Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Cucu?
Reghan mendorong perlahan kursi rodanya menyusuri lorong panjang menuju taman belakang. Langit pagi bewarna cerah, dan suara burung-burung kecil terdengar dari pepohonan. Di antara semilir angin dan aroma mawar putih yang samar, dia melihat sosok Arum duduk di bangku taman, mengenakan gaun sederhana berwarna krem, rambutnya diikat setengah, dan tatapan matanya kosong menatap kolam kecil.
Langkah roda berhenti beberapa meter di belakangnya. Reghan hanya diam beberapa saat, memperhatikan dari jauh. Ia bisa melihat semburat lelah di wajah wanita itu, tapi juga ketegaran yang entah bagaimana membuat dadanya terasa sesak.
“Kenapa tidak beristirahat?” suaranya terdengar berat, tapi lebih lembut dari biasanya.
Arum terkejut sedikit, lalu menoleh. “Aku tidak mengantuk, Tuan,” jawabnya pelan. “Lagipula udara pagi ini cukup menenangkan.”
Reghan menggulirkan rodanya mendekat, hingga kini jarak mereka hanya sebatas satu langkah. Dia menatap tangan Arum yang bertumpu di pangkuan, tampak gemetar ringan.
“Kau masih lemah,” katanya datar. “Dokter bilang kau butuh istirahat lebih lama.”
Arum tersenyum tipis, meskipun jelas senyum itu menutupi lelah. “Aku sudah terlalu banyak beristirahat, Tuan. Kalau terus berbaring, rasanya tubuh aku justru semakin sakit.”
Keduanya terdiam, hanya angin yang berembus di antara percakapan mereka. Reghan menatap lurus ke depan, ke arah kolam yang memantulkan sinar matahari terakhir hari itu.
“Arum,” katanya perlahan, “kalau suatu hari … kau diberi kesempatan memilih, apakah kau tetap akan menerima lamaran itu?”
Arum terdiam, pertanyaan itu menusuk lebih dalam dari yang ia kira. Ia menatap wajah Reghan, mencoba membaca maksud di balik tatapan dingin itu, tapi hanya menemukan kelelahan dan sedikit rasa bersalah.
“Aku tidak tahu, Tuan,” jawabnya jujur. “Tapi yang pasti, aku tidak pernah menyesali atas keputusanku sendiri. Sekalipun sakit, setidaknya aku tahu ... aku sudah membayar lunas segala hutang aku di dunia ini.”
Reghan menunduk, rahangnya mengeras. Ada sesuatu yang terasa berat di dadanya, antara kagum, sedih, dan marah pada dirinya sendiri.
“Kau bodoh,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar. “Terlalu bodoh untuk orang sekuat dirimu.”
Arum hanya tersenyum kecil, tidak menanggapi. Tapi matanya berair, bukan karena sedih melainkan karena untuk pertama kalinya, nada suara Reghan saat menyebutnya bodoh terdengar seperti perhatian, bukan penghinaan. Reghan menatap wajahnya dalam-dalam, lalu menatap langit yang perlahan gelap.
“Kalau saja semua ini bisa ku ubah,” katanya lirih. “Mungkin kita tidak akan bertemu dengan cara seperti ini.”
Arum menunduk. “Tapi mungkin juga ... kalau tidak seperti ini, aku takkan mengenal sisi lain dari Tuan.”
Oma datang mencari keduanya di taman, Oma Hartati menatap Arum penuh harap. Suasana taman itu hening, beberapa saat setelah Oma berada di depan keduanya. Reghan duduk di kursi rodanya, diam dengan wajah sulit ditebak, sementara Arum berdiri dengan kepala sedikit tertunduk.
“Arum,” suara Oma lembut tapi tegas. “Kau tahu, keluarga ini sudah menanggung banyak beban. Tapi satu hal yang paling diinginkan oleh keluarga Argantara sekarang ... adalah penerus. Aku hanya ingin tahu, apakah kau siap memberi cucu untuk keluarga ini? Meskipun saat ini aku tahu mungkin Reghan belum mampu ... tapi kita bisa carikan seorang dokter untuk itu.”
Arum menelan ludah, pertanyaan itu menusuk tajam, tapi bukan karena ia tak mengerti maknanya, melainkan karena Reghan ada di sana, mendengarnya. Perlahan ia menatap Oma dan menjawab tenang, “Saya tidak akan mengandung anak siapapun, Oma … tanpa persetujuan bapaknya.”
Kalimat itu membuat udara seketika berat. Reghan menunduk, dan jemarinya mengepal kuat di atas pahanya. Suara kursi roda berderit pelan ketika tubuhnya sedikit bergerak, mencoba menahan emosi yang merayap.
Oma Hartati tampak tertegun beberapa detik sebelum akhirnya berdiri terburu-buru. “Kalian berdua pikirkan baik-baik,” katanya singkat, lalu berjalan cepat keluar ruangan dengan wajah kaku.
Kini hanya ada keheningan antara mereka. Arum menatap lantai, sementara Reghan menatap lurus ke arahnya, rahangnya mengeras.
“Jadi,” ucap Reghan datar, suaranya rendah tapi bergetar, “kau menolak karena takut tak bisa memberiku anak?”
Arum mendongak perlahan. “Bukan karena itu, Tuan,” katanya pelan tapi tegas. “Aku tidak mau punya anak dari pria yang bahkan tidak mau menerimaku.”
Reghan terdiam sejenak, matanya menyipit. “Siapa yang bilang aku tidak mau menerimamu?” tanyanya cepat, nada suaranya meninggi sedikit, seperti tak bisa menahan diri.
Arum menatapnya lekat, ekspresinya getir. “Tuan sendiri,” balasnya cepat. “Tuan tidak senang dengan pernikahan ini. Lebih baik tidak ada anak sama sekali … kasihan kalau ada yang harus lahir dari dua orang yang bahkan tak saling menginginkan.”
Kata-kata itu menampar Reghan keras. Ia menunduk, lalu menatap kursi rodanya, seolah kursi itu adalah simbol kelemahan yang selama ini ia sembunyikan. Arum tidak tahu, bahwa tubuhnya kini sudah bisa bereaksi saat di dekat Arum. Tapi mendengar ucapan Arum barusan membuat dada Reghan terasa sesak.
Dalam hatinya, ia bergumam lirih, 'Kau tidak tahu, Arum ... yang tidak aku inginkan hanyalah rasa kasihanmu.'
Namun bibirnya tetap diam, hanya matanya yang perlahan menatap ke arah Arum, memantulkan rasa yang tak sempat diucapkan.