NovelToon NovelToon
TAK AKAN KUKEMBALI PADAMU

TAK AKAN KUKEMBALI PADAMU

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Janda / Cerai / Obsesi / Penyesalan Suami
Popularitas:7.9k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.

Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.

Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.

Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 7. TRAUMATIS

Langit sore di kota kecil itu selalu tampak lebih lembut dibandingkan kota besar yang pernah menjadi rumah Lucia dulu. Cahaya jingga merambat di antara jendela toko swalayan tempatnya bekerja, seakan ingin menghibur semua penat yang melekat. Sudah lebih dari setahun ia menambatkan hidup di sini, bekerja, menyembuhkan diri, dan mencoba berdamai dengan bayangan yang tak pernah berhenti menguntit dari masa lalu.

Namun ada satu hal yang selalu mengusik rutinitasnya beberapa bulan terakhir. Evan.

Pria itu, entah bagaimana, selalu muncul di setiap pergantian shift atau bahkan di tengah-tengah kesibukannya mengatur rak. Ia berdiri di depan pintu kaca dengan senyum hangat yang selalu sama, seakan ingin menyinari sisi-sisi gelap dalam jiwa Lucia.

"Lucy," sapa Evan lagi sore itu, dengan suara yang terlalu ramah untuk seorang pelanggan biasa. "Kau tidak lelah? Dari jauh tadi aku lihat kau sibuk mengangkat kardus."

Lucia menghela napas, meletakkan botol minuman yang baru saja ia susun. "Evan, aku sudah bilang, jangan sering-sering datang. Orang bisa salah paham."

Pria itu tertawa pelan, tidak tersinggung sama sekali. "Biar saja. Mereka toh tak tahu apa-apa. Lagipula, siapa peduli kalau aku hanya ingin membeli air mineral setiap hari?"

"Setiap hari?" Lucia menoleh, menatapnya dengan alis terangkat. "Evan, bahkan aku hafal merek yang kau pilih. Itu jelas bukan kebetulan."

"Kalau begitu bagus, kan?" Evan menjawab enteng. "Itu artinya kita memang ditakdirkan sering bertemu."

Lucia hanya bisa menghela napas panjang, mencoba kembali pada pekerjaannya. Hatinya campur aduk, antara ingin tertawa karena tingkah Evan yang kekanak-kanakan dan ingin marah karena pria itu tidak mendengarkan larangannya.

Namun di balik penolakan-penolakan kecilnya, ada bagian lain dalam dirinya yang diam-diam merasa ... dihargai. Ditemani.

Hari itu berjalan lambat, hingga tiba pada momen yang akan mengubah suasana hatinya secara drastis.

Televisi di pojok swalayan yang biasanya hanya memutar iklan atau berita ringan, tiba-tiba menayangkan liputan khusus. Suara penyiar berita terdengar jelas meski volume tak begitu tinggi.

'Samuel Davidson, pengusaha muda yang tengah naik daun, kembali membuat gebrakan besar dengan akuisisi perusahaan teknologi di Los Angeles. Dalam usianya yang masih tiga puluh dua tahun, Davidson berhasil mengukuhkan posisinya sebagai salah satu tokoh bisnis paling berpengaruh di California.'

Lucia terhenti. Tangannya yang sedang menggenggam rak soda bergetar. Jantungnya seakan ditarik paksa ke masa lalu. Nama itu, nama yang sudah berusaha ia kubur jauh-jauh, kini kembali dipanggil dunia dengan penuh sanjungan.

Di layar, wajah Samuel terpampang jelas. Senyum penuh percaya diri, tatapan tajam yang dulu membuat Lucia jatuh cinta, kini menjelma menjadi pisau yang menusuk dalam. Semua kenangan buruk menyeruak: malam penuh luka, kata-kata tajam, pengkhianatan, penghinaan, hingga kehancuran yang membuat Lucia tercerabut dari kehidupan nyaman.

"Please ... stop ...," gumam Lucia lirih. Napasnya memburu. Tangannya gemetar hingga hampir menjatuhkan botol yang dipegang.

Saat itulah, Evan yang sejak tadi berdiri tidak jauh darinya segera menghampiri. Dengan cepat ia menarik Lucia ke dalam pelukannya.

"Lucy, look at me," ucapnya pelan namun tegas. Tangannya membungkus tubuh rapuh itu, hangat dan protektif. "Kau tidak perlu takut lagi. Dia sudah bukan bagian dari hidupmu."

Lucia mencoba menahan isak, namun tubuhnya terlalu lemah untuk berpura-pura tegar. Ia bersandar pada dada Evan, mendengar detak jantungnya yang stabil, berbeda jauh dari keguncangan dirinya sendiri.

Evan menunduk, membisikkan kata-kata menenangkan di telinganya. "Kau aman. Selama aku ada, tidak ada seorang pun yang akan menyakitimu lagi. Percayalah padaku, Lucy. No one will hurt you ... not anymore this time."

Lucia menutup mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam rasa aman yang entah kenapa terasa begitu nyata. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa ada seseorang yang benar-benar siap menampung kepingan-kepingan hatinya yang hancur.

Namun tanpa ia sadari, tatapan Evan menajam ke arah televisi. Sorot matanya bukan sekadar marah, melainkan penuh kebencian. Bibirnya mengatup rapat, rahangnya mengeras. Dalam hati ia berjanji, Samuel Davidson tidak akan pernah lagi menyentuh kehidupan Lucia, tidak akan pernah Evan izinkan pria brengsek itu membuat Lucia menangis.

Pelukan Evan masih erat, seakan ia sengaja menjadi benteng yang tak bisa ditembus oleh ingatan pahit. Aroma sabun lembut dari bajunya samar-samar menyelinap, bercampur dengan kehangatan yang menenangkan. Namun di balik semua itu, jantung Lucia berdebar terlalu cepat, bukan hanya karena rasa takut yang menyeruak, tapi juga karena kedekatan yang tak pernah ia sangka akan hadir dari seorang Evan.

"Aku ...lemah, bukan?" suara Lucia nyaris pecah, lirih seperti bisikan yang tertiup angin. "Aku sudah berusaha lari sejauh mungkin dari dia. Tapi wajahnya, suaranya, semuanya kembali dan itu masih menakutiku."

Evan mengusap punggung Lucia perlahan, seolah ingin menyalurkan ketenangan melalui sentuhan. "Lucy, dengarkan aku. Masa lalu memang tak bisa dihapus. Tapi itu juga bukan penjara. Kau punya hak untuk bebas, untuk bahagia. Jangan biarkan bayangannya merenggut kesempatanmu. Aku yang paling tahu kalau kau wanita yang kuat."

Lucia mengambil napas panjang, matanya memejam kuat. "Tapi aku takut, lihatlah tubuhku masih gemetar hanya mendengar namanya. Aku takut Samuel akan muncul di hadapanku lagi, dan aku akan runtuh."

"Kalau itu terjadi," Evan menunduk, bibirnya hampir menyentuh helai rambut Lucia yang jatuh di bahunya, "aku akan berdiri di hadapanmu. Aku yang akan menghadangnya. Kau tak perlu lagi berjuang sendirian. Tidak kali ini."

Ada ketulusan yang begitu dalam di suaranya, dan untuk sesaat, Lucia percaya. Ia mempercayai hangat itu, meski akalnya berteriak agar jangan terlalu bergantung.

"Apa kau sudah tahu yang terjadi padaku? Kalau pria itu mantan suamiku?" tanya Lucia, mendongakkan kepala untuk melihat Evan yang jauh lebih tinggi darinya.

Evan tersenyum, lalu berkata seraya mengelus kepala Lucia lembut. "Aku tahu lebih dari yang kau kira, Lucy. Aku hanya menghargaimu karena kau tidak mau menceritakannya."

Lucia melihat netra biru Evan, begitu lembut bagai samudera yang menenangkan. "Terima kasih karena tidak bertanya tentang itu."

Beberapa pelanggan masuk, membuat Lucia buru-buru menjauh dari pelukan itu. Pipi pucatnya berubah merona, dan ia menyeka sudut mata dengan tergesa.

"Terima kasih, Evan," ucapnya pelan, berusaha mengembalikan senyum meski wajahnya masih murung. "Tapi kau tidak harus melakukan ini. Kau tidak perlu terus datang hanya untuk memastikan aku baik-baik saja."

Evan tersenyum samar, menatapnya dengan mata yang menyimpan sesuatu lebih dari sekadar kepedulian.

"Hmp, tapi aku ingin bertemu denganmu. Aku sedang berusaha kembali padamu, loh," kata Evan blak-blakan, dengan bibir manyun seperti anak-anak.

Lucia tercekat. Kata-kata itu melayang di udara, membuat ruang sempit swalayan terasa sesak. Ia tidak berani menanggapi, hanya menunduk dan kembali membereskan rak yang tadi terganggu.

Evan, yang menyadari kegugupan itu, memilih mundur setapak. Ia mengambil botol air mineral ... ya, merek yang sama seperti biasanya, lalu berjalan ke kasir. Namun saat ia melangkah pergi, tatapannya kembali terarah pada televisi yang masih menayangkan wajah Samuel Davidson. Senyum hangat yang tadi ia berikan pada Lucia sirna digantikan oleh sorot dingin dan penuh dendam.

"Suatu saat," gumam Evan dalam hati, "kau akan membayar segalanya, Samuel."

Malam harinya, ketika swalayan sudah tutup dan Lucia pulang ke apartemennya yang sederhana, ia masih merasakan sisa keguncangan. Bayangan wajah Samuel seakan menempel di dinding-dinding pikirannya, memanggil rasa sakit yang selama ini berusaha ia kubur.

Lucia duduk di tepi ranjang, meremas jemarinya sendiri. Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar.

"Kenapa aku masih takut? Kenapa luka itu belum sembuh juga?" gumam Lucia.

Di saat seperti ini, biasanya ia hanya bisa menangis sendiri. Namun ponselnya bergetar, pesan dari Evan.

'Kau baik-baik saja? Kalau belum bisa tidur, aku bisa datang. Jangan salah paham, kurasa kau membutuhkan teman minum. Kebetulan aku suka beer kaleng.'

Lucia menatap layar lama sekali, tersenyum melihat alasan Evan. Seketika Lucia ragu. Ada bagian dirinya yang ingin mengatakan ya, ingin merasa aman dengan kehadiran seseorang. Namun ada pula bagian lain yang khawatir, apakah Lucia terlalu cepat memberi ruang bagi pria lain setelah semua yang terjadi?

Akhirnya ia hanya membalas singkat.

'Aku baik-baik saja. Terima kasih, Evan. Dan tidurlah.'

Jawaban itu sederhana, tapi cukup untuk membuat Evan tersenyum di kediamannya. Ia tahu Lucia belum siap membuka hati sepenuhnya. Namun ia juga tahu, setiap detik yang ia habiskan di sisinya perlahan meruntuhkan tembok yang dibangun oleh trauma.

Dan malam itu, saat Lucia tertidur dengan pikiran kalut. Evan duduk sendiri di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan berita-berita tentang Samuel Davidson. Jemarinya mengepal, penuh amarah.

"Lucy, My Love. Aku tidak akan mengampuni orang yang menyakitimu. Aku kembali kukira bisa menghancurkan keluargamu yang brengsek itu, tapi tampaknya target berubah. Aku berjanji ... aku akan melindungimu, meski harus menghancurkan dia dengan tanganku sendiri. Berani sekali dia menyentuh wanitaku," ucap Evan.

Pria penuh senyum nan hangat yang Lucia lihat tampaknya tidak ada malam itu, digantikannya dengan pria dengan pandangan tajam yang haus darah.

1
Ir
kemarin di cere, sekarang di cariin lagi, karep mu ki piye samsul hmm
Archiemorarty: Tahu, sebel kali sama si Samsul ini /Smug/
total 1 replies
Miss Typo
semoga apapun niat Samuel ke Lucia semua gagal total
Miss Typo
semangat Lucia
Ir
yeuhhh kocak, amnesia lu samsul
Archiemorarty: Hahaha 🤣
total 1 replies
Ir
kak aku baca Deren dari awal lidah ku belit bacanya Daren terus tauu
Archiemorarty: Awalnya namanya maunya Darren, malah takut aku hany kebelit nulisnya ntar 🤣
total 1 replies
Ma Em
Evan , Clara dan Derren tolong lindungi Lucia dari Samuel takut Samuel akan mencelakai Lucia.
Ariany Sudjana
benar kata Evand, jangan buru-buru untuk menghadapi Samuel, karena prioritas utama sekarang kondisinya Lucia, yang sangat terpuruk. untuk menghadapi Samuel harus dengan perhitungan matang
Archiemorarty: Benar, gitu2 si samsul itu ular licik
total 1 replies
Ir
seharus nya jangan takut Lucu injek aja lehernya si samsul, trus si Evan suruh pegangin
Archiemorarty: astaga, barbar sekali ya /Facepalm/
total 1 replies
Ma Em
Semangat Lucia sekarang sdh ada Evan yg akan melindungi dari siapa saja orang yg akan menyakitimu , jgn sampai kamu terpengaruh dgn hadirnya Samuel , biarkan dia menyesal akan bat dari perbuatannya sendiri , semoga Lucia dan Evan selalu bahagia .
Archiemorarty: Setuju itu /Determined/
total 1 replies
Ir
penyesalan itu emang datang nya di akhir samsul, kali di depan namanya pendaftaran 😆
Miss Typo
keluar dari RS nikah ya 😁
Ir
bucin terooooossss 😏
Archiemorarty: Cieee...iri cieeee /Chuckle/
total 1 replies
Miss Typo
berharap sih segera nikah mereka berdua 😁
Ir
nyari laki kaya Rion, Dante, Davian sama Evan di mana sih, laki² yg semua aku di rayakan di cintai secara ugal²an, yg mau berusaha keras untuk kesejahteraan wanita nya, bukan yg kita mulai sama² dari Nol terus 😌😌
Archiemorarty: Mereka ada kok..di dunia fiksi aja tapi /Cry/
total 1 replies
Ariany Sudjana
Evand benar Lucia, kamu tidak sendiri lagi, ada Evand yang jadi tameng.
Ir
ini kalo kata orang Indonesia, sakit perut bukannya priksa ke dokter malah cuma bilang magh kronis, magh kronis, mag kronis tok 😏
Archiemorarty: Sebel soalnya /Smug/
total 3 replies
Miss Typo
itu karna pola hidup Lucia selama ini kali ya, atau karna pikiran juga.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih
Archiemorarty: Betul sekali
total 1 replies
Miss Typo
apalagi ini thor,,, kenapa masalah blm juga usai, msh ada trs masalah dlm kehidupan Lucia, kpn Lucia akan bahagia bersama Evan? 😭
Miss Typo: huaaaaaa pasti aku nangis mulu bacanya 😭🫣
total 2 replies
Miss Typo
berharap secepatnya mereka berdua menikah 😁
Miss Typo
apakah mereka berdua akan sampai menikah suatu saat nanti?????
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!