Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jenderal Kim dan Pengawasan Berkedok
Kata-kata Jenderal Kim menggantung di udara, dingin dan absolut seperti bilah pedang yang terhunus. Janji itu bukan untuk melindungi Hwa-young, melainkan untuk merantainya. Yi Seon tidak mengatakan sepatah kata pun lagi. Ia hanya menatap Hwa-young dengan sorot mata yang rumit, sebuah campuran antara peringatan dan kepuasan yang aneh, sebelum berbalik dan berjalan pergi. Langkah kakinya yang mantap bergema di jalan setapak yang sunyi, meninggalkan Hwa-young berdua saja dengan bayangan barunya.
Bayangan itu bernama Jenderal Kim.
Hwa-young tidak bergerak. Ia bisa merasakan tatapan Jenderal Kim di punggungnya, tidak menusuk, tetapi konstan. Seperti beratnya gunung yang tiba-tiba tumbuh di belakangnya. Ia menarik napas perlahan, menenangkan jantungnya yang masih berdebar kencang karena konfrontasi dengan Yi Seon.
“Jadi, begini sekarang?” tanyanya pelan, tanpa menoleh.
“Saya hanya menjalankan perintah, Yang Mulia,” jawab Jenderal Kim. datar, tanpa emosi, persis seperti wajahnya.
“Perintah Pangeran Mahkota,” desis Hwa-young. “Bukan perintah Ibu Suri. Aku harusnya merasa tersanjung, bukan?”
Jenderal Kim tidak menjawab sarkasme itu. Keheningannya adalah jawaban yang lebih kuat.
Hwa-young akhirnya berbalik. Ia menatap pria itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Jenderal Kim tinggi, bahunya lebar karena latihan militer bertahun-tahun. Seragamnya tanpa cela, pedang panjang di sisinya tampak seperti bagian dari tubuhnya. Matanya tajam dan jernih, seperti mata elang yang mengamati mangsanya dari kejauhan. Tidak ada kekejaman di sana, hanya disiplin yang membatu. Ia adalah dinding. Dinding yang sempurna.
“Baiklah, Jenderal,” kata Hwa-young, nadanya berubah menjadi pasrah yang dibuat-buat. “Karena kau adalah ‘pengawas kesehatanku’ yang baru, kau pasti setuju kalau aku butuh istirahat. Aku akan kembali ke paviliunku.”
“Tentu saja, Yang Mulia,” katanya, sedikit menepi untuk memberinya jalan.
Hwa-young mulai berjalan. Jenderal Kim mengikutinya, menjaga jarak tepat lima langkah di belakang. Tidak terlalu dekat hingga terasa mengancam, tidak terlalu jauh hingga ia bisa melarikan diri. Jarak yang diperhitungkan dengan sempurna. Setiap langkah Hwa-young, diikuti oleh derap sepatu bot Jenderal Kim yang mantap di atas kerikil. Suara itu menjadi musik pengiring penjaranya.
Setibanya di Paviliun Bulan Baru, para dayang yang melihat Jenderal Kim di belakang Putri Mahkota tampak terkejut dan ketakutan. Mereka membungkuk lebih dalam dari biasanya. Hwa-young mengabaikan mereka dan langsung masuk ke kamarnya. Ia berharap pintunya akan ditutup dan ia akan ditinggal sendiri.
Harapannya sia-sia.
Jenderal Kim tidak masuk, tetapi ia juga tidak pergi. Ia berdiri tegap di luar pintu geser yang terbuka, posisinya strategis, memberinya pandangan penuh ke dalam ruangan tanpa harus melangkahi ambang pintu.
Hwa-young berhenti di tengah ruangan dan berbalik menatapnya. “Kau akan berdiri di situ sepanjang hari?”
“Tugas saya adalah memastikan Anda tidak lepas dari pandangan saya, Yang Mulia,” ulangnya, seolah itu adalah satu-satunya kalimat yang ia tahu.
“Bagaimana jika aku ingin berganti pakaian?” tantang Hwa-young.
“Saya akan membelakangi Anda.”
“Mandi?”
“Saya akan menunggu di luar pintu kamar mandi.”
“Tidur?”
“Saya akan berjaga di depan pintu kamar Anda.”
Hwa-young tertawa kecil, tawa yang kering dan tanpa humor. “Pangeran Mahkota benar-benar murah hati. Ia memberiku anjing penjaga paling setia di seluruh kekaisaran.”
Wajah Jenderal Kim tidak berubah, tetapi Hwa-young melihat sesuatu di matanya. Sebuah kilatan. Bukan amarah. Mungkin ... kejengkelan? Dinding itu tidak sepenuhnya tanpa celah.
“Silakan lanjutkan aktivitas Anda, Yang Mulia. Anggap saja saya tidak ada,” kata Jenderal Kim.
“Oh, itu tidak mungkin, Jenderal,” balas Hwa-young sambil berjalan ke meja rendah dan duduk. “Kehadiranmu sebesar gajah di dalam toko porselen.”
Ia menuangkan secangkir teh dingin untuk dirinya sendiri, tangannya sedikit gemetar. Ia harus tenang. Panik tidak akan membawanya ke mana-mana. Ini adalah situasi baru. Sebuah variabel yang tidak ada di kehidupan sebelumnya. Ia harus mempelajarinya, membedahnya, dan menemukan cara untuk memanfaatkannya.
Ia menyesap tehnya dalam keheningan. Jenderal Kim tetap diam di posnya. Waktu merayap pelan. Hwa-young mencoba membaca buku, tetapi kata-katanya kabur. Ia mencoba merapikan kotak perhiasannya, tetapi jari-jarinya terasa kaku. Kehadiran pria itu membuat setiap gerakan normal terasa seperti sebuah pertunjukan.
Cukup sudah. Ia tidak bisa hidup seperti ini. Ia harus bicara. Ia harus menemukan retakan di dinding itu.
“Jenderal Kim,” panggilnya, lebih lembut kali ini.
“Yang Mulia?”
“Kau sudah berapa lama melayani Pangeran Mahkota?”
Ada jeda sejenak sebelum Jenderal Kim menjawab. “Sejak beliau secara resmi dinobatkan sebagai Putra Mahkota, tujuh tahun yang lalu.”
“Tujuh tahun,” gumam Hwa-young. “Waktu yang lama. Kau pasti sangat mengenalnya.”
“Saya hanya tahu apa yang perlu saya ketahui untuk menjalankan tugas saya, Yang Mulia.” Jawaban yang aman dan terpelajar.
“Dan kau pasti sudah melihat banyak hal selama tujuh tahun itu,” lanjut Hwa-young, meletakkan cangkirnya. Ia menatap langsung ke arah Jenderal Kim. “Kau ada di istana ini jauh sebelum aku datang.”
“Benar, Yang Mulia.”
“Itu artinya,” Hwa-young berhenti sejenak, mengumpulkan keberaniannya. Ini adalah sebuah pertaruhan. “Kau juga ada di sini ... saat ibuku masih hidup.”
Hening.
Untuk pertama kalinya, topeng tanpa ekspresi Jenderal Kim sedikit goyah. Alisnya berkerut sepersekian detik. Matanya yang biasanya fokus pada satu titik, kini menatap Hwa-young dengan intensitas baru. Terkejut. Outline itu benar. Ia terkejut.
“Saya ... memang ada di sini pada masa itu, Yang Mulia,” jawabnya, terdengar sedikit lebih hati-hati.
Hwa-young merasakan secercah harapan. Ia telah menarik perhatiannya. “Aku tidak banyak mengingatnya. Maksudku, tentang hari-hari terakhirnya. Aku masih terlalu muda saat itu, dan mereka menjauhkanku darinya.”
Itu adalah kebohongan parsial. Di kehidupan sebelumnya, ia memang dijauhkan, tetapi ia cukup dewasa untuk mengerti apa yang terjadi. Sekarang, ia harus memainkan peran sebagai seorang putri yang naif dan terluka.
“Orang-orang di istana tidak suka membicarakannya. Seolah-olah itu adalah sebuah aib,” lanjut Hwa-young, kini bergetar, getaran yang ia ciptakan dengan susah payah. “Mereka hanya bilang beliau sakit. Sangat sakit.”
Jenderal Kim tetap diam, tetapi ia tidak lagi terlihat seperti patung. Ia mendengarkan.
“Aku dengar ... sebelum beliau wafat, beliau dikurung. Diasingkan. Apakah itu benar, Jenderal?”
Pertanyaan itu meluncur begitu saja. Langsung dan berbahaya.
Jenderal Kim menegakkan tubuhnya. Dinding itu kembali berdiri, lebih tinggi dan lebih tebal dari sebelumnya. “Yang Mulia, itu adalah masalah internal Keluarga Kekaisaran dari masa lalu. Bukan tempat saya untuk berkomentar.”
“Aku tidak memintamu berkomentar,” desak Hwa-young pelan. “Aku hanya bertanya. Sebagai seorang anak yang ingin tahu tentang ibunya. Di mana mereka menahannya?”
“Dengan segala hormat, Yang Mulia, saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu,” kata Jenderal Kim tegas. Loyalitasnya kepada Pangeran Mahkota dan protokol istana jelas mengalahkan rasa iba apa pun yang mungkin ia miliki.
Hwa-young menghela napas, membiarkan bahunya merosot. Ia menundukkan kepalanya, menyembunyikan kilat kemenangan di matanya. Penolakan itu sudah ia duga. Tapi reaksi terkejutnya tadi adalah emas. Itu berarti topik ini adalah titik lemahnya.
“Aku mengerti,” bisiknya, terdengar kalah. “Maafkan aku. Aku tidak seharusnya bertanya.”
Ia bangkit dan berjalan ke arah jendela, memunggungi Jenderal Kim. Ia menatap taman yang terawat sempurna di luar. Taman yang sama tempat ibunya dulu suka berjalan-jalan.
“Aku hanya lelah,” katanya, kini terdengar tulus. “Lelah karena semua orang di istana ini memberitahuku siapa ibuku. Mereka bilang ia lemah. Gila. Wanita rapuh yang tidak sanggup menanggung beban mahkota.”
Ia menyentuh kaca jendela yang dingin. “Tapi aku tahu itu tidak benar. Aku samar-samar mengingatnya. Ia kuat. Ia mengajariku menyulam, bukan hanya untuk keindahan, tapi untuk menyembunyikan rahasia. Ia mengajariku membaca, bukan hanya teks, tapi juga orang. Ia tidak mungkin selemah yang mereka katakan.”
Hwa-young berbalik, matanya berkaca-kaca. Air mata ini nyata, didorong oleh gelombang ingatan yang menyakitkan. “Aku hanya ingin tahu sepotong kecil dari hidupnya yang bukan tentang penderitaan. Aku ingin tahu di mana ia menghabiskan hari-hari terakhirnya. Ruangan seperti apa itu? Apakah jendelanya menghadap matahari terbit? Hal-hal kecil seperti itu ... hanya itu yang aku inginkan.”
Permohonannya menggantung di udara. Itu bukan lagi permintaan informasi dari seorang Putri Mahkota kepada seorang Jenderal. Itu adalah permintaan seorang anak perempuan kepada seorang pria yang mungkin menjadi satu-satunya saksi mata yang tersisa.
Jenderal Kim tampak gelisah. Ia berdeham pelan. Wajahnya masih keras, tetapi ada sesuatu yang berbeda di sorot matanya. Mungkin simpati. Mungkin hanya ketidaknyamanan.
“Yang Mulia,” katanya dengan suara yang lebih rendah. “Saya sarankan Anda tidak menggali masa lalu. Itu hanya akan membawa lebih banyak luka.”
“Luka?” Hwa-young tersenyum pahit. “Apa lagi yang bisa melukaiku di tempat ini, Jenderal? Aku hanya ingin tahu apa yang mereka ambil darinya. Barang-barangnya ... kenang-kenangannya. Apakah semuanya ikut dihancurkan bersama reputasinya?”
Ia menekan sekali lagi, dengan lembut.
Jenderal Kim tampak berkonflik. Ia jelas tidak ingin melanjutkan percakapan ini. Ia melirik ke koridor, seolah berharap ada yang memanggilnya pergi.
“Tidak semua,” katanya akhirnya, nadanya enggan. Seolah kata-kata itu ditarik paksa dari mulutnya. “Barang-barang pribadi Ratu yang dianggap tidak relevan dengan penyelidikan ... seperti jurnal-jurnal tulisannya ... semuanya disita untuk arsip negara. Disimpan dengan aman.”
Jantung Hwa-young berhenti berdetak. Jurnal. Ibunya menyimpan jurnal. Tentu saja. Bagaimana ia bisa lupa? Di kehidupan sebelumnya, ia tidak pernah memikirkannya, terlalu sibuk mencoba bertahan hidup. Tapi sekarang…
“Disimpan?” bisik Hwa-young, napasnya tertahan. “Di mana mereka menyimpannya? Di mana jurnal-jurnal itu sekarang?”
Jenderal Kim menghela napas panjang, sebuah suara yang sarat dengan frustrasi karena telah mengatakan terlalu banyak. Ia sepertinya menyadari kesalahannya.
“Yang Mulia, ini benar-benar bukan informasi yang bisa saya…”
“Aku mohon, Jenderal,” potong Hwa-young, melangkah maju. Ia mengabaikan semua protokol, semua jarak. “Sebagai seorang putri yang hanya ingin membaca tulisan tangan ibunya untuk terakhir kali. Aku tidak akan memberitahu siapa pun. Aku bersumpah.”
Tatapan mereka bertemu. Hwa-young menumpahkan semua keputusasaan dan kerinduan yang ia rasakan ke dalam matanya. Untuk sesaat, ia bukan lagi Putri Mahkota yang licik, hanya seorang gadis yatim piatu yang memohon.
Wajah Jenderal Kim yang keras sedikit melunak. Hanya sepersekian detik, tapi itu cukup. Ia membuang muka, seolah tidak tahan melihat tatapan Hwa-young.
“Semua jurnal pribadi beliau disita setelah ... insiden itu,” katanya pelan, hampir berbisik. “Dibawa ke brankas rahasia di…”