Di balik kemewahan rumah Tiyas, tersembunyi kehampaan pernikahan yang telah lama retak. Rizal menjalani sepuluh tahun tanpa kehangatan, hingga kehadiran Hayu—sahabat lama Tiyas yang bekerja di rumah mereka—memberinya kembali rasa dimengerti. Saat Tiyas, yang sibuk dengan kehidupan sosial dan lelaki lain, menantang Rizal untuk menceraikannya, luka hati yang terabaikan pun pecah. Rizal memilih pergi dan menikahi Hayu, memulai hidup baru yang sederhana namun tulus. Berbulan-bulan kemudian, Tiyas kembali dengan penyesalan, hanya untuk menemukan bahwa kesempatan itu telah hilang; yang menunggunya hanyalah surat perceraian yang pernah ia minta sendiri. Keputusan yang mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Rizal tersenyum kecil mendengar ancaman Hayu yang terdengar manis.
"Baiklah, Nona Hayu. Ancaman itu terlalu berat untuk aku tolak. Aku janji akan mencoba tidur sekarang," jawab Rizal.
Hayu membetulkan selimut di tubuh Rizal yang akan istirahat .
"Bagus, Pak. Ingat, harus istirahat total. Saya akan duduk di sini, kalau Bapak butuh sesuatu, panggil saja."
Hayu kembali duduk di kursi samping ranjang, mengambil majalahnya, tetapi matanya lebih banyak tertuju pada Rizal.
Ia melihat Rizal memejamkan matanya dengan wajahnya yang tadi pucat kini mulai terlihat lebih rileks.
Setelah beberapa saat kemudian, Rizal benar-benar terlelap tidur.
Hayu menghela napas lega. Ia mengeluarkan ponselnya, berniat mengecek notifikasi.
Ting!
Sebuah notifikasi m-banking muncul di layar ponselnya.
Transfer masuk sebesar Rp50.000.000,00 dari rekening atas nama Rizal.
Hayu masih tidak menyangka jika Rizal benar-benar memberikannya uang lima puluh juta.
Nominal itu terlalu besar baginya yang seumur hidup belum pernah memegang uang sebanyak itu.
Ia segera memasukkan ponselnya kembali ke tasnya.
Sementara itu di apartemen Robby yang membangunkan Tiyas dan mengajaknya mencari makan siang.
Tiyas membuka matanya dan melihat Robby yang sudah selesai mandi.
"Aku mandi dulu, ya." ucap Tiyas.
Robby menganggukkan kepalanya dan menunggu Tiyas sambil menonton televisi.
Setelah selesai mandi, Tiyas keluar dari kamar mandi, mengenakan dress santai yang mewah.
Aroma parfumnya langsung menyebar, Robby yang melihatnya bangkit dan tersenyum penuh pesona.
"Ayo, Sayang. Aku lapar. Kita cari makan siang di luar," ajak Robby sambil menggandeng tangan Tiyas.
Mereka berdua keluar dari apartemen dan menuju ke kafe Berlian.
Robby melajukan mobil mewah milik Tiyas menuju ke Kafe berlian.
Dua puluh menit kemudian mereka berdua telah sampai dan segera mereka turun dari mobil.
Dengan langkah percaya diri, Tiyas menggenggam tangan Robby.
Ia sangat menikmati kebebasannya setelah keluar dari rumah Rizal.
Kemudian merek memilih meja di sudut yang paling eksklusif.
Pelayan datang membawa menu, dan Tiyas dengan santai memesan beberapa hidangan mahal tanpa melihat harga.
"Aku pesan Wagyu Steak dengan saus jamur truffle, Sayang," ujar Tiyas kepada Robby dengan nada manja.
Robby tersenyum lebar sambil membaca buku menu.
"Aku Seafood Platter dan sebotol Champagne terbaik mereka, Tiyas."
Pelayan menulis pesanan mereka dengan anggukan sopan
Sambil menunggu pesanan mereka datang, Robby mengobrol dengan Tiyas.
Tidak lama kemudian pelayan datang membawa semua pesanan mereka.
Tiyas dan Robby menikmati setiap gigitan makanan premium dan tegukan Champagne mahal, tertawa dan bercanda seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua.
"Kita rayakan awal baru kebebasanku," ucap Tiyas sambil mengangkat gelas Champagne-nya ke arah Robby.
Robby membalas senyumnya dengan matanya yang penuh ambisi.
Mereka menghabiskan makan siang mewah itu dengan obrolan ringan dan rencana-rencana besar tentang masa depan mereka yang semuanya berlandaskan pada kekayaan Tiyas dan perceraiannya dari Rizal.
"Tiyas, kamu jadi belikan aku motor kan?" tanya Robby.
"Tentu saja, sayang. Aku tidak pernah ingkar janji." jawab Tiyas dengan penuh percaya diri.
Setelah semua hidangan mewah habis tak bersisa, Tiyas mengisyaratkan pelayan untuk membawa tagihan.
Robby tersenyum puas saat melihat Tiyas yang mengeluarkan dompet mewahnya.
Pelayan meletakkan bill dengan total yang fantastis di meja mereka.
Tiyas meraih Black Card yang selalu disediakan Rizal dan menyerahkannya kepada pelayan dengan gaya santai.
"Totalnya 15.750.000, Bu," ujar pelayan tersebut sambil menerima kartu yang diberikan oleh Tiyas.
Beberapa detik kemudian pelayan kembali ke meja mereka dengan raut wajah yang sedikit canggung.
"Maaf, Bu. Kartu ini ditolak. Apakah ada kartu lain?" tanya pelayan itu dengan suara pelan.
Tiyas mengernyitkan dahinya saat mendengar perkataan dari Pelayan.
"Coba lagi! Mungkin mesinnya yang bermasalah," perintah Tiyas dengan nada tidak sabar.
Ia merasa kesal dengan pelayan yang tidak becus.
Pelayan menghela nafas panjang dan kembali ke mesin kasir dan mencoba memproses kartu itu sekali lagi.
Setelah beberapa detik yang menegangkan, ia kembali ke meja Tiyas dengan kartu dan sebuah print-out kertas kecil.
"Mohon maaf, Bu. Keterangan dari bank yang menyebutkan bahwa kartu ini telah diblokir permanen," jelas pelayan itu.
Wajah Tiyas langsung memerah saat mendengar perkataan dari pelayan itu.
Ia menarik kartu itu kembali dengan kasar dan mencoba kartu ATM lain yang juga terkoneksi dengan rekening utama suaminya.
"Bodoh! Coba yang ini!" seru Tiyas.
Lagi-lagi, pelayan itu kembali dengan hasil yang sama.
"Apa-apaan ini?!" bentak Tiyas.
Ia mulai panik, tidak hanya karena malu di depan Robby, tetapi juga karena menyadari ada yang tidak beres.
Segera ia mengambil ATM miliknya dan memberikannya kepada pelayan.
"Ambil ini! Cepat selesaikan!" seru Tiyas dengan nada tajam, nyaris membentak pelayan.
Pelayan itu bergegas pergi, kali ini memproses kartu ATM Tiyas.
Setelah menunggu beberapa saat yang terasa sangat lama, pelayan kembali dengan membawa kembalian.
"Terima kasih, Bu. Pembayaran berhasil," ujar pelayan itu dengan nada lega dan segera menyingkir dari hadapan mereka.
Tiyas menarik napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang karena rasa malu dan amarah.
Robby hanya mengamati dengan ekspresi yang sulit dibaca.
"Dasar si tua bangka itu! Dia pikir dengan memblokir kartu-kartu itu aku akan kembali merengek padanya? Tidak akan pernah!" desis Tiyas penuh kebencian.
Robby mendekat ke arah Tiyas dan menenangkannya.
Padahal ia sendirian gelisah karena ia mendekat Tiyas karena aset dari Rizal.
"Tenanglah, Sayang. Jangan biarkan emosimu naik hanya karena tingkah kekanak-kanakan Rizal. Dia hanya ingin memancingmu kembali," ujar Robby sambil mengusap lembut lengan Tiyas.
"Kamu masih punya banyak tabungan dan aset, kan? Ini hanya masalah waktu sampai perceraian kalian selesai."
Tiyas meredakan amarahnya sambil membuka rekeningnya untuk memastikan saldo di rekeningnya masih aman.
"Tentu saja! Aku punya rekening pribadi yang terpisah dan beberapa deposito atas namaku sendiri. Dia tidak bisa menyentuh itu, Rob. Dia pikir aku bodoh?" jawab Tiyas.
"Ayo kita pergi dari sini, aku tidak suka tempat ini lagi!"
Mereka berdua bangkit dari tempat duduk dan berjalan keluar dari Kafe Berlian.
Robby membantu Tiyas masuk ke dalam mobil, lalu ia duduk di kursi pengemudi.
Ia menyalakan menyalakan mesin mobil, sebelum melajukan mobilnya, ia menoleh ke arah Tiyas.
"Sayang, soal motor yang kamu janjikan kapan hari. Aku benar-benar membutuhkannya untuk mobilitas pekerjaanku. Karena kartu-kartu kamu sudah diblokir oleh Rizal. Aku khawatir akan ada hal lain yang dilakukan Rizal untuk mempersulit hidupmu. Bagaimana kalau kita urus sekarang juga?" tanya Rizal.
Tiyas sedikit gelisah dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Robby.
"Tentu saja, Rob. Jangan khawatir soal itu," jawab Tiyas.
Tiyas takut jika Robby akan meninggalkannya dan ia harus mempertahankan Robby.
"Aku janji akan membelikanmu motor itu sekarang juga. Pilih model terbaru yang kamu mau, biar aku yang bayar tunai."
Robby tersenyum lebar dan tatapannya langsung berubah cerah.
"Terima kasih, Sayang! Kamu memang yang terbaik! Kita ke dealer motor di pusat kota sekarang, ya. Aku sudah tahu model yang aku inginkan."
Robby langsung melajukan mobilnya dan sepanjang perjalanan, Tiyas berusaha keras mengabaikan rasa cemas yang mulai menggerogotinya.
Ia terus meyakinkan dirinya bahwa tindakannya memanjakan Robby adalah investasi yang tepat untuk masa depannya dan masa depan yang bebas dari Rizal.