Arunaya, seorang gadis dari keluarga terpandang yang terpenjara dalam sangkar emas tuntutan sosial, bertemu Adrian, pria sederhana yang hidup mandiri dan tulus. Mereka jatuh cinta, namun hubungan mereka ditentang keras oleh Ayah Arunaya yang menganggap Adrian tidak sepadan.
Saat dunia mulai menunjukkan taringnya, memihak pada status dan harta, Naya dan Adrian dihadapkan pada pilihan sulit. Mereka harus memilih: menyerah pada takdir yang memisahkan mereka, atau berjuang bersama melawan arus.
Terinspirasi dari lirik lagu Butterfly yang lagi happening sekarang hehehe....Novel ini adalah kisah tentang dua jiwa yang bertekad melepaskan diri dari kepompong ekspektasi dan rintangan, berani melawan dunia untuk bisa "terbang" bebas, dan memeluk batin satu sama lain dalam sebuah ikatan cinta yang nyata.
Dukung authir dong, like, vote, n komen yaa...
like karya authir juga jangan lupa hehehe
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Hari-hari berikutnya terasa seperti neraka bagi Naya. Hardi, ayahnya. Melarangnya keluar rumah sendirian, ponselnya disita, dan pengawasannya menjadi sangat ketat. Ia seperti kembali ke penjara emasnya, kali ini tanpa celah untuk melarikan diri.
Naya mencoba berargumen, menjelaskan ketulusan Rian dan kebahagiaan yang ia rasakan. Namun, setiap kata yang keluar dari mulutnya dibantah mentah-mentah.
"Kau tidak tahu apa-apa tentang hidup, Naya," kata Hardi dingin. "Pria sepertinya hanya mengincar hartamu. Ayah melakukan ini demi masa depanmu."
Di sisi lain kota, Rian juga merasakan sakit yang sama. Harga dirinya terluka oleh penghinaan Hardi. Namun, ia tidak rela menyerah. Ia tahu Naya tulus, dan ia merasakan koneksi yang tidak pernah ia rasakan dengan siapa pun.
Rian mencoba menghubungi Naya, tapi nihil. Ia mencoba datang ke rumahnya, tapi diusir oleh satpam dengan kasar. Ia merasa impoten, tidak berdaya melawan tembok kekayaan dan kekuasaan keluarga Naya.
Suatu malam, Rian berdiri di depan gerbang rumah mewah Naya. Hujan turun, membasahi wajahnya, tapi ia tidak beranjak. Ia menatap ke arah kamar Naya di lantai atas, berharap bisa melihat bayangan wanita itu.
Ia bertekad. Ia tidak akan rela melepaskan Naya semudah itu. Ia akan berjuang.
Rian bertahan di tengah hujan semalaman, menatap ke arah kamar Naya, sebelum akhirnya diusir oleh satpam kompleks dengan tegas. Ia kembali ke kontrakan kecilnya dengan pakaian basah kuyup, tapi tekadnya semakin kuat. Ia harus menemukan cara untuk berkomunikasi dengan Naya.
Rian, dengan insting tajamnya sebagai calon arsitek yang terbiasa mengamati struktur dan detail, mulai menganalisis kelemahan sistem keamanan rumah mewah itu. Saat ia menunggu di gerbang semalam, ia memperhatikan ada area "titik buta" ( blind spot) di bagian belakang taman yang tidak terjangkau oleh kamera CCTV utama, tepat di balik pohon mangga tua di dekat tembok pembatas. Ada celah kecil di bawah tembok yang jarang diperhatikan karena tertutup semak-semak.
Pagi harinya, ia menyiapkan secarik kertas dan ponsel lamanya yang sudah tidak terpakai tapi masih berfungsi. Ia menulis pesan singkat, melipatnya rapi, dan membungkus ponsel itu dengan plastik kedap air.
Di saat yang sama, Naya sedang sarapan dengan Ayah dan Ibunya dalam keheningan yang tegang. Ia kehilangan nafsu makan. Pikirannya terus melayang kepada Rian.
Setelah sarapan, Naya mencari alasan untuk pergi ke taman belakang. Dengan bantuan pengasuh lamanya—yang bersimpati kepadanya—Naya berhasil menyelinap ke area belakang saat pengasuh itu mengalihkan perhatian satpam. Jantungnya berdebar kencang. Ia tahu ini berisiko, tapi ia nekat.
Ia langsung menuju pohon mangga tua di dekat tembok pembatas, entah karena insting atau harapan. Di sana, di celah kecil yang tertutup semak, ia menemukan bungkusan plastik itu.
Dengan tangan gemetar, Naya membuka lipatan kertas itu. Tulisan tangan Rian yang rapi dan tegas terbaca jelas:
"Jangan pernah menyerah, Naya. Temui aku di taman rahasia kita malam ini jam 9. Aku akan berjuang untuk kita. Aku takkan pernah rela."
Mata Naya berkaca-kaca membaca pesan itu. Rian tidak meninggalkannya. Dia masih di sana, berjuang untuk mereka berdua. Ia melihat ponsel lama itu—cara mereka berkomunikasi mulai sekarang.
Malam harinya, di tengah pengawasan ketat, Naya menyelinap keluar kamarnya. Ia harus melewati beberapa rintangan, tapi tekadnya lebih kuat dari rasa takutnya. Ia harus bertemu Rian, di taman rahasia mereka.
Malam itu terasa dingin, namun jantung Naya berdebar panas. Ia berhasil menyelinap keluar rumah tanpa ketahuan, berkat bantuan pengasuh lamanya yang berpura-pura sakit dan mengalihkan perhatian satpam. Ia berlari ke taman rahasia mereka, tempat di mana dunia mereka pernah terasa milik berdua.
Rian sudah menunggu di sana. Begitu melihat Naya, ia langsung memeluknya erat. Itu adalah pelukan pertama mereka, pelukan yang penuh dengan rindu, ketakutan, dan kelegaan.
"Aku takut sekali, Rian," bisik Naya di pelukan Rian, air mata mulai membasahi pipinya.
"Aku di sini, Naya. Aku tidak akan ke mana-mana," balas Rian, suaranya meyakinkan.
Mereka duduk di bangku taman favorit mereka. Di bawah cahaya rembulan yang redup, mereka membicarakan situasi mereka. Rian menceritakan ancaman dan penghinaan Hardi, ayah Naya. Naya menceritakan tekanan dan pengawasan ketat di rumah.
"Dunia memang belum memihak kita," kata Rian, menatap mata Naya. "Tapi aku takkan pernah rela menyerah."
"Aku juga," jawab Naya, tekadnya menguat. "Aku tidak mau lagi jadi kupu-kupu yang sayapnya terpotong. Aku mau terbang, bersamamu."
Mereka berdua tahu ini bukan keputusan yang mudah. Ini berarti mereka harus melawan keluarga Naya, melawan ekspektasi sosial, dan mungkin meninggalkan kehidupan nyaman yang selama ini Naya jalani.
"Kita akan membangun dunia kita sendiri," janji Rian. "Dunia di mana kita bisa menjadi kupu-kupu bersama,"
Malam itu, di taman yang sunyi, di bawah tatapan bintang-bintang yang menjadi saksi bisu, Rian dan Naya membuat janji. Mereka berjanji untuk berjuang, untuk melawan dunia yang menentang mereka, dan untuk menciptakan takdir mereka sendiri.
...----------------...
Pertemuan rahasia di taman malam itu bukan sekadar momen romantis; itu adalah sesi perencanaan strategis. Rian dan Naya tidak hanya mengeluh, tapi mulai menyusun rencana pelarian Naya dari sangkar emasnya.
"Ayahmu tidak akan berhenti, Naya," ujar Rian suatu sore, saat mereka berkomunikasi melalui ponsel rahasia. Mereka hanya punya waktu singkat untuk bicara setiap harinya. "Dia akan memaksamu bertunangan secepatnya untuk menghentikan kita."
"Aku tahu," balas Naya, suaranya terdengar lelah, tapi kini ada nada perlawanan. "Ayah sudah menjadwalkan makan malam formal dengan keluarga Pak Darmawan minggu depan. Anaknya baru pulang dari luar negeri, dan aku tahu Ayah berencana menjodohkan ku."
Waktu mereka tidak banyak.
Rian menyusun sebuah rencana yang berani. Ia akan menunggu Naya di stasiun kereta api kecil di pinggir kota, yang jarang diawasi. Dari sana, mereka bisa pergi ke kota lain di mana tidak ada yang mengenal mereka dan memulai hidup baru.
Rian tahu ini pengorbanan besar bagi Naya. Meninggalkan kemewahan, keluarga, dan masa depan yang sudah terjamin. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa ia bayar kembali.
"Kamu yakin bisa hidup susah bersamaku, Naya?" tanya Rian di telepon malam itu, ada keraguan yang tulus dalam suaranya. Ia tidak ingin Naya menyesal. "Aku tidak punya apa-apa selain diriku sendiri."
Naya tersenyum, meskipun Rian tidak bisa melihatnya. "Hatiku sudah cukup kaya bersamamu, Rian. Aku tidak butuh kemewahan itu."
Mereka menetapkan tanggal: malam, makan malam dengan keluarga Darmawan. Saat semua orang sibuk dengan acara dan perhatian terpusat pada tamu-tamu penting, Naya akan menyelinap keluar.
Mereka berdua tahu bahwa ketika mereka melangkah keluar dari stasiun itu, dunia akan benar-benar menentang mereka. Tapi mereka siap.
Bersambung...