Sejak usia tujuh tahun, Putri Isolde Anastasia diasingkan ke hutan oleh ayahandanya sendiri atas hasutan selir istana. Bertahun-tahun lamanya, ia tumbuh jauh dari istana, belajar berburu, bertahan hidup, dan menajamkan insting bersama pelayan setia ibundanya, Lucia. Bagi Kerajaan Sylvaria ia hanyalah bayangan yang terlupakan. Bagi hutan, ia adalah pewaris yang ditempa alam.
Namun ketika kerajaan berada di ujung kehancuran, namanya kembali dipanggil. Bukan untuk dipulihkan sebagai putri, melainkan untuk dijadikan tumbal dalam pernikahan politik dengan seorang Kaisar tiran yang terkenal kejam dan haus darah. Putri selir, Seravine menolak sehingga Putri Anastasia dipanggil pulang untuk dikorbankan.
Di balik tatapannya yang dingin, ia menyimpan dendam pada ayahanda, tekad untuk menguak kematian ibunda, dan janji untuk menghancurkan mereka yang pernah membuangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alasan Dibalik Kepulangan Putri Anastasia
Di tengah hiruk-pikuk itu Anastasia bergerak sendiri, diam-diam langkahnya terarah menuju lemari besar di sudut ruangan. Jemarinya menyentuh ukiran pada kayu, ingatannya melayang pada masa kecil ketika ia kerap bersembunyi di sana. Ia masih mengingat dengan jelas, tempat itu pernah menyimpan botol-botol obat yang diberikan Lady Morgana pada Ratu Lysandra.
Dengan tenang ia membuka lemari. Bau samar yang masih terekam diingatan tercium di kayu tua. Bibir Anastasia melengkung tipis.
“Jadi, kau masih menyimpannya…” gumamnya lirih.
Sementara para pelayan sibuk menyingkirkan barang-barang lain, Anastasia dengan cepat menyelipkan beberapa botol kecil berisi cairan gelap ke balik lengan bajunya. Ia menyimpannya di kantung tersembunyi yang sudah ia siapkan, sebelum menutup kembali pintu lemari seolah tak terjadi apa-apa.
Ketika semua barang Lady Morgana akhirnya ditumpuk di luar paviliun, Anastasia menoleh pada prajurit yang berjaga. “Antarkan kembali pada Lady Morgana. Jika ia menolak, buang semuanya ke gudang. Paviliun ini milik ibuku dan sekarang milikku. Tidak ada lagi tempat bagi bayangan seorang selir di sini.”
Morgana meraung marah, wajahnya merah padam namun tidak berdaya menghadapi keterdiaman sang raja.
Obor-obor besar menyala di dinding ruang rapat, bayangan api menari di atas lantai. Raja Roland duduk di kursi berlapis emas kebesarannya.
Lady Morgana melangkah maju dengan gaun hitam yang berkibar, wajahnya masih diliputi amarah yang belum padam. “Yang Mulia, apakah Anda akan membiarkan gadis itu mempermalukan kita semua? Ia menyerobot paviliun yang selama sepuluh tahun hamba rawat dengan penuh pengorbanan!”
Putri Seravine ikut maju, menunduk dengan kelemahlembutan namun bibirnya tersenyum sinis. “Ayahanda, mohon izinkan hamba berbicara. Bukankah sudah jelas? Kakak bersikap seenaknya karena terbiasa hidup di hutan. Maafkan hamba harus berkata jujur ayahanda. Kakak tidak pantas memimpin atau duduk sejajar dengan kita. Ia mungkin membawa penyakit, atau bahkan racun yang menodai istana kita. Bagaimana jika rakyat tahu ia tidak pernah menerima pendidikan istana? Apakah itu tidak akan mempermalukan keluarga kerajaan Sylvaria?”
Beberapa bangsawan yang hadir bergumam setuju, sebagian lainnya memilih diam menunggu reaksi sang raja.
Morgana menambahkan dengan nada penuh racun, “Jika ia dibiarkan Yang Mulia, maka seluruh istana akan menganggap perintah Anda bisa diabaikan. Hari ini ia merebut paviliunku. Esok, siapa tahu ia akan merebut singgasana Anda.”
Raja Roland mengetukkan jari-jarinya di sandaran kursi, sorot matanya gelap. Ia tidak menjawab segera, hanya menatap api obor yang berkobar seakan mencari jawaban di sana. Keheningannya membuat Morgana semakin gelisah, sementara Seravine menggertakkan giginya, keindahan wajah Anastasia masih membayang di kepalanya, menyalakan api iri yang tak tertahankan.
Di sisi lain, suasana berbeda terasa di paviliun Lili yang kini kembali bernyawa. Tirai putih bersih sudah tergantung di jendela, cahaya bulan menembus kaca menebar sinar perak ke dalam ruangan.
Anastasia duduk di kursi ukir milik ibundanya, jemarinya menyentuh ukiran bunga lili yang dulu kerap ia lihat sewaktu kecil. Di pangkuannya terbuka sebuah buku tua. Diari Ratu Lysandra yang ditemukan kembali di lemari tersembunyi.
Lucia datang membawa teh hangat dan duduk di sisi Putri. Matanya berbinar, seakan tak percaya.
“Yang Mulia… malam ini Anda kembali tidur di paviliun kerajaan. Sepuluh tahun lamanya hamba hanya bisa membayangkan saat ini tiba. Sekarang… hamba benar-benar ada di sini, menemani Anda.”
Anastasia tersenyum tipis penuh keteguhan. “Lucia, ini bukan akhir, ini baru permulaan. Paviliun ini akan menjadi saksi perjuanganku, seperti dulu ia menjadi saksi kebesaran Ibunda.”
Lucia menunduk, suaranya bergetar.
“Hamba akan tetap melayani Putri, sampa napas terakhir.”
Cahaya bulan menyoroti wajah Putri Anastasia, memperlihatkan kekuatan dan kelembutan sekaligus. Pohon-pohon taman bergoyang pelan ditiup angin malam, seolah menyambut kembalinya pemilik sah paviliun itu.
Malam itu istana terbagi dalam dua dunia, satu dipenuhi bisikan intrik, satu lagi dipenuhi tekad yang mengeras bagai baja.
Ruang rapat istana semakin sunyi setelah rentetan provokasi Lady Morgana dan Putri Seravine. Api obor yang berkobar di dinding seolah ikut menahan napas, menanti kata-kata Raja Roland.
Akhirnya, sang raja angkat bicara. “Cukup.”
Morgana dan Seravine langsung terdiam, meski wajahnya masih merah oleh amarah.
Roland menoleh pada putrinya, sorot matanya melunak. “Seravine… kau berbicara seolah-olah istana ini akan runtuh karena kehadiran saudara tirimu. Namun apakah kau lupa? Siapakah yang menolak untuk menikah dengan Kaisar Lexus?”
Seravine tersentak. Bibirnya terbuka, namun ia tak mampu segera menjawab.
Roland berdiri dari kursinya, jubah kerajaan jatuh anggun menyapu lantai seolah menunjukkan kebesarannya. Ia melangkah menghampiri Seravine, lalu menyentuh dagu putrinya agar menatap ke arahnya.
“Kau menolak Lexus karena kau tahu ia kejam, karena kau tahu ia memiliki banyak selir dan tidak akan memperlakukanmu sebagai seorang permaisuri. Kau ingin Ayah melindungimu dengan tidak menikahkanmu dengannya, dan Ayah melakukannya.”
Mata Seravine berkaca-kaca. “Ayahanda… hamba hanya tidak ingin menjadi korban.”
Roland tersenyum tipis, lalu mengusap kepala Seravine dengan lembut. “Dan kau tidak akan menjadi korban, Seravine. Kau putri kesayanganku, tidak ada seorang pun yang akan menyeretmu ke tangan kaisar tiran itu selama Ayah masih hidup.”
Beberapa bangsawan menundukkan kepala, menyadari begitu besarnya kasih sayang Raja Roland pada Seravine. Namun di sisi lain, kata-kata itu juga menyingkap kenyataan pahit bahwa kemungkinan besar, putri yang dikorbankan untuk Lexus bukanlah Seravine… melainkan Anastasia.
Morgana menutup mulutnya rapat-rapat, meski hatinya mendidih. Ia tahu Roland tidak akan menyingkirkan Seravine. Maka satu-satunya penghalang bagi ambisinya sekarang adalah putri Lysandra, Isolde Anastasia. Sangat bagus kalau putri buangan itu dikorbankan untuk Kaisar Lexus.
Rapat malam itu berakhir dalam ketegangan. Raja Roland keluar dengan Seravine di sisinya, melindungi sang putri bagaikan mutiara berharga.
Di paviliun yang kini kembali menjadi miliknya, Anastasia duduk di hadapan meja kecil berukir emas. Lucia baru saja menarik keluar botol berwarna hijau pekat dari peti kayu yang mereka temukan di kamar Lady Morgana. Dengan hati-hati, Anastasia membuka tutupnya.
Sekejap kemudian, udara kamar dipenuhi aroma menusuk dan memualkan. Hidung mereka berdua langsung mengernyit.
“Ini…,” bisik Lucia, suaranya bergetar. Ia menatap cairan berwarna bening kehijauan itu dengan sorot ngeri.
Putri Anastasia bersuara nyaris berbisik. “Conium maculatum… racun yang melumpuhkan otot hingga penderitanya mati perlahan. Aku pernah membaca catatan tabib tua.”
Lucia terdiam, wajahnya berubah pucat. “Gejalanya persis seperti…”
Anastasia menoleh cepat, kedua matanya menyipit tajam. “Seperti apa?” tanyanya tegas.
Lucia menggenggam botol itu erat, seolah takut benda tersebut tiba-tiba melompat. “Seperti yang dialami ibunda Yang Mulia… Ratu Lysandra. Kelumpuhan otot, kesulitan bernafas, lalu… kematian yang perlahan.”
Jantung Anastasia seakan berhenti sesaat. Wajahnya menegang, lalu tatapannya berubah membara, bagai bara api yang disiram minyak. Ia berdiri dengan kedua tangannya yang terkepal.
“Lady Morgana…” gumamnya dengan nada dingin. “Aku tidak akan membiarkanmu mati dengan mudah. Kau akan merasakan apa artinya kehilangan… sebagaimana aku merasakan kehilangan ibuku.”
Lucia menunduk, ikut merasakan amarah yang dipendam majikannya.
kaisar tiran bakalan tunduk/luluh gak sama putri Anastasia??? 🙂🙂🙂
meskipun udah sah tp itu keterlaluan