The Forgotten Princess Of The Tyrant Emperor
Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan hutan Moonveil ketika fajar perlahan merekah. Cahaya keemasan menembus celah dedaunan, menciptakan bayangan panjang di atas tanah lembap. Burung-burung kecil berkicau riang, menghiasi kehidupan seorang putri kerajaan yang terbuang dari istananya sendiri.
Dialah Putri Isolde Anastasia, darah sah dari Ratu Lysandra dan Raja Roland yang sejak usia tujuh tahun diasingkan oleh ayahandanya sendiri atas hasutan selirnya, Lady Morgana. Hutan Moonveil adalah rumah yang menjadikannya berbeda, tajam, berani, dan tak terbiasa tunduk.
Putri Anastasia mengenakan gaun dari kain linen kasar berwarna gading. Gaun itu jauh dari kemewahan balutan sutra istana, namun tetap tampak anggun di tubuhnya yang lentur. Rambut hitamnya dikuncir setengah, diikat dengan pita kulit rusa hasil tangkapannya sendiri. Di pinggangnya tergantung sebilah belati pendek, sarungnya dari kulit cokelat tua yang sudah mulai usang.
Dengan langkah ringan, sang putri mendekati rusa muda yang tengah merumput di tepi rawa. Ia mengangkat busur kayu yang dipahat dengan tangannya sendiri, menarik tali dengan mantap. Gerakannya tidak kikuk seperti seorang bangsawan, melainkan cekatan seperti pemburu hutan. Jemari lentik yang seharusnya hanya tahu menyentuh sutra dan permata kini terbiasa merasakan tegangnya tali busur.
Swiiish! Anak panah melesat, menembus udara. Rusa itu terperanjat dan tak lama terjatuh menapak rerumputan hutan.
“Putri Anastasia!”
Sebuah suara nyaring datang dari arah semak. Seorang wanita setengah baya berlari kecil, sambil mengangkat rok panjangnya agar tak tersangkut ranting. Gaun wol lusuh berwarna kelabu membalut tubuhnya, ditambah celemek cokelat yang kotor oleh tanah dan abu dapur. Dialah Lucia, pelayan setia yang dahulu mengabdi pada Ratu Lysandra, kini mengabdikan sisa hidupnya untuk sang putri.
Lucia terengah, matanya membulat cemas melihat bangkai rusa di tanah. “Putri… apakah tidak cukup hanya memancing ikan di sungai? Mengapa Putri harus menantang binatang sebesar itu?”
Putri Anastasia menoleh perlahan, menatap Lucia dengan sorot mata dingin namun berwibawa. Ia berjalan mendekat, gaun linen miliknya menyapu rumput basah di sepanjang langkahnya. “Jika aku hanya tahu cara memancing ikan, bagaimana kita bisa bertahan hidup di hutan ini, Lucia?” ucapnya tenang.
Ia meraih tanduk rusa yang sudah tak bernyawa, mengangkat kepalanya seakan memperlihatkan trofi. Cahaya pagi membingkai wajahnya yang muda namun tegas, menegaskan keteguhan seorang gadis tujuh belas tahun yang tumbuh bukan dengan dongeng peri, melainkan dengan darah, keringat, dan tanah.
Lucia berdesir, di matanya Putri Anastasia bukanlah anak yang terbuang. Ia adalah singa betina muda yang perlahan ditempa oleh hutan untuk kelak merebut kembali apa yang menjadi haknya.
Dengan bantuan Lucia, tubuh rusa hasil buruan diikat pada sebatang kayu panjang. Keduanya memanggulnya bersama-sama melewati jalan setapak yang dipenuhi akar menjalar. Kabut pagi mulai menipis, berganti dengan aroma tanah basah dan suara dedaunan yang bergoyang diterpa angin.
Tak lama menelusuri jalan, tampaklah sebuah pondok kayu sederhana di antara pepohonan. Atapnya terbuat dari jerami kering, dindingnya dari batang pinus yang disusun rapat. Meski jauh dari kemegahan istana, pondok itu kokoh dan hangat. Di sekelilingnya terdapat kebun kecil tempat Lucia menanam sayuran liar seperti kubis, wortel, dan beberapa tanaman obat.
Putri Anastasia menurunkan hasil buruannya, lalu melangkah masuk ke dalam. Ruangan itu hanya terdiri dari satu aula besar dengan tungku batu di sudut, meja kayu kasar, dan rak tempat beberapa peralatan tersimpan.
Lucia segera menyalakan api, menggantung periuk besi di atas tungku, dan menyiapkan bumbu seadanya. Gaun wol lusuhnya tersibak sedikit, memperlihatkan kaki yang penuh luka gores akibat semak belukar. “Hari ini kita bisa makan enak, Putri,” katanya lirih, bukan karena sekadar rasa di lidah. Tapi perasaan terluka mengingat hari ini tepat sepuluh tahun Putri Anastasia diasingkan ke hutan.
Putri Anastasia duduk di bangku kayu. Ia melepaskan ikatan kulit rusa di pinggangnya lalu menaruh belati ke atas meja. Cahaya api memantulkan kilau dingin pada bilahnya. Dari cara ia menatap senjata itu, jelas terlihat bahwa baginya belati bukan sekadar alat bertahan hidup melainkan sahabat setia yang selalu siap melindunginya.
Lucia menoleh, menatapnya dengan lembut. “Putri seharusnya tidak tumbuh dalam keadaan seperti ini. Tangan yang halus itu seharusnya memegang pena emas, bukan busur kayu. Mata yang indah itu seharusnya menyaksikan pesta dansa di aula istana, bukan kabut hutan yang kelabu.”
Putri Anastasia menegakkan tubuhnya, menatap api yang bergejolak di tungku. Senyum samar muncul, namun matanya tetap tajam dan penuh perhitungan. “Aku tidak menyesali hutan, Lucia. Istana itu membuangku, tapi hutan ini memberiku kehidupan. Di sini aku belajar bahwa kelemahan hanya akan mengundang kematian. Dan aku… tidak berniat mati.”
Keheningan menyelimuti pondok. Hanya suara kayu terbakar yang terdengar, berderak pelan seakan mengamini kata-kata sang putri. Hutan Moonveil bergemuruh pelan diterpa angin, seolah ikut mengakui seorang penguasa yang tumbuh di dalamnya. Bukan di atas takhta emas melainkan di atas tanah liar yang keras.
Malam turun perlahan di hutan Moonveil. Udara menjadi dingin, dan suara serangga bergema dari segala arah. Api unggun di depan pondok menyala hangat, lidah apinya menari-nari melemparkan cahaya oranye ke wajah Putri Anastasia. Ia duduk di sebuah bangku kayu rendah, mengenakan gaun tidur sederhana dari kain wol tipis berwarna biru gelap. Rambut panjangnya terurai bebas, berkilau diterpa cahaya api. Dari sudut pandang manapun, ia tetap terlihat seperti seorang putri meski tak ada mahkota emas yang menghiasi kepalanya.
Lucia sibuk di dalam pondok, merapikan sisa santapan malam. Sesekali ia menoleh ke arah sang putri dengan sorot mata penuh kasih dan cemas. Namun ia tahu di dalam diri Putri Anastasia ada kekuatan besar yang akan muncul saat waktunya tiba.
Putri Anastasia mendongak menatap langit. Bintang-bintang bertaburan, seakan menghamparkan selendang perak di atas kanvas malam. Matanya yang biru pucat memantulkan cahaya bintang, seolah mencari sesuatu di antara kerlip itu.
“Lucia,” ucapnya pelan, suaranya seperti bisikan yang terseret angin. “Apakah Ibunda pernah memandang langit yang sama? Apakah ia pernah menitipkan doanya di antara bintang-bintang itu… untukku?”
Lucia terdiam, tangannya berhenti merapikan kain. Ia ingin menjawab, tapi kata-katanya selalu berakhir dengan tangis yang tak pernah sempat ia keluarkan.
Putri Anastasia tersenyum samar, namun sorot matanya lebih dingin dari udara malam. “Aku akan menemukannya, Lucia. Aku akan menemukan kebenaran tentang kematian Ibunda.”
Di tengah keheningan malam, Putri Anastasia tampak seperti bayangan takdir itu sendiri. Gadis muda yang dipaksa menjadi singa betina, dengan hati penuh luka, dan tekad yang kelak akan mengguncang singgasana yang pernah menolak darahnya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Ratih Tupperware Denpasar
masih menyimak dulu
2025-09-14
0