Kirana Larasati, gadis yang baru saja lulus SMA, harus menghadapi kenyataan pahit. Adiknya menderita sakit kanker, namun masalah ekonomi membuat adiknya terpaksa dirawat di rumah sendiri. Kirana ingin bekerja dan membantu orang tuanya. Suatu hari, tetangganya bernama Lilis menawarkannya pekerjaan sebagai pengasuh anak.
Kirana bertemu dengan Bastian Rajendra, seorang duda yang memiliki satu anak perempuan bernama Freya Launa.
Awalnya, Kirana hanya berniat bekerja untuk mendapatkan uang demi pengobatan adiknya. Namun, kedekatan Kirana dengan Freya, serta tanggung jawabnya yang besar, membuat Bastian mengambil keputusan tak terduga. Bastian menawarkan sebuah pernikahan kontrak dengan janji akan menanggung seluruh biaya pengobatan adiknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Sabrina Rasmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kejadian memalukan
Kirana terbangun saat cahaya fajar menyelinap di sela-sela gorden kamar Freya. Ia sempat mengerjapkan mata sejenak, bingung dengan langit-langit kamar yang tampak asing, hingga ia tersadar bahwa ia tertidur di samping Freya semalam. Dengan gerakan sepelan mungkin agar tidak membangunkan bocah kecil itu, Kirana turun dari ranjang dan bergegas keluar menuju kamar Mbak Lilis di bawah.
Sesampainya di kamar bawah, ia segera membersihkan diri. Guyuran air dingin di pagi hari terasa sangat menyegarkan, menghapus sisa kantuk dan kelelahan di tubuhnya. Setelah itu, ia mengganti bajunya dengan pakaian yang rapi namun santai, lalu membentangkan sajadah untuk melaksanakan salat Subuh.
Dalam sujudnya, Kirana berdoa dengan sangat khusyuk. Ia bersyukur atas uang gaji di muka yang diberikan Bastian kemarin. Ia memohon doa agar adiknya, Luki, bisa segera mendapatkan perawatan medis yang layak di rumah sakit dan segera diberi kesembuhan.
"Terima kasih, Ya Allah. Semoga hari ini semuanya berjalan lancar," bisiknya pelan setelah selesai berdoa.
Baru saja ia melipat sajadah, pintu kamar terbuka. Lilis masuk dengan wajah yang sudah segar.
"Wah, sudah bangun kamu, Ran? Sudah salat?" tanya Lilis sambil tersenyum.
"Sudah, Mbak. Baru saja selesai," jawab Kirana riang. "Gimana, Mbak? Tugas pertama hari ini apa lagi?"
Lilis tertawa kecil melihat semangat adik tetangganya itu. "Semangat banget ya. Seperti biasa, bantu Freya bangun dan siapkan keperluan sekolahnya. Oh iya, pagi ini Pak Bastian sepertinya ada rapat penting, jadi dia mungkin akan berangkat lebih awal. Kamu jangan sampai telat ya!"
Kirana mengangguk mantap. "Siap, Mbak!"
Sambil menaiki tangga menuju kamar Freya, Kirana sempat melirik ke arah pintu kamar Bastian yang masih tertutup rapat. Ia kembali teringat kejadian semalam. Apakah benar pria sedingin itu menyelimutinya? Ataukah itu hanya mimpinya saja? Kirana menggelengkan kepalanya cepat, mencoba membuang pikiran itu jauh-jauh dan fokus pada tugasnya mengasuh sang putri kecil.
Bastian, yang baru saja selesai mandi, melangkah masuk ke kamar Freya tanpa tahu bahwa Kirana sudah berada di sana sejak tadi. Karena mengira hanya ada putrinya, ia hanya melilitkan handuk putih di pinggangnya, menampilkan dada bidang dan bahu tegapnya yang masih basah terkena sisa air mandi.
Ia berjalan santai menuju lemari pakaian besar di sudut kamar Freya, bermaksud mengambil baju yang sempat tertinggal di sana. "Loh, Freya sudah bangun?" gumam Bastian saat melihat ranjang putrinya sudah kosong dan rapi.
Tepat pada saat itu, pintu kamar mandi terbuka. Kirana keluar sambil menuntun Freya yang sudah segar dan wangi.
"Aaaa! Astagfirullah haladzim!" teriak Kirana spontan. Ia langsung menutup matanya dengan kedua tangan secepat kilat, sementara jantungnya berdegup sangat kencang hingga terasa mau copot. "Tuan! Kenapa tidak pakai baju?!"
Bastian membeku. Ia sama sekali tidak menyangka akan melihat Kirana di kamarnya sepagi ini. Wajahnya yang biasanya datar kini menegang karena terkejut dan sedikit malu, meski ia berusaha keras menutupi kegugupannya dengan tatapan dinginnya yang biasa.
"Kenapa kau ada di sini sepagi ini?" tanya Bastian dengan suara rendah, berusaha tetap tenang meskipun situasi ini sangat canggung.
"Saya... saya kan disuruh Mbak Lilis membantu Freya mandi, Tuan!" sahut Kirana masih dengan mata tertutup rapat. "Tuan sendiri kenapa ke sini cuma pakai handuk? Ini kan kamar Freya!"
Bastian berdehem pelan, merasa kalah telak. "Saya lupa mengambil kemeja saya di sini semalam. Keluar sekarang. Saya mau pakai baju."
"T-tapi Tuan yang harusnya keluar! Ini kan saya sedang menjaga Freya!" balas Kirana protes, meskipun wajahnya sudah memerah sampai ke telinga.
Bastian tidak menjawab lagi. Tanpa membuang waktu, ia segera menyambar kemejanya di lemari dan bergegas keluar kamar dengan langkah cepat, meninggalkan Kirana yang masih syok dan Freya yang hanya menatap bingung ke arah ayahnya.
"Kak Kirana, kenapa tutup mata? Ayah kan cuma mau ambil baju," tanya Freya polos.
Kirana menghela napas panjang, mencoba menormalkan detak jantungnya. "Ayah kamu itu... benar-benar kelinci raksasa yang tidak tahu aturan!" gerutunya pelan. Hari kedua baru saja dimulai, dan Kirana merasa stok kesabarannya sudah hampir habis menghadapi bosnya yang satu ini.
Bastian sudah kembali ke kamarnya dan menutup pintu dengan bantingan pelan. Ia berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya yang hanya berbalut handuk. Tiba-tiba, ia mengacak rambutnya yang masih basah dengan gusar.
"Sial," umpatnya pelan.
Ia terdiam sejenak, lalu bergumam pada diri sendiri, "Ini kan rumahku? Kenapa juga aku harus menurut dan lari keluar saat dia mengusirku?"
Bastian merasa harga dirinya sebagai tuan rumah sedikit tercoreng. Selama ini, tidak ada yang berani memerintahnya, apalagi mengusirnya di rumahnya sendiri. Namun, bayangan wajah Kirana yang memerah karena terkejut tadi terus terlintas di pikirannya. Ada rasa malu yang jarang ia rasakan muncul di sela-sela harga dirinya yang tinggi.
"Gadis itu... benar-benar tidak punya rasa takut," gumamnya lagi sembari memakai kemeja kerjanya dengan gerakan cepat.
Sementara itu di kamar Freya, Kirana masih berusaha menenangkan jantungnya yang berpacu liar. Bayangan dada bidang dan perut sixpack bosnya yang tertutup tetesan air tadi seolah menempel di ingatannya.
"Kak Kirana, muka Kakak kok merah banget kayak tomat?" tanya Freya polos sambil memegang pipi Kirana.
Kirana tersentak, lalu tertawa canggung. "Eh? Ah, ini... Kakak cuma merasa kepanasan saja, Sayang. Ayo, kita pakai baju sekolahmu sekarang, nanti telat!"
Kirana berusaha fokus mengancingkan seragam Freya, meski pikirannya masih berkelana. Ia merutuki kecerobohannya dan juga kecerobohan bosnya itu. Hari ini baru dimulai, tapi suasana di rumah ini sudah terasa sangat berbeda dari kemarin.
Setelah siap, Kirana menggandeng Freya turun untuk sarapan. Di tangga, ia melihat Bastian sudah tampil rapi dengan setelan jas mahalnya, kembali menjadi sosok pria kaku dan formal seperti biasanya. Saat mata mereka bertemu, Bastian langsung membuang muka dan berdehem dingin, seolah kejadian memalukan di kamar tadi tidak pernah terjadi.
Dasar Kelinci Gede gengsian, batin Kirana kesal sambil tetap melangkah menuju ruang makan.
di bab sblm nya jg gitu aku masih diem..eeh ini ketemu lg..kesel sm majikan boleh² aja tp g mesti ngebatin dengan kata² kotor.