Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.
Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.
Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.
Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.
Genre : Romansa Gelap
Written by : Dana Brekker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 34
Semua kehangatan akan berubah dingin bilamana dibiarkan begitu saja. Bahkan jika kita terus membuatnya tetap hangat, kadang kala usaha itu justru membuatnya semakin cepat berubah dingin. Dia menyadari betul penyakit ini bukanlah penyakit klise yang mereka sebut ‘patah hati’. Tidak ada pertengkaran, tidak ada pengkhianatan, bahkan tidak ada kata putus yang diucapkan dengan dramatis. Bisa dibilang pemuda itu telah jatuh sakit sebelum memulai.
Meskipun ini penyakit baru baginya, ia sudah terlalu pandai tuk mengobati rasa sakit. Dia tahu ada jarak yang harus diciptakan. Bukan karena tiada rasa cinta, lantaran karena rasa itu terlalu dalam. Kerap kali, orang-orang mengira hubungan mati karena kurangnya perhatian, mereka lupa bahwa cinta yang berlebihan pun bisa sama mematikannya. Dia sadar betul bahwa semakin lama dirinya bertahan, semakin seseorang yang ia sayangi itu akan terseret dalam ketakutannya, kecemasannya, pikirannya yang berkelok-kelok dan tak pernah menetap.
Ada fakta pahit yang jarang diakui orang-orang. Bahwa mencintai seseorang tidak selalu berarti menyentuhnya setiap hari. Bahwa menjaga tidak selalu berarti mendekap. Bahwa melindungi, dalam beberapa kasus, berarti melepaskan.
Masalahnya nih cowok selalu saja mengingat senyuman gadis itu. Senyuman yang membuat beban hidupnya terasa ringan. Aneh, bagaimana sebuah lengkung bibir bisa menjadi obat paling ampuh sekaligus sumber rasa sakit paling mematikan. Sungguh ia tahu betul, senyuman itu bukan miliknya untuk dipeluk. Ia hanya diperbolehkan mengingat, tanpa benar-benar memiliki.
Konsep “bukan jodoh” yang sering dijadikan alasan simplistis sebagai gagasan bahwa cinta akan menang dengan sendirinya atau mitos bahwa dua orang yang saling peduli pasti bisa bertahan. Kenyataannya, manusia tidak sesederhana itu. Ada yang pergi bukan karena tidak ingin tinggal, melainkan karena takut keberadaannya justru merusak landasan yang sedang dibangun bersama. Ada cinta yang lahir dengan kehangatan, namun tumbuh dengan cara yang salah.
Darren Myles Aksantara mencoba segala cara untuk meredakan gejolak itu. Selain dengan alkohol, selain dengan emosi, selain dengan tangisan kala dirinya merasa hidup seperti berada di ujung tanduk. Bulan depan memang terasa begitu.
Alhasil ia memilih diam, meski diam itu sering kali terasa seperti menelan batu bara. Bukan teman, bukan keluarga, bukan juga saran-saran manis dari internet. Hanya ada satu hal yang mampu menenangkan bencana dalam dirinya, yakni senyuman orang itu. Harum tubuhnya, indah parasnya, jujur hatinya, semuanya. Sialan!
Bola-bola itu kembali disusun. Bentuk segitiga kecil yang selama tujuh putaran terakhir hanya memberinya jawaban yang sama.
Darren meraih stik biliarnya, menunduk sedikit, menarik napas panjang. Dia usahakan pikirannya tidak melambung tinggi lagi, walaupun hasil akhirnya pasti akan kembali melayang pada hal-hal yang berusaha ia abaikan.
Apakah dunia selalu se-bajingan ini? Darren bahkan tidak lagi sanggup untuk sekedar mengumpat, memaki, apalagi kepada dunia yang jelas-jelas ibunya, Althea dan sekarang Viena, pernah berdiri bersamanya di tempat yang sama. Meski keberadaan Viena masih terbilang begitu singkat, entah kenapa di balik bola mata nan indah miliknya, Darren bisa melihat sesuatu yang ia yakini sebagai ‘masa depan’.
Dia menarik stik ke belakang, lalu pukulan pertama pun melesat.
Bola putih memecah segitiga dengan suara yang hampir menyerupai patahnya sesuatu di dalam dirinya.
Satu bola meluncur cepat ke sudut kanan bawah.
Nomor tiga.
Ganjil.
“Tentu saja,” ia mendecak, miris. “Angka setan.”
Lalu berdiri tegak, menggosok keningnya. Rasanya konyol, memikirkan hal kekanak-kanakan semacam ini sebagai tanda keberuntungan, padahal ia benci segala bentuk spekulasi, ramalan, tebakan, dan segala takhayul murahan yang biasa ia cibir. Tapi di meja biliar ini, dia membiarkan dirinya tenggelam sebentar, setidaknya cukup untuk memberi otaknya ruang bernafas dari masalah yang sebenarnya. Pemuda itu bertaruh pada dirinya sendiri jika bola genap masuk lebih banyak dari pada bola bernomor ganjil, berarti nasibnya akan mujur. Namun jika bola ganjil yang lebih banyak masuk, maka dia akan bernasib sial.
Sudah putaran ke sembilan.
Darren membidik lagi. Bahunya naik turun bersama berat hembusan nafas. Sesaat sebelum memukul, ia sempat berpikir, Kalau yang masuk bola genap, aku bakalan bisa mempertahankan Viena.
Tapi ia lekas-lekas menepis pikiran itu, kesal pada dirinya sendiri karena menggantungkan sesuatu yang begitu nyata pada hal seabsurd ini.
Darren menembak.
Tok! Bola memantul, meluncur masuk sempurna ke lubang tengah.
Bola bernomor tujuh.
Ganjil lagi.
Darren mengerjap kali ini. “Sembilan kali berturut-turut, really?”
Suasana kafe malam itu padahal terbilang cukup ramai. Darren sering berkunjung, menyewa sebuah meja biliar yang terletak di lantai dua kafe. Lantaran meja favoritnya terletak di paling ujung ruangan dengan tiga anak tangga kecil yang membuat wilayah kekuasaannya seperti dikucilkan oleh pengunjung lainnya, namun sempurna bagi pemuda beralis tebal itu, orang-orang tidak akan bisa mendengar ucapannya di setiap bola ganjil yang masuk.
“Apa pun yang aku sentuh, hasilnya tetap sama. Ganjil. Sial. Rusak.”
“Ada satu hal yang nggak bakal rusak,” suara seorang wanita menimpali dari belakang. “Ibumu pasti bangga sama caramu mengumpat barusan.”
Tersinggunglah pemuda itu setelah ibunya dibawa-bawa. Namun apa boleh buat, wanita yang datang seketika itu juga mengurungkan niatnya untuk berdebat. Malam ini sudah cukup berat baginya.
Nadea Prameswari Aksantara berdiri dua langkah di belakangnya. Wanita berambut bob itu mengenakan rok hitam ketat, kemeja satin putih yang mungkin sengaja dibuka satu kancing lebih dari seharusnya, dan anting panjang yang berayun setiap kali dia menggeser rambut. Tidak perlu cahaya merah muda di atap kafe untuk membuat perempuan itu nampak seksi dihadapan kaum Adam, kehadirannya saja sudah cukup membuat beberapa pengunjung terdiam kala memperhatikan lekuk tubuhnya.
“Apakah model Aksantara ini sedang memiliki banyak waktu luang sehingga dirinya rela mencurahkan sisa waktunya untuk menemui pemberontak sepertiku?”
“Model Aksantara?” ulang Nadea sambil mengangkat alis setelah tertawa singkat yang ketara sekali dibuat-buat, lalu sudut bibirnya menekuk sinis. “Lucu juga kamu menyebut aku begitu, kamu bahkan nggak mau dianggap bagian dari keluarga ini.”
Dia tidak menunggu Darren memberi jawaban. Kakak iparnya itu lantas mengambil stik biliar cadangan dari rak. Tanpa meminta izin, ia lewat di samping Darren dan berdiri di posisi tembaknya. Aroma parfum cedar wood tercium kala keduanya nyaris bersentuhan.
Tanpa menatap Darren, ia mencondongkan tubuhnya. Gerakannya presisi, seperti seseorang yang tahu betul bagaimana memanfaatkan lengkungan punggungnya untuk menarik perhatian siapa pun yang melirik. Tentu Darren tidak menunjukkan ekspresi apapun selain mencari cara untuk bisa pergi secepat mungkin. Dia lelah, terlalu lelah untuk menghadapi wanita dengan jutaan followers di sosial media. Di mana wanita itu berlenggak-lenggok seolah sedang menggali kuburannya sendiri.
Tok.
Bola hijau nomor enam meluncur dan masuk ke lubang kanan bawah.
Genap.
Nadea memutar stik di antara jari-jarinya. “Intinya aku cuma lagi bosan aja. Kalau kamu? Kayaknya kamu bukan tipe orang yang gampang bosan.”
Darren tidak langsung menanggapi. Hanya memandanginya dengan tatapan datar yang tidak memberi siapa pun ruang untuk membaca isi kepalanya. “Apa pun alasanmu datang, aku rasa itu hanya akan membuang-buang waktumu.”
Nadea berbalik perlahan, memperlihatkan bagaimana sorot matanya menjelaskan betapa menyedihkannya Darren dihadapannya. “Menarik. Kamu selalu memilih jadi batu kalau dia yang bikin kamu begini. Aku tahu kamu punya masalah lain selain di keluarga kita. Mungkin kekasihmu?” Ia menyandarkan stik pada bahu, menatap Darren dengan senyuman yang anehnya menyebalkan. “Tentang pertemuan kita waktu itu… aku serius. Kalau aku bilang mau bantu, berarti aku benar-benar bantu. Kamu juga nggak akan bisa nolak tawaran seperti itu.”
“Bukankah aku sudah bilang kalau ini bukan urusanmu?”
“Tentu saja ini urusanku,” balas Nadea dengan santainya.
Wanita itu menurunkan stik, lalu bersandar pada meja biliar, menatap Darren dengan sorot mata setengah kasihan, setengah kesal. “Rituale del Sangue itu hukuman bobrok. Sudah busuk dari akarnya. Semua orang tahu itu, tapi pura-pura buta.”
Alih-alih memberi tanggapan, Darren justru pergi duduk, masih di samping meja biliar, dan masih bisa mendengar jelas suara wanita itu. Adapun Nadea menunggu tanggapan dari pemuda yang kini menatapnya tanpa ekspresi.
Tangan kanannya terulur, seperti mempersilahkan. “Teruskan.”
“Darren Myles.” Nadea menyilangkan tangan. “Aku datang karena kamu terlalu keras kepala untuk menyadari kalau hukuman itu bisa dibatalkan.”
“Kamu juga tahu aturannya. Rituale del Sangue itu hanya berlaku kalau tidak ada anggota keluarga berkedudukan penting yang membela pelaku. Lalu di keluarga Aksantara… kedudukan adalah segalanya. Gelar, jabatan, uang, pengaruh sosial, itu semua bisa membelokkan hukum. Bahkan hukum yang dibangun dengan darah,” imbuhnya.
Darren masih menatapnya lama. “Kamu pikir seseorang akan melakukan itu untuk aku?”
“Seseorang bisa,” Nadea menjawab tegas. “Kalau dia mau.”