Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hartono Brotoadikusumo
Senyum kecut di wajah Arjuna bukanlah tanda kepasrahan, melainkan tanda bahwa kesabarannya telah habis. Ia tidak akan membiarkan kesalahan yang sama terjadi dua kali di depan matanya. Ia tidak akan menunggu hingga detik-detik terakhir.
Saat si 'perawat' itu baru saja akan memulai kompresi dada yang kedua, Arjuna bergerak.
Ia tidak lagi ragu-ragu. Ia langsung menembus kerumunan, langkahnya cepat dan penuh tujuan.
"Minggir!" katanya. Suaranya tidak keras, namun mengandung otoritas dingin yang sama seperti saat di dalam ambulans, membuat orang-orang di dekatnya refleks memberi jalan.
"Hei! Apa yang kamu lakukan?! Saya sedang menolong pasien!" teriak si perawat, kaget dan marah karena diinterupsi.
Arjuna tidak menjawab. Ia menyingkirkan tangan si perawat dari dada sang kakek dengan satu gerakan yang sopan namun sangat tegas dan tak terbantahkan. Tanpa mempedulikan teriakan protes dari si perawat atau gumaman kaget dari kerumunan, Arjuna berlutut.
Ia tidak melakukan CPR. Ia tidak melakukan hentakan. Ia melakukan sesuatu yang tidak masuk akal bagi semua orang yang melihat.
Dengan bimbingan insting dan kekuatan cincinnya, Arjuna menempelkan dua jarinya di satu titik spesifik di bawah tulang selangka sang kakek. Ia memejamkan mata sejenak, berkonsentrasi, lalu menekan titik itu dengan keras dan singkat.
DEG!
Sebuah denyut energi yang samar dan tak terlihat oleh mata biasa seolah mengalir dari jari Arjuna ke dalam tubuh sang kakek.
Seketika itu juga, keajaiban terjadi.
Tubuh sang kakek yang tadinya lemas dan membiru, tiba-tiba tersentak hebat seolah baru saja disetrum. Matanya terbuka, dan ia terbatuk dengan keras, menghirup udara dengan rakus seolah baru saja muncul dari dalam air. Wajahnya dengan cepat kembali mendapatkan warnanya. Penyumbatan di dalam tubuhnya seolah lenyap begitu saja.
Hening. Total.
Si perawat menatap dengan mulut ternganga, tangannya masih membeku di udara. Ia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Tidak ada penjelasan medis untuk itu. Kerumunan orang terdiam, menyaksikan keajaiban yang mustahil.
Sebelum si perawat atau siapa pun sempat memproses keajaiban itu dan bertanya, Arjuna langsung berdiri. Ia menatap sang kakek yang kini sudah ditangani oleh istrinya yang menangis haru, memastikan ia sudah aman.
Lalu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berbalik badan dan dengan cepat menghilang di antara keramaian lalu lintas, seolah ia tidak pernah ada di sana. Meninggalkan kebingungan total, seorang kakek yang selamat secara ajaib, dan seorang 'perawat' yang ilmunya baru saja dipatahkan oleh sebuah sentuhan misterius.
Keheningan yang tadinya mencekam kini pecah oleh suara batuk sang kakek dan isak tangis bahagia dari istrinya.
"Pak! Bapak! Kamu tidak apa-apa, Pak!" Sang nenek memeluk suaminya yang masih terduduk lemas di aspal, air matanya membasahi kemeja kusam pria tua itu.
Setelah memastikan suaminya benar-benar bernapas, sang nenek mengangkat kepalanya, matanya yang sembab mencari-cari di antara kerumunan. Ia ingin mengucapkan terima kasih, ia ingin bersujud di kaki pemuda yang baru saja mengembalikan belahan jiwanya dari ambang kematian.
"Pemuda tadi... di mana dia?" tanyanya pada orang-orang di sekitarnya. "Mana pemuda yang menolong suami saya?"
Orang-orang ikut mencari, menoleh ke kanan dan ke kiri. Tapi sosok pemuda berpenampilan sederhana itu telah lenyap, ditelan oleh keramaian kota seolah ia hanyalah bayangan. Sang nenek hanya bisa menatap kosong, hatinya dipenuhi rasa terima kasih yang tak tersampaikan.
Sementara itu, wanita yang mengaku sebagai perawat masih terduduk di atas lututnya, membeku. Wajahnya pucat pasi. Ia menatap tangannya sendiri, lalu ke arah sang kakek yang kini sudah bisa berbicara dengan terbata-bata. Pikirannya kosong. Semua yang ia pelajari, semua prosedur darurat yang ia hafal, terasa seperti lelucon. Ia datang sebagai seorang ahli, seorang penolong, namun ia baru saja dipermalukan oleh sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan. Rasanya seperti sebuah tamparan keras yang tak terlihat, meninggalkan bekas yang panas dan memalukan di harga dirinya.
Kerumunan orang mulai berbisik-bisik, suara mereka penuh dengan ketakjuban.
"Ajaib... disentuh begitu saja langsung sadar..."
"Ilmu apa itu tadi ya? Kayak di film-film..."
"Datang tiba-tiba, pergi tiba-tiba. Siapa anak itu?"
Beberapa saat kemudian, sirene yang sejak tadi mereka tunggu akhirnya tiba. Sebuah ambulans datang dengan tergesa-gesa. Dua orang petugas medis melompat turun dengan tandu dan peralatan darurat, siap untuk menangani kasus henti jantung.
Mereka tampak sangat bingung saat mendapati pasien mereka sudah duduk dan sadar, meskipun masih terlihat sangat lemah.
"Lho? Apa yang terjadi? Laporannya pasien tidak sadarkan diri," tanya salah satu petugas pada kerumunan.
Beberapa orang mencoba menjelaskan secara bersamaan.
"Tadi memang pingsan, Mas! Mukanya sudah biru!"
"Terus ada anak muda datang..."
"...nggak tahu diapain, cuma disentuh dadanya, eh langsung batuk-batuk!"
"...langsung pergi orangnya, nggak tahu ke mana!"
Para petugas medis itu saling berpandangan, jelas skeptis dengan cerita yang terdengar seperti dongeng itu. Mereka mendekati sang perawat yang masih syok untuk meminta keterangan yang lebih profesional, namun wanita itu hanya bisa menggelengkan kepala dengan tatapan kosong.
"Sudah, sudah," kata petugas medis senior, memutuskan untuk fokus pada pasien. "Walaupun sudah sadar, Bapak tetap harus kami bawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lengkap. Kita harus pastikan tidak ada masalah lain."
Sang kakek, dengan bantuan istrinya, akhirnya dipindahkan ke atas ranjang troli dan didorong masuk ke dalam ambulans. Sebelum pintu ditutup, sang nenek masih sempat menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru, matanya yang tua masih berharap bisa menemukan wajah penolong misterius suaminya.
Ambulans itu pun melaju pergi, meninggalkan keramaian yang perlahan mulai bubar, masing-masing membawa cerita luar biasa mereka sendiri. Yang tersisa hanyalah sang perawat yang masih terduduk di trotoar, sendirian dengan rasa malunya, dan sebuah legenda baru yang mulai berbisik di sudut jalanan Jakarta tentang seorang pemuda dengan sentuhan ajaib.
Arjuna tidak pernah tahu, dan mungkin tidak akan pernah menduganya. Pasangan tua yang ia tolong di pinggir jalan yang ramai itu bukanlah orang sembarangan. Mereka memang terlihat sederhana sore itu, hanya mengenakan kemeja batik dan kain biasa. Tapi itu karena mereka sedang sengaja berjalan santai di lingkungan rakyat biasa untuk melatih kesehatan mereka, mencoba untuk sesaat lepas dari sangkar emas yang selalu mengelilingi mereka.
Kakek yang ia selamatkan adalah Hartono Brotoadikusumo, atau lebih dikenal sebagai Kakek Broto, seorang konglomerat pendiri dari Broto Group, salah satu perusahaan raksasa yang bisnisnya menggurita di berbagai sektor di Indonesia.
Saat ambulans tiba di rumah sakit paling mewah di ibu kota, status mereka yang sesungguhnya langsung terungkap. Tim dokter terbaik segera menyambut mereka. Kakek Broto tidak dibawa ke ruang gawat darurat umum, melainkan langsung ke sebuah kamar perawatan VVIP yang lebih mirip suite hotel bintang lima.
Di dalam ruangan itu, setelah serangkaian pemeriksaan canggih, seorang profesor dokter senior menatap hasil rekam medis Kakek Broto dengan kening berkerut.
"Ini sebuah keajaiban, Pak Broto," kata sang profesor. "Tidak ada tanda-tanda kerusakan pada jantung sama sekali. Saturasi oksigen dan tekanan darah Bapak sudah kembali stabil dengan sangat cepat. Kami hanya menemukan sedikit iritasi di tenggorokan, seolah Bapak sempat tersedak hebat. Tapi selain itu, semuanya bersih. Jujur, kami tidak bisa menjelaskan secara medis bagaimana kondisi Bapak bisa pulih secepat ini."
Kakek Broto, yang kini sudah berbaring dengan nyaman di ranjangnya, hanya tersenyum tipis. Ia tahu apa yang terjadi bukan keajaiban medis, melainkan keajaiban dari tangan seorang pemuda asing.
Istrinya, Nenek Lastri, duduk di sampingnya sambil terus mengucap syukur.
Setelah sang profesor dokter pergi, wajah Kakek Broto yang tadinya terlihat lemah berubah menjadi tegas dan penuh wibawa. Tatapan seorang pebisnis ulung yang telah membangun kerajaan dari nol kembali terpancar. Ia menekan sebuah tombol di samping ranjangnya.
Tak lama, seorang pria tegap berpenampilan eksekutif dengan setelan jas mahal masuk dan membungkuk hormat. Dia adalah Hendra, asisten pribadi sekaligus kepala keamanan kepercayaan Kakek Broto.
"Hendra," panggil Kakek Broto, suaranya masih sedikit lemah namun penuh dengan perintah yang tak terbantahkan. "Saya mau kamu kerahkan semua orang."
"Siap, Pak. Apa yang harus kami lakukan?" jawab Hendra sigap.
"Tadi, saya hampir mati di pinggir jalan," lanjut Kakek Broto. "Bukan karena jantung. Saya tersedak. Dan seorang pemuda menyelamatkan saya."
Ia menatap Hendra dengan tajam. "Cek semua CCTV di sekitar lokasi kejadian. Toko, lampu merah, gedung perkantoran, apa saja yang bisa kau dapatkan. Saya mau lihat wajah pemuda itu dengan jelas. Saya mau tahu siapa dia."
Kakek Broto berhenti sejenak, menarik napas. "Temukan pemuda itu. Apapun caranya. Berapapun biayanya."
Nenek Lastri menimpali dengan suara bergetar. "Benar, Hendra. Kami bahkan tidak sempat mengucapkan terima kasih. Pemuda itu... dia seperti malaikat yang diutus untuk kita. Kita harus membalas budinya."
Hendra mengangguk mantap. "Baik, Pak. Baik, Bu. Akan segera saya laksanakan."
Ia membungkuk hormat sekali lagi, lalu berbalik dan keluar dari ruangan. Ponsel sudah menempel di telinganya bahkan sebelum pintu tertutup, suaranya terdengar memberi instruksi dengan cepat dan efisien.
Sebuah operasi pencarian besar-besaran, dengan sumber daya tak terbatas dari Broto Group, kini telah dimulai.
Di ranjangnya, Kakek Broto menatap ke luar jendela VVIP-nya, memandang kerlip lampu kota Jakarta. Di suatu tempat di antara jutaan manusia itu, ada seorang pemuda misterius yang memegang kunci keajaiban. Dan Kakek Broto bertekad untuk menemukannya.
biar nulisny makin lancar...💪