Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15: KEHANGATAN YANG TERLAMBAT**
# **
Nathan tidak beranjak dari sisi tempat tidur Alara sejak ia datang. Ia duduk di kursi yang ia tarik dari sudut ruangan, tubuhnya condong ke depan, mata tidak lepas dari wajah Alara yang pucat.
Setiap kali Alara menggigil, Nathan menarik selimut lebih tinggi. Setiap kali napas Alara terdengar berat, Nathan mendekat—seolah dengan mendekat ia bisa membantu. Setiap kali Alara merintih dalam tidurnya, sesuatu di dada Nathan tercekat.
Jam menunjuk pukul 9 malam. Bi Sari naik dengan nampan—bubur, teh hangat, obat.
"Tuan..." panggilnya pelan dari pintu. "Nona harus makan dan minum obat. Tapi dari tadi siang dia cuma makan tiga sendok. Nggak kuat, katanya."
Nathan mengangguk. "Terima kasih, Bi. Taruh di sini aja. Aku yang suapin."
Bi Sari menatap Nathan dengan tatapan terkejut—terkejut tapi... lega. Akhirnya. Akhirnya Tuan Nathan mulai peduli.
Setelah Bi Sari pergi, Nathan menatap nampan di meja nakas. Bubur yang masih sedikit mengepul. Sendok yang terasa asing di tangannya—karena kapan terakhir kali ia menyuapi seseorang?
Lima tahun lalu. Waktu Kiara sakit flu dan ia—
Nathan menggeleng cepat. Bukan waktunya untuk mengingat itu.
Ia menyentuh bahu Alara dengan lembut—sangat lembut, seolah takut wanita ini akan pecah jika terlalu keras.
"Alara," panggilnya pelan. "Bangun. Kamu harus makan."
Alara tidak bergerak. Napasnya tetap berat, tidak teratur.
"Alara," Nathan mencoba lagi, kali ini sedikit lebih keras. Tangannya mengusap lengan Alara. "Kumohon, bangun sebentar."
Perlahan, mata Alara terbuka—berat sekali, seperti ada beban di kelopak mata. Penglihatannya kabur. Butuh beberapa detik untuk fokus pada wajah Nathan yang begitu dekat.
"Nathan...?" Suaranya parau, serak, hampir tidak terdengar.
"Iya, aku di sini." Nathan tersenyum tipis—senyum yang tidak biasa di wajahnya. Senyum yang... lembut. "Kamu harus makan. Walau sedikit."
Alara menggeleng lemah. "Nggak... nggak bisa. Mual..."
"Coba dulu. Aku suapin. Perlahan."
Ada sesuatu di nada bicara Nathan—sesuatu yang... berbeda. Tidak dingin. Tidak datar. Tapi... peduli.
Alara menatapnya dengan mata sayu. *Ini mimpi kan? Pasti aku lagi mimpi karena demam tinggi.*
Tapi Nathan sudah menyendok bubur—sedikit saja, dingin-dinginkan dengan ditiup pelan—lalu mendekatkan sendok ke bibir Alara.
"Buka mulut," katanya lembut.
Alara membuka mulut perlahan. Bubur masuk—hangat, lembut di tenggorokan yang sakit. Ia mengunyah pelan, menelan dengan susah payah.
"Bagus," bisik Nathan. Ada sesuatu di matanya—kebanggaan kecil, seolah berhasil membuat Alara makan satu suap adalah pencapaian besar.
Suap kedua. Ketiga. Keempat.
Di suap kelima, Alara menggeleng. "Nggak... nggak sanggup lagi..."
"Satu lagi. Kumohon." Nathan menatapnya dengan tatapan memohon—tatapan yang tidak pernah Alara lihat sebelumnya.
Alara membuka mulut lagi—lebih karena terkejut dengan Nathan yang memohon daripada karena sanggup makan.
Suap terakhir masuk. Alara menelan, lalu batuk pelan—tenggorokan terlalu sakit.
Nathan cepat mengambil gelas teh, mendekatkan ke bibir Alara. "Minum. Pelan-pelan."
Alara minum sedikit—air hangat yang menenangkan tenggorokan. Tapi perutnya bergejolak. Mual menyerang.
"Aku... aku mau muntah..." bisik Alara panik.
Nathan cepat mengambil wadah dari kamar mandi, membantunya duduk sedikit. Alara muntah—sedikit, tapi menyakitkan. Tubuhnya bergetar hebat.
Nathan mengelus punggung Alara dengan lembut—gerakan canggung tapi tulus. "Nggak apa-apa. Keluarin aja. Nggak apa-apa..."
Setelah selesai, Alara merosot lagi ke bantal, napasnya tersengal. Air matanya jatuh—tidak tahan dengan rasa sakit dan malu.
"Maaf..." bisiknya. "Maaf aku... aku merepotkan..."
"Kau nggak merepotkan." Nathan menyeka sudut bibir Alara dengan tissue—gerakan yang sangat intim, sangat lembut. "Jangan minta maaf."
Ia mengambil obat, menuangkan air putih ke gelas. "Minum obat dulu. Ini penurun panas."
Alara menatap pil di tangan Nathan. "Nanti muntah lagi..."
"Nggak akan. Aku jaga. Kalau muntah, aku di sini." Nathan menatapnya dengan tatapan serius. "Aku nggak akan kemana-mana."
Sesuatu di dada Alara bergetar mendengar kata-kata itu. *Aku nggak akan kemana-mana.* Kata-kata yang selama ini ia ingin dengar.
Alara menelan obat dengan susah payah. Nathan membantu minum air, tangannya memegang gelas dengan stabil sementara tangan Alara gemetar.
Setelah selesai, Nathan membantu Alara berbaring lagi. Menarik selimut, memastikan Alara nyaman.
"Tidur," bisik Nathan. "Aku di sini."
Alara menatapnya dengan mata yang mulai berat. "Kamu... nggak pulang ke kamarmu?"
Nathan menggeleng. "Nggak. Aku di sini."
"Kenapa...?" Pertanyaan yang keluar tanpa filter—terlalu lelah untuk menyembunyikan rasa penasaran.
Nathan terdiam. Tatapannya bertemu dengan Alara—dan untuk pertama kalinya, Alara melihat sesuatu di mata Nathan. Rasa bersalah. Penyesalan. Dan... sesuatu yang lain. Sesuatu yang Nathan sendiri mungkin tidak mengerti.
"Karena..." Nathan berhenti, mencari kata yang tepat. "Karena aku... aku seharusnya tahu kau sakit. Aku seharusnya ada. Tapi aku nggak. Dan itu salahku."
Air mata Alara jatuh lagi—air mata yang hangat di pipi yang dingin.
"Kau nggak salah," bisiknya. "Ini... ini bukan pernikahan sungguhan. Kamu nggak punya kewajiban—"
"Stop." Nathan memotong, suaranya tegas tapi lembut. "Stop bilang ini bukan pernikahan sungguhan. Stop bilang aku nggak punya kewajiban. Kau... kau istriku. Walau kontrak, walau apa pun—kau tetap tanggung jawabku. Dan aku... aku gagal."
Suara Nathan bergetar di kata terakhir.
Alara menatapnya dengan pandangan tidak percaya. *Ini benar-benar Nathan? Nathan yang dingin, yang selalu menolak, yang selalu menjauh?*
"Maafkan aku," bisik Nathan. Kata-kata yang tidak pernah ia ucapkan sejak mereka menikah. "Maafkan aku karena... karena selama ini mengabaikanmu. Karena membuat kau merasa tidak berharga. Karena..."
Ia berhenti, rahangnya mengeras—mencoba menahan emosi yang hampir meledak.
"Karena membuat kau sakit sendirian dan bahkan takut untuk bilang ke aku."
Air mata Nathan—ya, air mata—berkumpul di sudut matanya. Ia mengusapnya cepat, tapi Alara sudah melihat.
Nathan menangis.
"Nathan..." Alara mengangkat tangan lemah, menyentuh tangan Nathan yang tergeletak di tepi tempat tidur. Sentuhan yang sangat ringan, tapi terasa seperti listrik bagi Nathan.
"Aku... aku nggak marah," bisik Alara. Suaranya bergetar. "Aku nggak pernah marah. Aku cuma... sedih. Sangat sedih."
Nathan membalikkan tangannya, menggenggam tangan Alara dengan lembut. Genggaman yang hangat—hangat yang tidak pernah Alara rasakan dari Nathan.
"Aku tahu," bisik Nathan. "Dan itu yang bikin aku makin brengsek. Karena kau nggak marah, kau nggak nuntut apa-apa, tapi aku tetap menyakitimu."
Mereka terdiam—hanya genggaman tangan yang menghubungkan. Hanya tatapan yang berbicara lebih dari kata-kata.
Dan di saat itulah—di tengah demam tinggi, tubuh yang sakit, dan hati yang lelah—Alara merasakan sesuatu.
Harapan.
Harapan kecil yang rapuh.
Harapan bahwa mungkin—hanya mungkin—Nathan mulai melihatnya. Mulai peduli.
*Jangan berharap terlalu banyak*, bisik akal sehatnya. *Ini mungkin hanya karena rasa bersalah. Besok dia akan kembali dingin.*
Tapi hatinya tidak mau dengar.
Hatinya yang bodoh ini ingin percaya—walau hanya sebentar—bahwa Nathan ada untuknya.
"Tidur," bisik Nathan lagi, ibu jarinya mengelus punggung tangan Alara. "Aku jaga."
Alara menutup mata—kali ini lebih tenang. Dengan genggaman tangan Nathan yang hangat, dengan suara napas Nathan yang terdengar dekat, ia perlahan tertidur.
---
**TENGAH MALAM**
Alara terbangun dengan tubuh menggigil hebat. Demamnya naik lagi—mungkin lebih tinggi dari tadi. Giginya gemeletuk, napasnya pendek-pendek.
"Nathan..." panggilnya lemah—lebih refleks daripada sadar.
Dan Nathan ada di sana. Ia tidak tidur—masih duduk di kursi itu, tubuh condong ke depan, mata terbuka walau terlihat lelah.
"Aku di sini," jawabnya cepat, berdiri mendekat. Menyentuh dahi Alara—makin panas.
"Dingin... aku dingin..." Alara bergumam tidak jelas, tubuhnya bergetar di bawah selimut tebal.
Nathan panik. Ia turun cepat ke dapur, mengambil baskom berisi air hangat dan handuk. Naik lagi dengan tergesa.
Ia duduk di tepi tempat tidur, membasahi handuk, lalu dengan gerakan sangat hati-hati—sangat lembut—ia mengompres dahi Alara.
"Sebentar ya... sebentar..." bisiknya—lebih untuk menenangkan dirinya sendiri.
Alara tidak sadar sepenuhnya—setengah tidur, setengah bangun. Tapi ia merasakan—merasakan kehangatan tangan Nathan, merasakan kelembutan sentuhan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Nathan mengompres dahi, leher, pergelangan tangan Alara dengan sabar. Mengulang terus sampai air di baskom jadi dingin. Lalu turun lagi untuk ganti air hangat.
Ia melakukan itu berkali-kali—sampai jam 3 dini hari, sampai mata Nathan terasa berat, sampai tubuhnya lelah.
Tapi ia tidak berhenti.
Karena setiap kali ia lihat Alara menggigil, setiap kali ia dengar rintihan kecil dari bibir Alara, sesuatu di dadanya sakit.
Sakit yang aneh—sakit yang tidak pernah ia rasakan sejak lima tahun lalu.
Sakit yang membuatnya sadar—ia peduli.
Ia peduli pada wanita ini.
Kapan mulainya? Ia tidak tahu. Mungkin dari pertama kali ia lihat Alara menangis di pemakaman ayahnya. Mungkin dari saat Alara masak untuk dia walau ia tahu akan ditolak. Mungkin dari saat Alara tetap bertahan walau terus disakiti.
Atau mungkin... dari awal. Dari pertama kali ia lihat Alara duduk di ruang kerjanya dengan mata penuh tekad walau tubuh gemetar ketakutan.
Nathan tidak tahu.
Yang ia tahu—malam ini, untuk pertama kalinya sejak lima tahun, ia tidak ingin ada di tempat lain. Tidak ingin bersama orang lain.
Ia ingin di sini. Di samping Alara.
---
**PAGI HARI, JAM 6**
Alara membuka mata perlahan. Demamnya turun sedikit—tubuh masih lemah tapi tidak separah semalam.
Hal pertama yang ia lihat adalah Nathan.
Nathan tertidur di kursi, kepala bertumpu di tepi tempat tidur, tangan masih menggenggam tangan Alara. Wajahnya lelah—bayangan hitam di bawah mata, jas sudah kusut, rambut berantakan.
Tapi ia ada di sana.
Semalam suntuk.
Air mata Alara jatuh—tapi kali ini bukan air mata sedih. Ini air mata yang campur aduk—sedih, lega, bahagia, takut, berharap.
Tangannya yang bebas bergerak pelan, menyentuh rambut Nathan—menyingkirkan helaian yang jatuh ke dahi.
Nathan terbangun dengan sentuhan itu. Matanya membuka—panik sebentar, mengira ada yang salah.
"Alara? Kau kenapa? Sakit lagi?" Ia langsung bangun, menyentuh dahi Alara—masih hangat tapi tidak sepanas semalam.
"Aku... aku baik," bisik Alara, suaranya masih serak tapi lebih stabil. "Kamu... kamu nggak tidur semalam?"
Nathan terdiam—seolah baru sadar ia tertidur di sini. "Aku... aku cuma jaga. Takut demammu naik lagi."
"Kamu nggak harus—"
"Aku mau." Nathan memotong tegas. Tatapannya bertemu dengan Alara—tatapan yang intens, yang membuat jantung Alara berdegup kencang walau tubuh masih lemah. "Aku mau ada di sini."
Kata-kata itu menggantung di udara—berat dengan makna yang tidak terucap.
Alara tersenyum tipis—senyum yang lemah tapi tulus. Senyum pertama sejak lama yang benar-benar sampai ke mata.
"Terima kasih," bisiknya.
Nathan menggenggam tangan Alara lebih erat. "Jangan bilang terima kasih. Ini... ini yang seharusnya aku lakukan dari awal."
Mereka terdiam—hanya tatapan dan genggaman tangan yang berbicara.
Dan di saat itu, Alara merasakan—walau hanya sebentar, walau rapuh, walau mungkin akan hilang besok—ia merasakan kehangatan.
Kehangatan yang selama ini ia rindukan.
Kehangatan dari Nathan yang akhirnya... akhirnya ada untuknya.
Dan harapan kecil di dadanya—harapan yang rapuh, yang berbahaya—mulai tumbuh.
*Mungkin... mungkin dia bisa mencintaiku.*
Tapi Alara tidak tahu—dan Nathan juga tidak tahu—bahwa kehangatan ini datang terlambat.
Karena di luar sana, Kiara sedang merencanakan sesuatu.
Sesuatu yang akan menghancurkan segalanya.
---
**[BERSAMBUNG KE BAB 16]**