Sadewa dan Gendis sudah bersahabat dari kecil. Terbiasa bersama membuat Gendis memendam perasaan kepada Sadewa sayang tidak dengan Sadewa,dia memiliki gadis lain sebagai tambatan hatinya yang merupakan sahabat Gendis.
Setelah sepuluh tahun berpacaran Sadewa memutuskan untuk menikahi kekasihnya,tapi saat hari H wanita itu pergi meninggalkannya, orang tua Sadewa yang tidak ingin menanggung malu memutuskan agar Gendis menjadi pengantin pengganti.
Sadewa menolak usulan keluarganya karena apapun yang terjadi dia hanya ingin menikah dengan kekasihnya,tapi melihat orangtuanya yang sangat memohon kepadanya membuat dia akhirnya menyetujui keputusan tersebut.
Lali bagaimana kisah perjalanan Sadewa dan Gendis dalam menjalani pernikahan paksa ini, akankah persahabatan mereka tetap berlanjut atau usai sampai di sini?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu Cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bagian 12
Rumah besar keluarga Yudistira pagi itu sunyi, terlalu sunyi untuk ukuran rumah yang baru saja menyelenggarakan pernikahan megah. Bianca duduk di ruang makan, secangkir teh di hadapannya sudah dingin. Sejak pagi, Sadewa belum mengucapkan satu kata pun padanya.
Ia mendengar langkah kaki mendekat.
Sadewa muncul dengan kemeja putih rapi, rambutnya disisir sempurna terlalu sempurna untuk seseorang yang semalam hancur. Di tangannya ada sebuah map cokelat tipis. Bianca langsung tahu, instingnya sebagai perempuan tidak pernah salah.
Sadewa menarik kursi di seberangnya, duduk tanpa menatap.
“Kita perlu bicara,” ucapnya akhirnya.
Bianca mengangguk pelan. “Soal apa?”
Sadewa meletakkan map itu di atas meja. Bunyi duk kecil terdengar, tapi rasanya seperti palu godam di dada Bianca.
“Soal pernikahan ini.”
Jari Bianca refleks mengerat di pangkuannya. Ia menatap map itu lama, sebelum akhirnya mengulurkan tangan dan membukanya. Matanya membaca setiap baris dengan teliti. Semakin ia membaca, semakin napasnya terasa pendek.
Satu tahun.
Tanpa hubungan suami-istri.
Tanpa perasaan.
Tanpa hak cemburu.
Tanpa masa depan.
Ketika Bianca sampai di halaman terakhir, ia menutup map itu perlahan.
“Ini kontrak,” katanya pelan, bukan bertanya.
Sadewa mengangguk. “Aku nggak mau kamu salah paham. Aku nggak bisa jadi suami yang kamu harapkan.”
Bianca tersenyum kecil, senyum yang tidak sampai ke matanya.
“Sejak awal aku juga nggak berharap apa-apa.”
Sadewa akhirnya menatapnya, alisnya berkerut tipis. “Jangan bohong.”
Bianca menegakkan punggungnya. “Aku nggak bohong. Aku hanya realistis. Aku tahu aku bukan pilihanmu.”
Hening kembali jatuh.
“Aku akan menepati peranku di depan publik,” lanjut Sadewa. “Tapi secara pribadi… kita masing-masing.”
“Seperti dua orang asing yang terjebak satu atap?” Bianca menyimpulkan.
Sadewa tidak menjawab. Itu sudah cukup.
Bianca mengambil pulpen dari dalam map. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia tetap menandatangani kontrak itu. Tanpa air mata. Tanpa drama.
Sadewa justru terdiam melihatnya.
“Kamu nggak mau baca ulang?” tanyanya, nada suaranya sedikit goyah.
Bianca menutup map itu, mendorongnya kembali ke arah Sadewa.
“Percuma dibaca berkali-kali kalau akhirnya tetap harus diterima.”
Kalimat itu menampar Sadewa lebih keras dari yang ia duga.
Siang harinya, Bianca pulang ke rumah orang tuanya untuk berpamitan. Mama Lestari langsung tahu ada yang tidak beres hanya dari cara Bianca masuk tenang, tapi terlalu tenang.
“Kamu mau ke mana?” tanya Mama Lestari ketika melihat koper di ruang tengah.
“Aku ikut Sadewa ke apartemennya di kota,” jawab Bianca jujur.
Papa Hendrawan yang sejak tadi diam langsung berdiri.
“Apa?” suaranya meninggi. “Nggak. Papa nggak setuju.”
Mama Lestari ikut mendekat. “Pernikahan kalian belum sehat, Bianca. Mama lihat sendiri.”
Bianca menarik napas dalam-dalam. Ia sudah menyiapkan dirinya untuk ini.
“Justru karena belum sehat, aku harus ikut dia,” katanya tenang. “Kalau aku tetap di sini, semua akan terasa seperti sandiwara.”
Papa Hendrawan menggeleng keras. “Papa nggak mau kamu tersiksa sendirian di kota.”
Bianca menatap ayahnya, matanya berkaca-kaca tapi suaranya tetap stabil.
“Pa… aku sudah jadi istri orang. Aku nggak bisa terus bersembunyi di rumah ini.”
Mama Lestari memegang tangan putrinya. “Kamu bahagia?”
Pertanyaan itu membuat Bianca terdiam beberapa detik terlalu lama.
“Aku akan berusaha menciptakan kebahagiaan ma,” jawabnya akhirnya. “Dan itu cukup untuk sekarang.”
Papa Hendrawan menatap putrinya lama, rahangnya mengeras menahan emosi.
“Kalau dia menyakitimu—”
“Aku akan pulang,” potong Bianca cepat. “Aku janji.”
Akhirnya, dengan berat hati, orang tua Bianca mengizinkan. Mama Lestari memeluk putrinya lama, mencium rambutnya berulang kali seakan takut ini pelukan terakhir.
Di dalam mobil, Bianca dan Sadewa kembali duduk bersebelahan. Kali ini menuju apartemen Sadewa tempat yang seharusnya menjadi awal hidupnya bersama Sarah.
Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan. Hanya suara mesin dan lampu kota yang mulai menyala satu per satu.
Bianca menatap jendela, refleksi wajahnya terlihat samar. Ia tidak tahu apakah ini awal dari kehancuran atau justru ujian terberat hidupnya.
Sadewa melirik Bianca sekilas.
Untuk pertama kalinya sejak akad, ada rasa asing yang menyusup ke dadanya.
Bukan benci.
Bukan marah.
Melainkan rasa bersalah yang pelan-pelan tumbuh.
Apartemen Sadewa berada di lantai tinggi sebuah gedung di pusat kota. Begitu pintu terbuka, Bianca langsung mencium aroma bersih aroma maskulin yang rapi, minim sentuhan personal perempuan. Tidak ada foto berdua. Tidak ada hiasan lembut. Semuanya tampak seperti ruang singgah, bukan rumah yang disiapkan untuk hidup bersama.
Sadewa menaruh kunci di atas meja kecil dekat pintu, lalu melepas jasnya. Gerakannya efisien, tanpa basa-basi.
“Kamar tamu ada di sebelah kiri,” ucapnya datar sambil menunjuk lorong pendek. “Kamu bisa pakai itu.”
Bianca mengangguk pelan. Ia berdiri dengan koper kecilnya, menatap sekeliling sekali lagi. Apartemen ini terasa… asing. Bahkan lebih asing daripada Sadewa yang berdiri beberapa langkah darinya.
Sadewa berjalan mendekat ke lorong, membuka satu pintu. Di dalamnya tampak kamar sederhana, rapi, dengan tempat tidur queen size dan lemari kosong.
“Kamar ini,” katanya singkat. “Seprai baru.”
“Terima kasih,” jawab Bianca sopan.
Sadewa tidak langsung pergi. Ia berdiri di ambang pintu, seolah masih ada sesuatu yang ingin ia pastikan.
“Kita perlu sepakat soal beberapa hal,” katanya kemudian.
Bianca menegakkan tubuhnya. “tentang apa?.”
Sadewa menghela napas pendek, lalu berbicara seperti seseorang yang sudah menyiapkan kalimatnya sejak lama.
“Kamar ini area kamu. Kamar utama—” ia berhenti sejenak, “—kamar aku. Kamu nggak boleh masuk ke sana.”
Bianca mengangguk tanpa ragu. “Aku mengerti.”
Sadewa melanjutkan, nadanya tetap datar tapi tegas.
“Aku juga nggak mau privasiku terusik. Jam kerja aku nggak teratur. Kadang aku pulang larut. Kadang aku butuh sendiri.”
“Baik,” jawab Bianca singkat.
Jawaban yang terlalu mudah itu membuat Sadewa menatapnya sesaat. Seolah ia berharap penolakan, atau setidaknya keberatan.
“Kalau kamu butuh sesuatu,” lanjut Sadewa, “bilang. Aku akan sediakan. Tapi jangan berharap lebih.”
Bianca menatapnya tenang. “Aku nggak akan merepotkan.”
Hening kembali tercipta.
Sadewa memalingkan wajah, sedikit terganggu oleh ketenangan Bianca. Ia melangkah mundur, hendak pergi, tapi suara Bianca menahannya.
“Dewa.”
Sadewa menoleh.
“Aku setuju dengan semua aturanmu,” ucap Bianca pelan tapi jelas. “Aku di sini bukan untuk mengambil ruangmu. Aku hanya menjalani peranku sebagai pilihan keduamu.”
Ada sesuatu di nada suara itu bukan pasrah, tapi penerimaan yang dewasa.
Sadewa mengangguk singkat. “Bagus.”
Ia lalu berjalan menuju kamar utamanya, membuka pintu, dan menutupnya tanpa suara keras. Namun bunyi klik kunci yang diputar terdengar jelas di telinga Bianca.
Bianca berdiri beberapa detik di lorong, menatap pintu kamar Sadewa yang kini tertutup rapat bukan hanya oleh kunci, tapi oleh jarak emosional yang sengaja diciptakan.
Ia menarik koper ke dalam kamar tamu, menutup pintunya pelan. Begitu sendirian, Bianca bersandar di pintu, menghembuskan napas panjang yang sejak tadi ia tahan.
Apartemen ini sunyi.
Dan sunyi itu terasa lebih dingin daripada penolakan terang-terangan.
Bianca melangkah ke tempat tidur, duduk perlahan. Matanya menatap langit-langit putih, pikirannya kosong tapi dadanya sesak.
Di kamar sebelah, Sadewa berdiri di tengah kamar utamanya, punggungnya bersandar ke pintu yang baru saja ia kunci. Tangannya mengepal tanpa sadar.
Entah kenapa, melihat Bianca menyetujui semuanya tanpa protes justru membuat dadanya terasa tidak nyaman.
Ia mengira akan merasa lega.
Nyatanya, tidak.