"Si4l, apa yang wanita itu rencanakan?
Mengapa setelah surat cerai kutandatangani, dia justru ... berubah?”
...
Lyara Elvera, seorang gadis yang tak merasakan keadilan di keluarganya. Kedua orang tuanya hanya memusatkan kasih sayang pada kakaknya, sementara Lyara tumbuh dengan rasa iri dan keinginan untuk di cintai
Namun, takdir berkata lain. Sebelum kebahagiaan menyentuhnya, Lyara meregang nyawa setelah terjatuh dari lantai tiga sebuah gedung.
Ketika ia membuka mata, sosok misterius menawarkan satu hal mustahil, kesempatan kedua untuk hidup. Tiba-tiba, jiwanya terbangun di tubuh Elvera Lydora, seorang istri dari Theodore Lorenzo, sekaligus ibu dari dua anak.
Namun, hidup sebagai Elvera tak seindah yang terlihat. Lyara harus menghadapi masalah yang ditinggalkan pemilik tubuh aslinya.
“Dia meminjamkan raganya untukku agar aku menyelesaikan masalahnya? Benar-benar jiwa yang licik!”
Kini Lyara terjebak di antara masalah yang bukan miliknya dan kehidupan baru yang menuntut penebusan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka Yang Tak Pernah Di Pahami
Terlihat seorang gadis cantik tengah tertidur lelap di atas ranjangnya. Sebuah buku tebal menutupi sebagian wajahnya, sementara napasnya yang teratur menandakan betapa pulas ia terlelap. Cahaya matahari menembus tirai kamar berwarna krem, menari lembut di wajahnya. Namun tak cukup kuat untuk membuat gadis itu terbangun. Kipas angin di sudut ruangan berputar pelan, mengusir rasa gerah yang menggantung di udara.
Lyara Elvera. Gadis itu terlihat begitu damai dalam tidurnya, hingga suara ketukan pintu tiba-tiba memecah keheningan pagi.
Tok! Tok!
“ARAAAAA! ARAA, BANGUN! UDAH SIANG INI! NANTI KAKAKMU BISA TELAT!”
Suara seorang wanita dari balik pintu terdengar keras dan penuh nada kesal.
Lyara terlonjak kaget. Matanya terbuka setengah, rambut panjangnya berantakan ke segala arah. Buku di wajahnya jatuh terhempas ke bawah ranjang. Dengan gerakan malas, ia meraih buku itu, meletakkannya di atas meja kecil di samping kasur, lalu bangkit sambil menguap lebar.
Cklek!
Pintu kamar terbuka, menampakkan seorang wanita paruh baya dengan wajah penuh omelan. Tangannya bertolak pinggang, memandang anak bungsunya dengan ekspresi sebal.
“Kamu mau bikin kakakmu telat lagi, hah? Ayo cepat, bersiap!” katanya dengan nada tinggi.
“Ya udah sih, Ma. Suruh Kakak berangkat sendiri aja,” gumam Lyara kesal, lalu kembali masuk ke kamarnya tanpa peduli.
Wanita itu, Anindya Rose terlihat mendengus keras, menatap punggung putrinya dengan jengkel.
“Bener-bener kamu ya, Lyara! Awas kalau sampe kamu lambay bersiap,” serunya, lalu berjalan menuju ruang makan sambil menggeleng pelan.
Beberapa menit kemudian, Lyara sudah bersiap. Mandi sekadarnya, rambut dikuncir asal, tanpa riasan sama sekali. Ia memasukkan buku-buku ke dalam tas secara acak—beberapa bahkan setengah keluar dari resleting. Lalu berlari keluar kamar.
Sebelum berangkat, perutnya yang kosong menuntut sarapan. Ia berlari kecil menuju ruang makan.
“Pagiii!” serunya ceria, meski nafasnya masih terengah.
Kedua orang tuanya menatap sekilas tanpa banyak reaksi. Di meja makan, kakaknya, Viola Renaya, duduk anggun sambil menyuap roti dan telur. Berbeda dengan Lyara, Viola tampak rapi dan tenang, rambut hitam panjangnya dijepit rapi, seragamnya licin tanpa kusut, dan aroma parfum lembut menguar darinya.
Lyara menatap kakaknya dengan sedikit iri. Mereka hanya terpaut satu tahun, tapi dunia memperlakukan Viola jauh berbeda.
“Pa, nanti antar aku ke sekolah dulu ya. Sekolahku kan lebih dekat. Nanti aku telat,” pinta Lyara sambil menarik kursi.
Ayahnya, Damar Hardian, meletakkan koran dan menatap anak bungsunya sebentar. “Salah sendiri, kenapa bangun telat? Papa udah bilang jangan begadang. Sekali-kali tuh tiru kakakmu.”
Sekujur tubuh Lyara terasa menegang. Ia terdiam, memandangi kedua orang tuanya bergantian. Sudah biasa. Kata-kata seperti itu sudah sering ia dengar. Namun tetap saja, rasanya seperti pisau kecil yang terus menggores hatinya.
Ia tahu, orang tuanya tak bermaksud jahat. Mereka hanya terlalu khawatir pada Viola—kakaknya yang sempat berhenti sekolah satu tahun karena penyakit ginjal. Sejak itu, perhatian keluarga seolah berpusat pada satu nama saja, Viola.
Lyara mencoba menelan perasaan getir itu. Ia tersenyum hambar. “Ya udah deh ... Papa sama Mama jangan lupa datang ya nanti. Ada pertemuan wali murid.”
Ia meraih sepotong roti di piring besar, tapi tangan Anindya langsung menepuknya cepat.
Plak!
“Apa sih, Ma?!” protes Lyara sambil meringis.
“Itu roti khusus buat kakakmu! Jangan diambil! Ambil yang lain, kan masih banyak,” omel Anindya.
Lyara mengembungkan pipinya kesal. Ia mengambil roti lain dan menggigitnya tanpa bicara. Mulutnya mungkin diam, tapi d4danya sesak.
“Kalian itu pilih kasih banget, tahu nggak? Aku sekolah di sekolah biasa, sementara Kak Viola di sekolah mahal. Kamarku kecil, kamarnya gede. Aku ini anak tiri, ya?” gumamnya setengah pelan, setengah kesal.
Anindya menatapnya tajam. “Udah deh, jangan ngelantur. Wajar Kakakmu di sekolah bagus, dia pinter! Nggak buang-buang uang kayak kamu. Dari SD aja selalu peringkat terakhir!”
“Itu kan dulu, Ma! Sekarang aku udah naik peringkat!” seru Lyara, matanya berkaca.
“Dek,” suara Viola memotong ketegangan. Lembut, tapi tegas.
Tatapannya menenangkan, tapi juga seolah menuntut Lyara untuk berhenti ribut. Namun Lyara tak tahan lagi. Ia bangkit berdiri dengan suara kursi yang berdecit keras. Semua menatapnya, tapi ia tak peduli. Ia mengambil tasnya dan berjalan keluar rumah.
“Kamu mau jalan ke sekolah?” tanya Viola dengan nada agak tinggi.
“Ada Mike!” jawab Lyara cepat tanpa menoleh.
Viola menoleh ke arah jendela. Dari sana, terlihat seorang pria berseragam putih abu menunggu di depan pagar rumah, menyandarkan tubuhnya pada sepeda motor dengan wajah santai. Viola menatapnya lama, ada sesuatu di sorot matanya. Entah cemburu, cemas, atau mungkin rasa ingin tahu yang dalam.
“Adikmu itu makin kurang ajar. Pokoknya kamu jaga pergaulan, jangan sampai ikut-ikutan,” kata Anindya kepada putri sulungnya.
Viola hanya terdiam. Ia menatap piring sarapannya yang kini dingin, sementara pikirannya melayang entah ke mana. Mungkin pada adiknya, mungkin juga pada sosok bernama Mike yang kini membawa Lyara menjauh dari rumah itu.
.
.
.
.
Hari itu, Lyara Elvera merasa menjadi gadis paling bahagia di dunia. Tangannya menggenggam erat rapor yang baru saja diberikan gurunya. Di pojok kanan atas kertas itu tertulis angka 1 besar—peringkat kedua di kelasnya. Untuk pertama kalinya, ia mampu menembus deretan siswa terbaik. Bahkan, ia dinyatakan berhak mendapat beasiswa penuh untuk melanjutkan kuliah.
Langkahnya ringan, hampir seperti melayang. Ia berjalan di belakang sang ayah yang baru saja berbincang dengan wali kelasnya. Sinar matahari sore menerpa wajah Lyara, membuat matanya berkilat penuh harap. Dengan langkah cepat, ia menyusul ayahnya.
“Papa lihat kan? Aku juara satu, Pa!” serunya riang. “Aku bisa lanjut kuliah! Papa nggak perlu keluar biaya banyak, aku bisa pakai jalur beasiswa. Iya kan, Pa?”
Namun, langkah Damar tiba-tiba berhenti. Suasana mendadak terasa berat. Ia menatap anak gadisnya sejenak, lalu mengembuskan napas panjang.
“Kuliah?” suaranya datar, tapi tegas. “Lyara, kamu pikir kuliah cuma soal biaya semesternya aja? Buku, kegiatan kampus, biaya tambahan, semua itu tetap butuh uang. Papa ini cuma karyawan biasa. Gaji Papa pas-pasan, buat makan aja kadang harus hemat.”
Kata-kata itu menghantam hati Lyara seperti palu berat. Senyum di wajahnya perlahan pudar. Matanya bergetar, tenggorokannya tercekat.
Sebuah luka yang tak terlihat terasa mengoyak d4danya—seakan semua kebahagiaan yang baru saja tumbuh kini diremukkan begitu saja.
“Pa ... aku udah berusaha keras buat ini,” katanya lirih, hampir berbisik. “Aku belajar sampai malam, Papa tahu sendiri. Aku ingin kuliah, Pa. Aku ingin buktiin kalau aku bisa ...,”
Damar menatap wajah putrinya lama, sebelum akhirnya berkata pelan, “Udah, kamu tunda dulu kuliahmu. Biarkan kakakmu dulu yang kuliah. Setelah kakakmu lulus, baru giliran kamu. Papa nggak bisa biayain kalian berdua sekaligus. Lagian, Kakakmu nggak dapat beasiswa, Ara.”
Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh juga. D4danya sesak, dunia seolah berhenti berputar. Semua perjuangan, semua malam tanpa tidur, semua harapan yang ia kirimkan, mendadak terasa sia-sia.
“Kak Vio, Kak Vio, dan Kak Vio! Selalu dia!” jerit Lyara tiba-tiba, suaranya menggema di halaman sekolah yang sudah sepi. “Aku kapan, Pa?! Aku kapan? Aku selalu ngalah, terus dan terus! Kalian kasih kamar yang nyaman buat Kak Vio, aku terima! Aku tidur cuma pakai kipas angin, aku juga terima! Kak Vio pakai AC, aku nggak protes! Tapi sekarang masa depanku juga kalian korbanin demi dia?! Aku ini anak Papa dan Mama juga, kan?!”
Suara Lyara pecah, tubuhnya bergetar hebat. Orang-orang yang masih tersisa di sekolah mulai melirik ke arahnya, tapi Damar hanya menatapnya dengan ekspresi jengkel bercampur iba.
“Kamu teriak-teriak di sini bikin malu, tahu nggak!” geramnya, lalu berjalan menuju motor yang terparkir di pinggir jalan.
“Paaaa! Aku cuma minta keadilan!” tangis Lyara pecah. “Aku susah payah dapetin beasiswa ini, Pa! Aku belajar sampai sakit kepala, sampai nggak tidur! Tapi kenapa semua yang aku bangun harus hancur cuma karena Kak Vio?!”
Damar berhenti sejenak. Bahunya naik turun menahan emosi, lalu ia berbalik. Matanya kini berkaca-kaca.
“Kakakmu sakit, Lyara! Kakakmu nggak sekuat kamu!” teriaknya dengan suara serak. “Sejak lahir dia cuma punya satu ginjal, dan sekarang ginjal satunya pun terancam rusak. Papa nggak tahu sampai kapan dia bisa bertahan. Kamu masih sehat, Ara. Kamu masih punya waktu, masih bisa kejar cita-cita kamu nanti! Papa cuma minta kamu ngertiin, satu kali ini aja!”
Lyara terdiam. Air matanya mengalir deras.
Kedua tangannya mengepal kuat. Ia tahu kakaknya sakit, ia tahu kakaknya rapuh. Tapi … apakah itu berarti ia tak pantas bahagia?
“Terserah, Pa ... Aku capek. Aku ... capek!”
Suara Lyara pecah di antara isaknya. Ia berbalik dan berlari pergi tanpa menoleh.
“LYARA! MAU KE MANA KAMU?!” teriak Damar, tapi gadis itu tak berhenti. Langkahnya semakin jauh, hingga suara ayahnya lenyap ditelan angin sore.
Damar mengembuskan napas berat. “Nanti juga anak itu pulang,” gumamnya pelan sebelum men-starter motornya dan pergi.
Sementara itu, Lyara terus berlari tanpa arah.
Air matanya membasahi wajahnya, napasnya tersengal. Langit mulai berwarna jingga, tanda senja hampir habis. Tapi, Ia tak peduli. Semua rasa sakit yang ia tahan selama ini pecah jadi satu.
“Kenapa, sih ... kenapa selalu Kak Vio?” isaknya di sela tangis. “Kenapa nggak ada yang nanya sekedar bertanya aku udah makan belum? Aku juga pengin ditanya, Pa ... Ma,”
Ia berhenti di tepi jembatan kecil, memandang air yang beriak di bawahnya. “Aku ini anak kandung kalian, atau anak pungut sih?” lirihnya, suaranya tenggelam oleh hembusan angin. Padahal dirinya tahu, ia sangat mirip dengan sang Mama.
Setelah lama menangis, tubuh Lyara mulai lelah. Ia memutuskan untuk pulang. Namun, langkahnya terasa berat, matanya sembab, dan seragamnya sudah berantakan.
Tiba-tiba, sebuah suara serak memecah kesunyian. “Mau ke mana, Cantik?”
Lyara terhenti. Dari arah depan, tiga pria bertubuh besar berdiri menghadangnya. Wajah mereka kasar, dengan senyum yang membuat bulu kuduk berdiri. Ia spontan mundur satu langkah.
“Ada apa, Bang?” tanyanya dengan suara gemetar.
Salah satu dari mereka mendengus. “Suruh bapak kamu bayar hutangnya. Udah enam bulan nunggak, tahu nggak?!”
“Hutang?” Lyara mengerutkan kening. “Papa punya hutang.? Aku nggak tahu apa-apa soal itu.”
Pria itu terkekeh kasar. “Dia bilang buat biaya pengobatan anaknya. Kamu anaknya, kan? Kalau dilihat-lihat, lumayan juga ya ... cantik.” Tangannya terulur, mencoba menyentuh dagu Lyara.
Refleks, Lyara menepis keras. “Jangan sentuh aku!” bentaknya dengan gemetar.
Tiga pria itu malah tertawa, suaranya menggema di jalanan sepi itu. Kanan kiri hanyalah lapangan kosong, tak ada satu pun orang lewat.
“Bang, kalau bapaknya nggak mau bayar, kita sikat aja anaknya, gimana?” kata salah satu dari mereka.
Tawa mereka semakin keras membuat wajah Lyara memucat. Ketakutan menyergap. Ia tahu ini bukan situasi yang bisa diselesaikan dengan kata-kata. Tanpa pikir panjang, ia berbalik dan berlari sekuat tenaga.
“KEJAR DIA!” teriak salah satu dari mereka.
Jantung Lyara berdetak cepat. Nafasnya tersengal, tapi ia terus berlari, menyusuri jalan sempit yang mengarah ke sebuah gedung yang tampak sedang dibangun. Ia masuk ke dalam, berharap bisa bersembunyi. Tangga-tangga besi ia panjat dengan tergesa, hingga mencapai lantai tiga, lantai tertinggi dari bangunan setengah jadi itu.
Namun si4l, tak ada tempat untuk bersembunyi. Hanya ruangan kosong dengan dinding belum diplester dan lubang besar di ujung lantai.
“Mau ke mana, Cantik? Pintar juga milih tempatnya.” Suara mereka terdengar dari belakang.
Lyara menoleh. Nafasnya terengah, pelipisnya basah oleh keringat. Ketiga pria itu kini semakin dekat. Ia mundur pelan, tubuhnya gemetar.
“Tolong, Bang ... nanti Papa saya pasti bayar. Lepasin saya, ya? Tolong ....” Suaranya pecah di antara isak.
“Lepasin? Udah dikejar sejauh ini masa dilepasin sih?” jawab salah satu dari mereka sambil tertawa. Yang lain menimpali, “Mending kamu nurut, daripada kami paksa.”
Langkah Lyara terus mundur. Sampai tak ada lagi lantai yang dapat ia pijak di belakangnya.
“Aaaaah!” Jeritannya menggema. Tubuhnya kehilangan pijakan dan terjatuh.
Waktu seolah melambat, semua kenangan berputar cepat di kepalanya. Wajah kedua orang tuanya, tawa Viola, perjuangannya di malam-malam sunyi, dan impiannya menjadi sarjana yang kini terhempas bersama tubuhnya.
Brakk!
Air mata terakhirnya jatuh bersamaan dengan tubuhnya menghantam tanah. Rasa sakit yang menjalar tak seberapa dibanding luka yang sudah lebih dulu ada di hatinya. Dalam detik terakhir kesadarannya, ia berbisik pelan, suara yang hanya didengar oleh angin.
“Demi Kakak ... kenapa aku yang harus dikorbankan, Pa? Sekali saja, perlakukan aku sepertinya,” batinnya lirih, sebelum kegelapan merenggut kesadarannya.
_______________________________
Perhatian: Ini Cerita Fantasi, jadi maklum kalau gak masuk logikaaaaa😆 ambil faedah yang baik aja kawan, aku tahu kalian bijak dan cerdas😍
apa lagi anak bryan 🤦♀️
masih mblundeeetttt
apalagi ini ditambah kondisi Ara yg menimbulkan tanda tanya
semoga saja gak isi
klo isi bisa jadi masalah besar
takutnya di curigai anak orang lain
q yakin El tidak seburuk ituuuu
pengakuan Bryan cuma untuk memprovokasi Theo