Setelah orang tuanya bunuh diri akibat penipuan kejam Agate, pemimpin mafia, hidup siswi SMA dan atlet kendo, Akari Otsuki, hancur. Merasa keadilan tak mungkin, Akari bersumpah membalas dendam. Ia mengambil Katana ayahnya dan meninggalkan shinai-nya. Akari mulai memburu setiap mafia dan yakuza di kota, mengupas jaringan kejahatan selapis demi selapis, demi menemukan Agate. Dendam ini adalah bunga Higanbana yang mematikan, menariknya menjauh dari dirinya yang dulu dan menuju kehancuran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Forgive Me
Setelah berlari menjauh dalam kekecewaan dan air mata, Akari akhirnya melambat. Rasa kecewanya terhadap kebohongan orang tuanya mulai digantikan oleh rasa bersalah yang menusuk. Ia ingat semua pengorbanan dan cinta mereka. Ia ingat betapa takutnya mereka.
Beberapa saat kemudian, Akari memutuskan untuk kembali. Ia harus meminta maaf. Ia harus memeluk mereka dan mengatakan ia mengerti.
Akari kembali dengan langkah tergesa-gesa, tetapi saat ia sampai di tikungan jalan menuju restoran, pemandangan di depannya membuatnya tercekat.
Restoran keluarganya dikerumuni oleh banyak mobil polisi dan warga yang berbisik-bisik, wajah mereka dipenuhi rasa ingin tahu dan horor. Lampu rotator biru dan merah berkedip-kedip, menerangi malam. Akari juga melihat Ambulans yang diparkir di tepi jalan.
Jantung Akari serasa berhenti berdetak. Firasat terburuk menyergapnya.
Akari berlari menuju kesana, menerobos kerumunan warga, memanggil nama Ayah dan Ibunya.
"Minggir! Itu restoran orang tuaku! Ayah! Ibu!" teriaknya panik.
Ia mencoba menerobos barisan polisi dengan kekuatan seorang atlet kendo.
"Maaf, Nak, Anda tidak boleh masuk!" cegah seorang polisi berseragam yang sigap menahan tubuh kecil Akari.
Akari melawan, memohon, matanya mencari kedua orang tuanya. Hingga pandangannya tertuju ke dalam restoran yang kini menjadi tempat kejadian perkara.
Di tengah puing-puing meja dan kursi yang berantakan, Akari melihat dua sosok terbaring di lantai. Kedua sosok itu sudah tidak bernyawa dan ditutup dengan kain putih bersih yang kini ternoda merah. Salah satu kain itu sedikit tersingkap, dan Akari melihat sedikit wajah pucat Ibunya.
Kekuatan Akari sirna. Lututnya lemas, dan ia tersungkur ke tanah. Ia tidak lagi peduli dengan polisi, warga, atau dunia.
Akari menangis sejadi-jadinya. Tangisan yang berasal dari kedalaman jiwa, tangisan yang memilukan, dipenuhi rasa bersalah, penyesalan, dan rasa sakit yang tak terlukiskan. Ia telah meninggalkan mereka, dan kini, mereka pergi.
Di antara isak tangisnya, ia mendengar gumaman lirih dari seorang polisi tentang "bunuh diri" dan "organ yang hilang."
Pada saat itu, di tengah kehancuran, janji cinta terakhir orang tuanya dan kebohongan kejam Haruna menyatu. Akari tahu ini bukan kecelakaan.
.
.
.
Tangisan pilu Akari berubah menjadi amukan. Saat polisi menyingkirkan jasad orang tuanya, Akari berjuang mati-matian, ingin mendekati mereka. Ia meraung, menendang, dan memukul, menolak menerima kenyataan.
"AYAH! IBU! TIDAK! AKARI MINTA MAAF! AKARI KEMBALI!" teriaknya histeris.
Setelah ditahan oleh beberapa petugas, Akari akhirnya diizinkan untuk ikut masuk ke dalam ambulans yang membawa jasad kedua orang tuanya. Di dalam kendaraan yang sunyi itu, Akari duduk di samping tandu yang tertutup kain, menangis sampai gemetar, tubuhnya terguncang hebat.
Seorang perawat yang berhati lembut berusaha menenangkannya, memberikan Akari air dan memegang tangannya, tetapi sia-sia. Tangisan Akari adalah rilis dari semua rasa sakit dan penyesalan yang ia tahan.
Setibanya di rumah sakit, setelah pemeriksaan selesai, Akari dibawa ke ruang tunggu. Ia duduk sendirian di kursi dingin, menundukkan kepala dengan lemas. Ia menolak untuk berbicara, tatapannya kosong. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya kejam.
Dalam keheningan rumah sakit, ingatan menyerbu benaknya
Tawa Ayah saat ia menceritakan lelucon kendo.
Kehangatan Pelukan Ibu setelah ia membersihkan meja yang dicoret.
Janji manis mereka tentang tabungan universitas.
Senyum palsu yang mereka berikan saat ia pulang dari restoran.
Kebohongan terakhir yang mereka utarakan demi melindunginya.
Semua kebersamaan bersama Ayah dan Ibunya kini hanya kenangan—kenangan indah yang kini terasa seperti racun karena dibungkus oleh fakta bahwa mereka mati karena Akari, karena utang yang mereka ambil demi kebahagiaannya.
Kekecewaan Akari telah menguap, digantikan oleh api murni dendam. Ia tidak akan membiarkan kematian orang tuanya menjadi statistik pembunuh berantai. Ia tahu dalangnya.
Akari mengangkat kepalanya yang basah oleh air mata. Matanya yang merah gelap kini bersinar dengan tekad yang dingin dan mematikan.
.
.
.
.
Di ruang tunggu rumah sakit yang sunyi, Akari masih membeku, meratapi hilangnya segalanya. Telinganya yang tajam, dilatih oleh disiplin kendo, menangkap bisikan lirih dari dua perawat di kejauhan.
"Ya Tuhan, aku tidak pernah melihat yang seperti itu... mayatnya mengerikan. Apalagi ada bekas sayatan yang aneh, dan organnya hilang..."
Bisikan itu, yang seharusnya membuatnya pingsan, justru menghantam Akari seperti besi dingin. Ia mengerti sekarang: kematian mereka jauh lebih brutal daripada sekadar bunuh diri biasa. Itu adalah kejahatan keji yang diatur oleh Agate.
Akari sudah lelah menangis. Tidak ada air mata lagi yang tersisa. Ia bangkit dari kursi, tubuhnya terasa berat, dan berjalan keluar dari rumah sakit.
Ia berjalan di jalanan sepi kota yang kini terasa asing dan dingin. Setiap langkah membawanya menjauh dari harapan dan semakin dekat pada takdir.
Ia akhirnya tiba di rumahnya. Rumah kecil yang seharusnya menjadi surganya, yang seharusnya disambut tawa dan candaan Ayah dan Ibunya, kini terasa sunyi dan hampa. Bau makanan favorit mereka tidak ada, dan cahaya hangat di ruang tamu telah padam.
Akari membuka pintu, melangkah masuk ke dalam kegelapan. Ia menyalakan lampu, dan cahaya itu hanya menyorot kekosongan.
Ia duduk di ruang tamu dengan lemas, memandang sekeliling ruangan yang seharusnya hangat. Ruangan itu sekarang menjadi altar kesedihan, setiap perabotan menjadi pengingat yang menyakitkan: sofa tempat mereka menonton TV, meja makan tempat tawa mereka berderai.
Namun, di tengah kesunyian dan kehampaan itu, mata Akari tertuju pada satu benda yang tersisa dari masa lalu mereka, sebuah benda yang menyimpan janji kekuatan dan pembalasan.
.
.
Akari duduk di lantai ruang tamu yang dingin. Pandangannya terpaku pada Katana tua milik ayahnya, yang masih terpajang di dinding, sebuah bilah pusaka yang selama ini menjadi simbol kehormatan dan kehangatan.
Dalam keheningan itu, Akari bergumam, suaranya kering dan dingin, jauh dari tangisan pilu yang ia tunjukkan di rumah sakit.
"Kuliah..."
Ia memejamkan mata.
"Apa gunanya? Uang itu... uang itu dari Haruna. Dari orang brengsek itu, Agate. Aku pergi ke sana untuk kebahagiaan Ayah dan Ibu... tapi semua itu hanya kebohongan yang membunuh mereka."
Pikiran itu—bahwa ia akan melanjutkan hidup dengan uang yang berlumuran darah orang tuanya—terasa menjijikkan. Masa depannya, impian yang begitu mahal bagi orang tuanya, kini terasa hampa dan dikutuk.
Akari sudah sangat jatuh. Tubuhnya lelah, jiwanya hancur, dan pikirannya dipenuhi dengan kengerian yang ia lihat di restoran. Ia tidak punya energi lagi untuk membenci, menangis, atau bahkan bergerak.
Kehilangan dan keputusasaan yang luar biasa itu akhirnya mengambil alih. Akari merosot di lantai yang dingin, di tengah ruangan yang sunyi.
Hingga akhirnya, ia tertidur—tidur yang dipenuhi mimpi buruk dan gumaman dendam yang dingin—di lantai ruang tamu, di tempat di mana tawa orang tuanya pernah berderai.