Aku membuka mata di sebuah ranjang berkelambu mewah, dikelilingi aroma parfum bunga yang asing.
Cermin di depanku memantulkan sosok wanita bertubuh besar, dengan tatapan garang dan senyum sinis—sosok yang di dunia ini dikenal sebagai Nyonya Jenderal, istri resmi lelaki berkuasa di tanah jajahan.
Sayangnya, dia juga adalah wanita yang paling dibenci semua orang. Suaminya tak pernah menatapnya dengan cinta. Anak kembarnya menghindar setiap kali dia mendekat. Para pelayan gemetar bila dipanggil.
Menurut cerita di novel yang pernah kubaca, hidup wanita ini berakhir tragis: ditinggalkan, dikhianati, dan mati sendirian.
Tapi aku… tidak akan membiarkan itu terjadi.
Aku akan mengubah tubuh gendut ini menjadi langsing dan memesona.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ICHA Lauren, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saksi Mata
Nateya tidak serta-merta menanggapi tuduhan Eleanor. Ia justru melangkah dengan anggun mendekati meja kepala sekolah, menundukkan kepala sedikit dan berkata lembut.
“Selamat pagi, Tuan Hoofd. Terima kasih telah menerima kami pagi ini.”
Kemudian, ia menoleh pada Julian.
“Salam dulu pada Kepala Sekolah, Anelis, Julian,” ucapnya tenang.
Julian berdiri kikuk, tetapi menundukkan badan memberi hormat. Kepala sekolah yang tadi tampak kaku, kini melunak, bahkan tersenyum kecil dan mempersilakan,
“Silakan duduk, Nyonya Seruni, juga anak-anak. Mari kita duduk bersama dulu.”
Namun, Eleanor tak sabar. Ia langsung menyela dengan suara tinggi.
“Untuk apa duduk-duduk lagi? Bukti sudah jelas! Anak ini—” ia menunjuk Julian dengan dramatis, “sudah hadir di sini. Maka harus segera dijatuhi sanksi berat atas perbuatannya yang biadab terhadap Andrew!”
Suasana tegang, tetapi Nateya tidak tinggal diam. Matanya menajam, bibirnya tersenyum sinis.
“Jangan berasumsi sembarangan, Mevrouw Eleanor. Apakah hanya pendapat Anda saja yang harus didengar di sini? Saya juga orang tua murid. Saya pun punya hak yang sama untuk berbicara. Bahkan di pengadilan sekali pun, keterangan tersangka dan saksi tetap diperhitungkan.”
Ruangan mendadak hening. Eleanor menggertakkan giginya.
Nateya pun berbalik menatap kepala sekolah.
“Dengan hormat, Tuan Hoofd… jika hidung Andrew diperban tebal dan tangannya digendong kain putih, itu tidak serta-merta menunjukkan tingkat keparahan. Dan seandainya pun parah, belum tentu Julian yang melakukannya. Bisa saja Andrew yang ceroboh dan melukai dirinya sendiri.”
“APA?!” Eleanor langsung melotot, wajahnya memerah. “Jadi kai menuduh aku dan anakku BERBOHONG?!”
Nateya mengangkat alisnya tenang.
“Saya tidak menuduh. Saya hanya meminta keadilan. Maka sekarang, izinkan Julian bicara. Ia berhak didengar.”
Kepala sekolah segera menengahi, mengangkat tangan agar suasana tidak makin panas.
“Baiklah. Julian, mari jelaskan kepada kami. Mengapa kau memukul Andrew?”
Julian menegang. Kedua tangannya mengepal di pangkuan. Namun, Nateya meraih bahunya dan menepuk perlahan.
“Katakan sejujurnya, Julian. Jangan takut. Mama percaya padamu.”
Julian menarik napas panjang. Ia mulai membuka mulut walau suaranya sedikit bergetar.
“Aku hanya membalas perbuatan Andrew kepada adikku, Anelis. Selama ini dia sering mengejek Anelis karena tidak bisa bicara… di depan teman-teman kelas kami," tuturnya lirih.
"Kemarin, waktu Anelis bermain di halaman, Andrew mendorongnya sampai jatuh dan kakinya lecet. Aku marah. Maka aku memukul hidung Andrew… hanya sekali. Setelah itu, aku langsung pergi sambil membawa Anelis. Aku tidak pernah memelintir tangannya!”
Andrew spontan bangkit dari kursinya, wajahnya merah padam.
“Tidak! Itu bohong! Kau pembohong, Julian!”
Melihat ketegangan makin meningkat, kepala sekolah cepat melerai.
“Cukup! Jangan berteriak. Kita tidak akan mendapatkan kebenaran dengan saling beradu mulut.”
Lalu, ia menoleh pada Anelis yang duduk diam.
“Anelis, apakah benar yang dikatakan kakakmu?”
Anelis menatap Nateya sebentar, lalu dengan bahasa isyarat tangannya ia menunjukkan lutut dan betisnya yang masih ada bekas lecet. Semua mata tertuju pada luka itu.
Kepala sekolah menghela napas.
“Jadi… jelas sudah. Ada kesalahan di kedua pihak. Namun, saya belum bisa memutuskan hukuman apa yang pantas diberikan.”
Sebelum Eleanor bisa menyela lagi, Nateya angkat bicara dengan tenang.
“Kalau begitu, mari kita hadirkan saksi. Beberapa teman sekelas, mereka pasti bisa memberi keterangan jujur. Bukankah itu lebih adil?”
Kepala sekolah terdiam sejenak, sebelum mengangguk mantap.
“Benar juga. Kita akan mendengarkan saksi mata. Mevrouw Maria, Meester Van Dijk, segera panggilkan masing-masing perwakilan murid dari kelas kalian untuk masuk ke ruangan ini. Biarkan mereka bicara.”
Kedua wali kelas itu berdiri dan keluar.
Sepanjang menunggu murid yang akan menjadi saksi, suasana ruangan begitu tegang. Julian tampak sangat gelisah. Kedua kakinya terus menggoyang tanpa henti di bawah kursi. Jemarinya meremas ujung celana seragam yang ia pakai.
Sesekali, Julian melirik pada Anelis, lalu kembali menunduk dengan wajah pucat pasi.
Andrew pun tak kalah cemas. Meski hidungnya terbalut perban besar, matanya melirik kanan-kiri, seakan menunggu jalan keluar dari kebohongan yang sudah ia ucapkan. Keringat dingin mulai merembes di pelipisnya, dan tangannya yang tergendong kain putih beberapa kali gemetar kecil.
Melihat kecemasan Julian, Nateya segera meraih punggung putranya, membelai lembut sambil berbisik pelan.
“Tenanglah, Mama ada di sini. Jangan takut. Kebenaran sebentar lagi akan terungkap.”
Namun, Eleanor langsung menyambar dengan suara tinggi kepada kepala sekolah.
“Tuan Hoofd, menurut saya ini semua hanya membuang waktu! Saksi tidak perlu dipanggil. Bukti sudah jelas di depan mata: Andrew terluka. Jadi mau apa lagi? Hukum saja Julian sekarang!”
Nateya hanya menghela napas dan bergumam cukup keras, supaya didengar semua orang.
“Orang yang paling menolak kehadiran saksi biasanya adalah orang yang takut kebohongannya terbongkar.”
Wajah Eleanor seketika memerah padam. Ia hendak melontarkan makian, tetapi suara pintu berderit menyelamatkan situasi. Kedua wali kelas kembali masuk, masing-masing membawa dua orang murid.
Kepala sekolah berdiri sedikit dari kursinya, mempersilakan mereka maju.
“Mari kita dengarkan keterangan dari saksi-saksi. Anak-anak, katakan dengan jujur apa yang kalian lihat. Tidak perlu takut, karena kejujuran selalu dihargai di sekolah ini.”
Murid pertama, seorang anak lelaki berkacamata, berkata dengan kepala tertunduk.
“Saya melihat Andrew mendorong Anelis kemarin di halaman. Anelis jatuh sampai lututnya berdarah. Lalu, Julian marah dan memukul hidung Andrew. Itu saja.”
Murid kedua, seorang anak perempuan yang duduk sebangku dengan Anelis, ikut mengangguk mantap.
“Betul, saya juga lihat. Andrew yang mulai duluan. Tapi soal tangan Andrew… saya tidak tahu apa yang terjadi.”
Ruangan hening. Semua orang menunggu, tapi tidak ada dari mereka yang berani mengakui soal tangan Andrew.