya.
“Bagaimana kalau kita menyusup saja ke dalam kota?” tanyanya. “Masuk diam-diam. Jangan sampai terdeteksi.”
Ia menoleh ke sekeliling.
“Kita tidak tahu kondisi di dalam. Siapa tahu ada banyak musuh… atau pendekar kuat yang sedang berjaga.”
Boqin Changing mengangguk pelan.
“Aku juga tidak tahu,” katanya jujur. “Aku belum bisa bisa memastikan apakah di dalam ada musuh.”
Pandangan matanya bergeser ke arah kereta kuda.
“Namun kereta itu akan sangat mencolok jika kita masuk dari udara.”
Sha Nuo terdiam sejenak. Lalu, seperti biasa, matanya tiba-tiba berbinar.
“Hei,” katanya sambil menyeringai. “Kalau begitu… bagaimana kalau kita tidak usah memakai kereta itu untuk Nona Ni?”
Semua orang menoleh padanya.
“Aku punya ide yang lebih sederhana,” lanjutnya. “Tuan Muda, kau saja yang menggendong Nona Ni.”
Udara seakan membeku sesaat.
“…Hah?” Boqin Changing mengerutkan keningnya.
“Dengan kemampuanmu,” Sha Nuo melanjutkan tanpa rasa bersalah, “menggendong satu orang sambil terbang masuk ke kota itu sangat mudah. Tidak mencolok. Cepat. Bersih.”
Shang Ni yang mendengar itu langsung tersipu. Wajahnya memerah, ia menunduk, jari-jarinya saling menggenggam di balik lengan bajunya.
Shang Mu tertegun, lalu tertawa kecil.
“Ha… ha… ide itu memang aneh,” katanya. “Tapi… tidak sepenuhnya salah.”
Zhiang Chi ikut tertawa, meski berusaha menahannya.
“Jika dilihat dari sisi praktis, itu memang solusi paling sederhana.”
Boqin Changing menatap mereka satu per satu. Ekspresinya datar, namun urat di pelipisnya berdenyut halus.
“Kalian serius?” tanyanya.
Sha Nuo mengangkat bahu.
“Serius sekali.”
Beberapa detik berlalu dalam keheningan canggung. Akhirnya, Boqin Changing menghela napas pendek.
“…Baiklah.”
Ia menoleh ke arah Shang Ni.
“Pegang yang erat.”
Shang Ni mengangguk pelan, masih menunduk malu.
Malam pun tiba. Langit menggelap, dan cahaya kota Jiankang mulai menyala di kejauhan. Satu per satu, mereka terbang kembali ke udara. Kali ini tanpa kereta kuda.
Boqin Changing menggendong Shang Ni, gerakannya mantap dan stabil. Tubuh mereka melesat pelan, menyatu dengan gelapnya malam, menuju Kota Jiankang yang menjulang diam di hadapan mereka.
Mereka semua menahan aura masing-masing, menurunkannya hingga hampir tak terasa. Terbang tinggi justru berisiko, maka rombongan itu melesat rendah, mengikuti bayangan gedung dan jalur-jalur gelap di pinggiran kota. Dari udara, Kota Jiankang tampak hidup bahkan di malam hari. Lampu lentera menggantung di sepanjang jalan utama, sementara kawasan tertentu telah tenggelam dalam kesunyian.
Boqin Changing memimpin dari depan, matanya menyapu setiap sudut dengan tenang. Sha Nuo, Zhiang Chi, dan Shang Mu mengikuti dari belakang, menjaga jarak yang rapi. Shang Ni ada di punggung Boqin Changing, napasnya tertahan, tubuhnya diam tanpa bergerak.
Tak lama kemudian, mereka mencapai sebuah kawasan sepi di bagian dalam kota. Rumah-rumah di sana berjajar jarang, banyak yang tertutup rapat, seolah penghuninya memilih berdiam diri setelah senja. Tidak terdengar suara pedagang, tidak ada langkah kaki penjaga yang lalu-lalang. Hanya angin malam yang berdesir pelan. Di sanalah mereka mendarat.
Kaki menyentuh tanah tanpa suara. Tidak ada getaran, tidak ada bekas yang mencolok. Setelah memastikan keadaan aman, Boqin Changing melepaskan gendongannya. Shang Ni berdiri dengan hati-hati, merapikan bajunya yang sedikit kusut, lalu menunduk singkat sebagai tanda terima kasih.
“Sudah malam,” ujar Shang Mu pelan. “Kita sebaiknya mencari penginapan terlebih dahulu.”
Semua mengangguk setuju. Memasuki kota dalam kondisi seperti ini, tanpa tempat beristirahat yang jelas, justru akan mengundang kecurigaan.
Penampilan mereka kini jauh dari sosok-sosok yang pernah mengguncang kekaisaran. Shang Mu sama sekali tidak lagi terlihat seperti seorang kaisar. Kepalanya kini botak licin, wajahnya dibiarkan tanpa riasan, dan pakaiannya sederhana, bahkan sedikit lusuh. Aura agung yang dulu melekat padanya telah sepenuhnya ia sembunyikan.
Boqin Changing pun demikian. Wajahnya biasa saja, tidak ada ciri khas yang mudah diingat. Di mata penduduk Kekaisaran Shang, ia hanyalah seorang pemuda asing yang baru pertama kali menginjakkan kaki di kota ini.
Zhiang Chi juga telah merias dirinya. Garis wajahnya diubah halus, riasan tipis membuatnya tampak seperti perempuan dewasa biasa. Tidak ada lagi bayangan ratu yang pernah duduk di singgasana. Kini ia hanyalah seorang wanita pengelana.
Sedangkan Shang Ni… perubahannya paling mencolok. Wajahnya tidak lagi pucat seperti dulu. Setelah energi yin murninya berhasil diambil oleh Boqin Changing, rona sehat kembali ke kulitnya. Matanya jernih, bibirnya berwarna alami. Ia tampak seperti gadis muda yang cantik jelita. Sekilas aman, lembut, dan tenang.
Boqin Changing meliriknya sejenak, lalu mengalihkan pandangan.
“Kita harus cepat,” katanya pelan. “Jangan menarik perhatian.”
Mereka pun mulai berjalan.
Langkah kelima orang itu mantap menyusuri jalanan Kota Jiankang. Lentera-lentera malam memantulkan bayangan mereka di dinding rumah. Suara langkah kaki mereka menyatu dengan ritme kota yang tenang. Tidak ada yang menoleh curiga. Tidak ada yang memperhatikan lebih lama dari seharusnya.
Bagi Kota Jiankang, mereka hanyalah lima orang asing yang datang saat malam dan bagi mereka, inilah awal langkah baru di kota yang tampak damai, namun mungkin menyimpan banyak rahasia.
💥💥💥💥
🔥🔥🔥