Saat Shima lyra senja seorang dokter berbakat di rumah sakit ternama, menemukan suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, dunianya hancur seketika.
Pengkhianatan itu tidak hanya merenggut pernikahannya, tapi juga rumah, nama baik, dan tempat untuk pulang.
Di titik terendah hidupnya, ia menerima tawaran tak masuk akal datang dari Arru Vance CEO miliarder dingin dengan aturan yang tidak bisa dilanggar. Pernikahan kontrak, tanpa cinta, tanpa perasaan. Hanya ada aturan.
Namun, semakin dekat ia dengan Arru, semakin ia sadar bahwa sisi dingin pria itu menyembunyikan rahasia berbahaya dan hati yang mampu merasakan semua yang selama ini ia rindukan.
Ketika pengkhianatan masa lalu kembali muncul dan skandal mengancam segalanya, Shima harus memilih: mengikuti aturan atau mempertaruhkan segalanya demi cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziafan01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KAU WILAYAH DAN MILIKKU
Dan malam ini, ia memilih berdiri di sisinya… tanpa bertanya apa pun.
Lorong lantai eksekutif itu lengang ketika Arru melangkah masuk ke ruangan Shima. Pintu tertutup di belakang mereka, meninggalkan dunia luar termasuk Arya di balik dinding kaca yang kini terasa seperti batas tak kasatmata.
Shima berdiri di dekat meja kerjanya. Wajahnya tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menahan tangis.
Arru tidak langsung bicara. Ia mendekat, pandangannya tajam namun tertahan, seolah sedang menimbang emosi Shima lebih dulu daripada egonya sendiri.
“Kau baik-baik saja?”
Suaranya rendah. Bukan perintah. Bukan pertanyaan yang menuntut jawaban panjang.
Shima mengangguk pelan.
“Aku bisa menanganinya.”
Arru menatapnya lama. Terlalu lama untuk sekadar memastikan.
“Aku tahu,” katanya akhirnya. “Tapi itu tidak berarti kau harus selalu sendirian.”
Kalimat itu sederhana, tapi membuat dada Shima menghangat dan perih bersamaan. Ia menoleh, menatap Arru lekat-lekat, seakan ingin memastikan satu hal.
“Kau… melihatnya?” tanyanya lirih.
Arru tidak menyangkal.
“Semua.”
Tak ada kemarahan di suaranya. Justru itu yang membuatnya terasa lebih kuat.
Shima menarik napas panjang, menegakkan bahunya.
“Aku tidak menyesal.”
Arru mendekat satu langkah.
“Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun menginjak wilayah yang sudah menjadi milikku.”
Hening jatuh di antara mereka. Bukan hening yang canggung, melainkan hening yang berisi keputusan.
Arru mengulurkan tangan.
“Pulang.”
Shima menatap tangan itu sesaat, lalu menyambutnya.
Mereka keluar ruangan bersama.
Langkah mereka seirama. Tangan Arru menggenggam tangan Shima dengan pasti, lalu tanpa ragu bergeser ke pinggangnya. Gerakan kecil, posesif, tapi penuh perlindungan.
Beberapa staf menunduk sopan. Beberapa pura-pura sibuk. Semua melihat, tak satu pun berani berkomentar.
Di ujung lorong, Arya berdiri membeku. Ia menunggu hingga mereka menghilang di tikungan lift. Baru setelah itu, ia melangkah cepat ke depan pintu ruangan Shima.
Dengan rahang mengeras, Arya menempelkan ID card-nya ke sensor.
Bip.
Lampu merah.
Ia mengernyit, mencoba lagi.
Bip.
Tetap merah.
Arya menekan lebih keras, seolah masalahnya ada pada tekanan tangannya.
Access denied.
Dadanya naik turun. Untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, ia merasa… terbuang. Bukan ditolak dengan kata-kata, melainkan dihapus dari sistem.
Pintu itu berdiri kokoh. Diam. Tidak peduli pada masa lalu, tidak peduli pada kenangan, tidak peduli pada penyesalan.
Di dalam sistem rumah sakit dan dalam hidup Shima nama Arya sudah tidak punya akses apa pun.
Dan di tempat lain, tanpa Arya sadari, Shima bersandar di dada Arru di dalam lift yang turun perlahan. Untuk pertama kalinya hari itu, napasnya benar-benar bisa jatuh dengan utuh.
Laura menemukannya di sana.
Berdiri kaku di depan pintu ruang kerja Shima pintu yang kini tampak sama seperti biasa, bersih, tenang, tak menunjukkan apa pun tentang perubahan sistem di baliknya. Arya masih memegang ID card-nya, jemarinya menegang seolah baru saja gagal melakukan sesuatu yang tak ingin ia akui.
“Arya?”
Suara Laura terdengar datar, tapi langkahnya berhenti tepat satu meter dari pria itu. Ia menatap wajah Arya yang tegang, rahang mengeras, napasnya tidak serapi biasanya.
“Kau ngapain di sini?” lanjutnya, setengah heran.
Arya menurunkan tangannya perlahan, menyelipkan ID card ke saku jas. Ia berbalik, tatapannya dingin terlalu dingin untuk seseorang yang katanya tidak peduli.
“Aku cuma mau bicara,” jawabnya singkat.
Laura menaikkan alis.
“Bicara?”
Pandangan Laura bergeser ke pintu. “Dengan Shima?”
Arya mendengus pelan, senyum tipis yang lebih mirip ejekan pada dirinya sendiri.
“Sepertinya itu sekarang bukan lagi sesuatu yang bisa kulakukan dengan mudah.”
Nada itu membuat Laura sedikit terdiam. Ada sesuatu yang ganjil. Arya biasanya tenang, terkendali, selalu tahu harus bersikap seperti apa di hadapan siapa pun. Tapi kali ini… ada retakan kecil yang tidak bisa ia sembunyikan.
“Kau kelihatan kesal,” kata Laura hati-hati.
“Padahal kau bilang sudah selesai dengan semua urusan kalian.”
Arya meliriknya cepat.
“Aku tidak kesal.”
Laura menyilangkan tangan.
“Orang yang tidak kesal tidak berdiri lama di depan pintu orang lain.”
Kalimat itu membuat Arya terdiam sesaat. Tatapannya kembali ke pintu ruangan Shima pintu yang menolaknya tanpa suara.
“Ada yang berubah,” katanya akhirnya.
“Dan aku baru sadar… aku tidak lagi termasuk di dalamnya.”
Laura mengernyit.
“Maksudmu?”
Arya menggeleng, seolah enggan menjelaskan terlalu jauh.
“Lupakan.”
Laura semakin bingung. Ia menatap Arya lekat-lekat, mencoba membaca sesuatu di wajah pria itu amarah? cemburu? atau hanya ego yang terluka?
“Ini tentang Arru Vance?” tanyanya pelan, hampir berbisik.
Nama itu membuat sorot mata Arya mengeras seketika.
Laura menangkap reaksinya, tapi justru itulah yang membuatnya tidak puas.
“Karena dari yang kulihat,” lanjut Laura dengan nada tetap profesional, “Shima kelihatan… baik-baik saja.”
Arya tertawa singkat, pahit.
“Itu yang paling menyebalkan.”
Laura terdiam. Ia tidak mengerti sepenuhnya, tapi satu hal jelas. Shima tidak runtuh seperti yang mereka kira. Dan Arya tanpa mau mengaku baru saja dihantam kenyataan itu.
Di dalam kepala Laura, satu pertanyaan mulai tumbuh pelan. Jika Arya saja terlihat goyah… lalu apa yang sebenarnya sedang dimainkan Shima dan Arru.
...****************...
Malam itu Mansion Vance terasa terlalu sunyi untuk dua orang yang baru saja menikah. Arru duduk di sisi kanan sofa, tubuhnya tegak, satu tangan menopang tablet, tangan lain sesekali mengusap layar. Shima duduk tak jauh darinya, bersila rapi, rambutnya tergerai ke bahu, fokus pada berkas medis di tabletnya. Sesekali Shima menghela napas, jelas tidak puas dengan apa yang ia baca.
“Kalau tekanan arteri naik mendadak saat bypass, kemungkinan gagal jantungnya berapa persen, ya?”
Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Shima, lirih, seperti kebiasaan saat ia berpikir keras. Beberapa detik tak ada jawaban. Shima tetap menatap layar.
“Di atas tiga puluh persen,” suara Arru memotong tenang, “Terutama kalau ventrikel kiri sudah melemah sejak awal.”
Jari Shima berhenti bergerak.
Ia mengerjap, lalu menoleh pelan. Arru masih menatap tabletnya, seolah baru saja menjawab pertanyaan sepele. Shima menegakkan tubuh, menatapnya lebih lama.
“Kamu... Tahu dari mana?” tanya Shima, nada suaranya terjaga, tapi jelas ada keterkejutan.
Arru akhirnya menoleh. Tatapan mereka bertemu dingin dari Arru, penuh tanda tanya dari Shima.
“Kamu menyebut bypass dan tekanan arteri,” jawab Arru singkat. “Risikonya memang di situ.”
Shima menggeser tubuhnya sedikit lebih dekat tanpa sadar. Tablet di tangannya diturunkan.
“Itu bukan jawaban awam,” katanya. “Bahkan beberapa dokter umum pun sering keliru.”
Arru menghela napas pelan. Ia meletakkan tabletnya di meja, lalu bersandar, menatap langit-langit sebentar sebelum kembali menatap Shima.
“Aku kuliah kedokteran dulu.”
Shima terdiam. Wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan yang jujur.
“Kau bercanda.”
Arru menggeleng. “Tidak.”
“Berapa lama?” desak Shima, alisnya berkerut.
“Hampir selesai.”
Shima membisu. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena perasaan, tapi karena kenyataan itu terasa… dekat. Terlalu dekat.
bikin mereka yg menyakiti melongo.
ketawa aja kalian sekarang sepuasnya, sebelum ketawa itu hilang dr mulut kalian.
OOO tentu tidak... dia bakal semakin kaya.
mending bergerak, selidiki Arya sama Laura.