Mentari Arata Wiradiredja, gadis 19 tahun pewaris tunggal keluarga Wiradiredja—konglomerat yang tersohor bisnis hotel dan resortnya, justru ingin mengejar mimpinya sebagai desainer. Penolakannya membuat hubungannya dengan keluarga kerap tegang.
Hidupnya berubah saat tak sengaja bertemu Dewangga Orlando Danurengga, duda tampan kaya raya berusia 35 tahun yang dingin namun memikat. Pertemuan sederhana di sebuah café menjerat hati mereka, meski perbedaan usia, status, dan restu keluarga menjadi jurang besar.
Di tengah cinta, mimpi, dan konflik dengan kakak-beradik Danurengga, Mentari harus memilih: mengejar cintanya pada Dewangga, atau tunduk pada takdir keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senyum dan sunyi
Aroma melati dari taman depan terhembus pelan oleh angin malam, menambah suasana yang nyaris terlalu tenang — menegangkan justru bagi Mentari.
Dari kejauhan, suara mesin mobil berhenti di pekarangan. Sedan hitam mengkilap itu tampak kontras dengan suasana rumah yang hangat.
Ratna keluar ke teras, menatap ke arah mobil itu dengan senyum lega.
“Itu pasti Arsenio,” gumamnya, separuh gembira, separuh gugup.
Mentari yang berdiri di dekat pintu hanya diam. Tangannya memainkan pita kecil di gaunnya—kebiasaan lama setiap kali ia gugup.
“Bu… perlu banget, ya, aku yang harus—”
“Mentari,” potong Ratna lembut tapi tegas, “ini hanya makan malam, Nak. Tunjukkan kalau kamu bisa bersikap sopan dan dewasa.”
Mentari menunduk. “Baik, Bu.”
Pintu pagar terbuka. Dari balik mobil, seorang pria muda turun dengan langkah mantap.
Arsenio—rapi dengan kemeja hitam dan jas abu gelap. Postur tegak, senyum ramah, tapi tatapannya selalu terukur, seperti sedang menilai sesuatu.
“Selamat malam, Tante, Om,” sapa Arsenio sopan sambil sedikit membungkuk.
“Selamat malam, Arsen.” Ratna menyambut dengan ramah, tersenyum lebar.
“Mentari sudah siap.”
Mentari melangkah keluar perlahan.
Gaun krem lembut yang dipakainya membuatnya tampak sederhana tapi menawan—kecantikannya tenang, tidak berusaha mencuri perhatian, tapi justru menenangkan.
Namun di mata ibunya, Ratna melihat sesuatu yang lain: sorot mata putrinya tampak redup, seperti seseorang yang berusaha menenangkan badai di dalam diri.
Ratna menatap itu sesaat, hatinya berdesir aneh. Ia tahu Mentari tidak benar-benar bahagia malam ini, tapi ia juga tahu: tak semua kebahagiaan bisa datang di awal, terkadang harus dibentuk dulu, dipaksa dulu, lalu akan terbiasa—setidaknya begitu yang selalu ia yakini.
“Ayo, Tari, jangan lupa tasnya,” kata Ratna lembut, seolah mengalihkan pikirannya sendiri.
Mentari mengambil clutch kecilnya, lalu melangkah mendekati Arsenio.
“Selamat malam,” ucapnya pelan.
“Malam, Mentari,” jawab Arsenio dengan senyum sopan. “Kamu cantik malam ini.”
Mentari tersenyum tipis. “Terima kasih.”
Senyum yang terlihat manis, tapi tak sampai ke matanya.
Ratna memperhatikan keduanya hingga mereka berjalan menuju mobil.
Sesaat sebelum Mentari membuka pintu, Ratna berkata lirih, “hati-hati, Nak.”
Mentari menoleh, menatap ibunya sekilas, dan mengangguk kecil.
Ada jeda panjang pada tatapan itu—seperti ada banyak kalimat yang ingin keluar, tapi hanya dibungkam oleh senyum kecil yang dipaksakan.
.....
Begitu mobil melaju meninggalkan halaman rumah, suasana hening menyelimuti kabin.
Hanya terdengar suara mesin dan lagu instrumental yang mengalun pelan dari speaker.
Mentari menatap keluar jendela, memperhatikan lampu jalan yang berlari mundur satu per satu.
Di balik kaca, bayangan dirinya ikut berlari, samar, seolah ia sedang mengejar sesuatu.
Arsenio beberapa kali melirik, mencoba membuka percakapan.
“Tadi sore Bandung sempat hujan, ya? Jalannya agak licin sekarang.”
“Iya, sempat,” jawab Mentari singkat.
“Kamu suka hujan?”
“Kadang.”
“Saya sih suka banget, soalnya bisa jadi alasan buat males keluar,” katanya sambil tertawa kecil.
Mentari ikut tersenyum, tapi sekilas saja, “hmm.”
Arsenio masih berusaha mencairkan suasana.
“Oh iya, villa tempat pesta pernikahan nanti agak di atas bukit. Pemandangannya bagus, lampu kotanya kayak lautan.”
“Kedengarannya indah,” ujar Mentari tanpa benar-benar menatapnya.
Hening lagi.
Mentari menarik napas panjang, menatap keluar jendela—menatap malam yang terasa panjang.
Arsenio mencoba lagi.
“Kamu suka makanan pedas?”
“Suka, tapi nggak terlalu,” jawabnya datar.
Arsenio terkekeh pelan. “Sama kayak saya. Tapi biasanya kalau makan pedas bareng orang, malah seru, ya?”
Mentari tersenyum tipis. “Mungkin.”
Setelah itu, tak ada yang bicara.
Hening.
Hanya suara ban mobil melintasi aspal basah dan lampu kota yang berpendar di kaca depan.
Dalam diam itu, pikiran Mentari berputar ke arah lain—tentang hari-hari di kampus, tentang panggilan dari D’Or Mode, tentang sosok pemilik D’Or Mode yang masih mengganggu pikirannya.
Sementara di sisi lain, Arsenio melirik sekilas.
Ia sadar Mentari bukan gadis yang mudah dibaca. Ada dinding halus yang memisahkan mereka, dinding yang bahkan belum ia tahu terbuat dari apa—keengganan, rasa terpaksa, atau luka yang belum ia pahami.
Mobil terus melaju menembus malam.
Mentari bersandar ke jendela, membiarkan pikirannya mengembara bersama bayangan lampu kota.
Senyum kecil muncul di sudut bibirnya, bukan karena bahagia—tapi karena akhirnya ia tahu,
tidak semua perjalanan menuju masa depan dimulai dengan perasaan yang diinginkan.
......
Malam itu, udara Lembang terasa sejuk, memeluk lembut kulit setiap tamu yang datang ke Villa—tempat pesta pernikahan rekan bisnis keluarga Arsenio berlangsung.
Dari kejauhan, deretan lampu taman berwarna keemasan berkelip di antara pepohonan, memantulkan cahaya hangat ke arah kolam kecil yang dihiasi kelopak bunga putih.
Mobil Arsenio berhenti di pelataran villa.
Seorang valet langsung membuka pintu, dan Arsenio turun lebih dulu, lalu bergegas ke sisi lain untuk membukakan pintu bagi Mentari.
“Silakan,” ucapnya sopan.
Mentari menatap keluar sebentar— lampu-lampu itu terlalu terang untuk matanya yang lelah.
Ia menarik napas pelan, menenangkan diri, sebelum akhirnya melangkah keluar. Gaun sederhananya bergerak lembut tertiup angin, aroma parfum beraroma bunga iris tercium samar.
Arsenio, seperti pria pada umumnya, menawarkan sebelah lengannya.
“Gandeng aku, biar terlihat serasi.”
Mentari menatap lengan itu sejenak. Ada tatapan ragu, kemudian senyum kecil yang sopan namun dingin.
“Terima kasih, tapi aku lebih nyaman jalan sendiri.”
Senyum Arsenio kaku sejenak. Namun, ia cepat menutupi rasa kikuknya dengan tawa ringan.
“Baiklah, gadis mandiri.”
Mereka berjalan berdampingan tanpa bergandengan tangan.
Suara musik lembut, tawa tamu undangan, dan aroma wine bercampur dengan wangi bunga mawar dari taman. Suasana terlihat hangat dan elegan, tapi di dalam dada Mentari, ada perasaan kosong—seolah semua ini bukan dunianya.
Di dalam area pesta, Arsenio segera berbaur.
Beberapa pria menyapanya dengan hangat— rekan bisnis, kolega lama, bahkan satu-dua investor muda.
“Arsenio! Akhirnya datang juga!”
“Wah, ini pacarmu ya? Cantik sekali!”
Arsenio hanya tertawa samar.
“Teman dekat,” jawabnya singkat, dengan nada yang seolah ingin menunjukkan lebih dari itu.
Sementara Mentari berdiri tak jauh darinya, memilih diam di sudut taman yang diterangi cahaya lampu gantung kaca.
Ia menatap pemandangan sekeliling, lalu mengambil segelas jus dari nampan pelayan yang lewat.
Rasanya dingin di bibir, tapi tidak cukup untuk menenangkan pikirannya yang masih menari di sekitar sosok CEO D’Or mode.
Ia bahkan tak belum mengenalnya saat itu. Tapi wajah tenang, suara dalam, dan tatapan mata yang penuh rahasia itu... entah kenapa masih menempel jelas di benaknya.
Dan seolah semesta ingin bermain-main dengannya—
“Mentari Arata Wiradiredja?”
Suara berat itu membuat tubuh Mentari menegang.
Perlahan, ia menoleh ke arah sumber suara.
Dan di sana—berdiri seorang pria dengan setelan jas hitam elegan, wajah tampan dengan sorot mata tajam yang langsung ia kenali.
Dewangga Orlando Danurengga.
Mentari terdiam sepersekian detik. Napasnya seolah tertahan di tenggorokan.
“Kita... bertemu lagi rupanya,” ucap Dewangga dengan senyum tipis, nada suaranya tenang tapi berwibawa.
“Pak Dewangga?” Mentari refleks memanggilnya begitu, padahal belum yakin boleh memanggil dengan nama itu.
“Kau masih ingat?” tanyanya dengan nada datar, tapi di matanya ada kilasan lembut yang sulit dijelaskan.
“Sulit lupa pada seseorang yang menabrak jas mahal di depan café,” sahut Mentari dengan nada separuh gugup, separuh berani.
Dewangga terkekeh kecil, ekspresinya nyaris tak berubah.
“Aku tidak keberatan. Jas bisa diganti… tapi coretan di sketsa-mu waktu itu—menarik.”
Mentari sedikit salah tingkah.
“Aku sudah melihat banyak karya desain, tapi jarang ada yang punya karakter seberani garis tanganmu.”
Mentari terdiam, antara terkejut dan tersanjung.
Mereka pun terlibat dalam percakapan ringan—tentang desain, dunia fashion, dan sedikit tanya-jawab yang terasa jauh lebih intim dari sekadar basa-basi.
>“Jadi, kau benar-benar menolak meneruskan bisnis keluarga besar Wiradiredja?” tanya Dewangga dengan nada ingin tahu.
“Ya,” jawab Mentari jujur. “Aku tidak ingin hidup dari nama besar orang tua. Aku ingin dikenal karena karyaku sendiri.”
“Sebuah ambisi yang langka… dan berani,” balas Dewangga, menatapnya dengan intensitas yang membuat Mentari terpaksa memalingkan pandangan.
Ada sesuatu pada tatapan pria itu—bukan sekadar ketertarikan, tapi juga penilaian yang dalam, seolah ia sedang membaca isi hati Mentari tanpa izin.
Dan sebelum Mentari bisa berkata lagi—
“Mentari!”
Suara Arsenio terdengar dari belakang.
Langkahnya cepat, ekspresinya kaku namun masih berusaha tersenyum. Ia berdiri di antara keduanya, seperti garis pembatas yang tiba-tiba muncul.
“Sayang sekali, aku mencari kamu, ternyata di sini. Eh, Dewa! Lama tidak bertemu,” ujarnya, mencoba terdengar santai sambil menepuk bahu Dewangga.
Dewangga menatapnya sekilas, lalu tersenyum sopan, “kebetulan sekali.”
“Mentari, ini Dewangga Danurengga,” lanjut Arsenio dengan nada agak menekankan, “rekan bisnis keluarga kami.”
Mentari menatap Arsenio heran, tak tahu harus berkata apa. Ia hanya mengangguk sopan.
“Kami sudah saling mengenal,” jawab Dewangga tenang.
“Oh?” Arsenio menaikkan alis. “Sejak kapan?”
“Kebetulan saja, beberapa hari lalu di kafe.”
Arsenio melirik pada Mentari. “Begitu, ya?”
Nada suaranya terdengar ringan, tapi matanya menyimpan sesuatu yang lain.
“Iya,” jawab Mentari pendek, berusaha tetap tenang.
Arsenio tertawa kecil, lalu melingkarkan tangannya ringan di belakang punggung Mentari, seolah ingin menegaskan sesuatu.
“Mentari ini… orangnya memang mudah menarik perhatian. Tapi ya, bagaimana pun, dia milik saya sekarang.”
Ucapan itu membuat Mentari refleks menegakkan tubuh.
“Arsen, tolong jangan bicara sembarangan,” ucapnya pelan tapi tegas.
Dewangga hanya diam.
Raut wajahnya datar, tapi ada ketegasan dingin yang menurun di matanya—ekspresi seorang pria yang tidak menyukai kesombongan halus macam itu.
“Milik?” ulang Dewangga pelan, nyaris seperti gumaman.
“Setahuku, wanita tidak bisa dimiliki hanya karena duduk di kursi yang sama,” tambahnya, nada suaranya tenang tapi penuh makna.
Keheningan menggantung di antara mereka.
Arsenio tersenyum kaku, Mentari menunduk, mencoba mengatur napas.
Dewangga, dengan tenang, menyesap minumannya lalu berkata singkat,
“Permisi, aku ada urusan sebentar.”
Ia melangkah pergi meninggalkan mereka.
Dan malam itu, Mentari sadar—ada sesuatu dalam dirinya yang ikut pergi bersama langkah pria itu. Sesuatu yang ia belum bisa beri nama.