Tanpa gaun putih, tanpa restu keluarga, hanya akad sunyi di balik pintu tertutup.
Aku menjalani hari sebagai pelayan di siang hari… dan istri yang tersembunyi di malam hari.
Tak ada yang tahu, Bahkan istri sahnya yang anggun dan berkelas.
Tapi apa jadinya jika rahasia itu terbongkar?
Saat hati mulai berharap lebih, dan dunia mulai mempertanyakan tempatku…
Istri Siri Om Majikan adalah kisah tentang cinta yang lahir dari keterpaksaan, tumbuh di balik status yang tak diakui, dan perjuangan seorang perempuan untuk tetap bernapas dalam cinta yang ia tahu tak pernah boleh ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 7
“Saya sudah banyak berkorban dan memenuhi apapun yang Abang Amri minta, tapi malah dia berselingkuh dengan Alda si janda kembang. Baiklah saya akan berjanji akan membalas dendam kepada kalian berdua,” batinnya Syifa yang bertekad untuk membalas perlakuannya Amri kepadanya.
Berselang beberapa menit kemudian, mobil mewah yang dipakai oleh Jamal sudah masuk ke jalan kampung-kampung yang masih berbatu dan beberapa sisi jalan yang berlobang sehingga mengganggu kenyamanan berkendara. Apalagi semalam turun hujan semakin memperparah kondisi jalan.
Syifa sengaja memakai beberapa perhiasan emas pemberian dari Jordan dan bergaya bak istri sultan ketika turun dari mobil.
Jalan ke rumahnya, tidak bisa dilalui jika menggunakan kendaraan roda empat mau tidak mau Syifa harus berjalan kaki beberapa meter hingga ke rumahnya.
“Kamu pasti bisa, hempaskan orang-orang yang tidak baik kepadamu dan meskipun itu adalah keluargamu sendiri. Waktumu terlalu berharga dan akan terbuang percuma jika Kamu harus hidup dengan bayang-bayang mereka yang jahat,” ucap Jamal sebelum mengemudikan mobilnya kembali menuju ke arah kota Jakarta.
“Makasih banyak Mas sudah dibantuin, insha Allah, saya akan melakukan apapun sesuai dengan nasehat dan masukannya Mas Jamal. Assalamualaikum,” ucapnya Syifa kemudian berjalan sambil mengangkat koper dan beberapa barang bawaannya.
Jamal hanya membalas ucapannya Syifa dengan senyuman. Rencananya dia akan mencari penginapan sebelum kembali ke ibu kota karena hampir lima belas jam berkendara, sehingga dia butuh beristirahat terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanannya.
Syifa memperhatikan sekitarnya sebelum kembali melanjutkan perjalanannya,” sudah setahun lebih saya nggak kembali tapi kampung ini masih sama nggak ada perubahannya.”
Syifa berulang-ulang menghela nafasnya melihat kondisi kampung tempat dia dilahirkan dan dibesarkan.
“Ya Allah, sampai kapan kampung kami seperti ini terus!? Nggak ada kemajuan apapun padahal katanya setiap tahun dana dari pemerintah pusat selalu mengalir ke dana desa. Terus dana desa itu dikemanakan, masa sih jalan kecil kayak gini nggak bisa diperbaiki,” gerutunya yang kesulitan berjalan.
Orang-orang yang kebetulan berpapasan dengannya di tengah jalan memindai penampilannya Syifa.
“Bukannya itu anak pertamanya almarhum Pak Badrul Munir yah?” Tanyanya seorang Bapak-bapak.
“Masya Allah, Syifa semakin cantik saja mirip betul dengan almarhumah ibunya,” pujinya yang lain lagi.
“Penampilannya yang memakai hijab semakin cantik saja dan bikin pangling,” puji yang lainnya.
Ada yang berbisik-bisik tetangga ada yang langsung bersuara di depannya dan tak sedikit suara sumbang yang didengarnya selama perjalanannya hingga sampai ke depan pagar rumahnya yang dulu hanya terbuat dari kayu sekarang terbuat dari batu.
Ia tidak peduli dengan suara-suara tidak baik yang sengaja mereka ucapkan untuk menghinanya. Baginya dia tidak melakukan hal-hal aneh selama bekerja di Jakarta, jadi dia santai saja dengan gunjingan orang-orang kampung.
“Darma, Sarah, Salwa Mbak kamu pulang dari Jakarta,” teriak Bu Halimah tetangganya yang kebetulan melihat kedatangannya.
“Nggak perlu berteriak-teriak seperti itu bibi, saya tidak akan berdiri terus di luar pasti saya akan masuk ke dalam kok,” cegahnya Syifa yang geleng kepala melihat tingkah adik dari almarhum ibunya.
“Nggak apa-apa anak cantik, bibi terlalu senang karena kamu akhirnya mudik ke kampung halaman kita, ngomong-ngomong kamu semakin cantik loh berbeda terakhir kalinya ketika kamu datang tahun lalu,” pujinya Bu Halimah.
Syifa tersenyum simpul,” bibi terlalu memuji padahal sama saja kok nggak ada yang berubah.”
Bu Darma dan Salwa serta anak bungsunya mendengar suara ribut-ribut itu hingga mereka berjalan cepat ke arah depan.
Betapa terkejutnya mereka melihat siapa yang datang, tulang punggung yang selama ini memberikan mereka makan selama pak Badrul meninggal dunia.
“Mbak Syifa!” Teriak kedua adiknya yang berhamburan memeluk tubuh kakaknya itu.
Syifa hanya tersenyum tipis, karena adiknya selalu menyambutnya dengan sukacita meski dalam hati mereka hanya berpura-pura untuk menutupi kejelekan mereka. Hal itu berbeda dengan ibu tirinya yang terlihat masam dan wajahnya ditekuk tanpa mau capek-capek bersandiwara.
“Apa kabarnya kalian berdua, apa sekolahnya kalian lancar-lancar saja kan?” tanyanya Syifa.
“Mbak kok pulang nggak ngomong sama kami, tapi nggak apa-apa deh yang paling penting ada oleh-oleh spesial yang harganya mahal-mahal mbak berikan untuk kami berdua,” cerca Salwa.
Kedua adiknya belum menjawab pertanyaan dari Syifa Bu Darma langsung berbicara sedikit ketus.
“Kenapa harus mudik segala sih!? Bukannya harga tiket itu semakin mahal. Biaya pulang kampung pasti habis banyak seharusnya kamu nggak perlu balik dulu. Uang yang kamu pakai bayar ongkos bis itu bisa kamu kirimkan untuk belanja kami,” ujarnya Bu Darma yang tidak setuju anak tirinya itu pulang.
“Astaghfirullahaladzim Darma! Kamu itu seharusnya bersyukur kalau Syifa balik dari kota. Kamu yah nggak ada rasa syukur sudah dikasih makan gratis dibiayai hidup kalian bertiga, tapi melarang Syifa keponakanku balik kemari?” ketus Bu Halimah yang masih tidak percaya dengan sikap Darma.
“Lah kamu itu hanya orang luar nggak ada hak untuk berbicara apapun di depanku. Saya ini ibunya Syifa jadi berhak mengatur apapun itu mengenai kehidupannya Syifa,” sanggahnya Bu Darma.
Bu Halimah tersenyum mengejek,” lah nggak terbalik tuh apa yang barusan kamu katakan? Kalian itu lah yang orang lain nggak ada kaitannya dengan Syifa! Kamu itu hanya ibu tirinya dan kedua anakmu itu nggak ada hubungan darah sama sekali dengan Syifa. Apa Kamu melupakan kebenaran itu?”
Ucapannya Bu Halimah membuat ketiganya tertohok, tapi mereka yang sudah terbiasa memperlakukan Syifa dengan kasar tidak peduli.
“Ibu sudah nggak enak dilihat orang. Apa yang ibu katakan orang-orang sudah mendengarnya,” ucapnya Sarah yang mengingatkan kepada ibunya karena tidak ingin rahasia mereka terbongkar mengingat banyak tetangga yang melihat apa yang sedang terjadi saat ini.
“Kalian benar-benar manusia benalu nggak pernah ada rasa berterima kasih kepada Syifa yang sudah susah-susah dan jauh-jauh ke ibu kota bekerja hanya demi kalian, rumah yang kalian tempati sekarang adalah warisan dari kakeknya Syifa bapaknya Mbak Erna jadi kalian itu harus banyak-banyak istigfar agar tersadar dari kelakuan jelek,” tukasnya Bu Halimah sepupu dari ibunya Syifa.
Syifa mengusap lengannya Bu Halimah yang selalu ada untuk membelanya ketika ibu tirinya menyiksa ataupun menghinanya.
“Sudah bibi, jangan diperpanjang sudah biasa juga mendengarnya. Ngomong-ngomong Naurah sama Damar dimana bi? Saya ada oleh-oleh untuk mereka untuk bibi sama paman juga ada,” ucapnya Syifa agar pertengkaran itu segera berakhir.
Syifa santai saja mendengarkannya karena sudah menjadi kebiasaan dan makanan sehari-harinya setiap kali Syifa pulang.
Kedatangannya, bukannya disambut dengan kasih sayang dan kehangatan keluarga, tapi malah mendapatkan kata-kata kasar dari ibu tirinya.
Inilah salah satu alasan dia malas pulkam karena tidak nyaman, tetapi entah kenapa dia ingin sekali pulang. Untungnya dia pulang karena perselingkuhan kekasihnya pun terbongkar juga.
Allah SWT berbaik hati menolongnya untuk menunjukkan kepadanya kelakuan buruk pria yang berstatus calon suaminya itu.
“Alhamdulillah, Masya Allah, Nak kamu selalu mengingat kedua adik sepupumu itu. Katanya Naurah makasih banyak sudah kamu kirimkan hp yang bagus jadi bisa dipake belajar,” ujarnya Bu Halimah yang sengaja berbicara seperti itu di dengan Bu Darma karena ingin memanas-manasinya.
Bu Darma sampai melotot mendengarnya,” apa!? Syifa apa kamu benar-benar membelikan Naurah hp baru?” Tanyanya dengan nada suara yang cukup melengking.
“Iya benar sekali Bu, kenapa apa ada masalah dengan hal itu? Naurah adalah anak dari adik ibu kandungku sendiri jadi apa yang sudah saya berikan sah-sah saja. Hitung-hitung berbagi kebaikan dengan orang lain bukannya pahalanya besar dan semakin berkah rezeki yang kita dapatkan?” Ujarnya Syifa yang kali ini tidak mau diam saja mendengarkan ocehannya Bu Darma.
Bu Halimah sampai dibuat melongo keheranan mendengarnya karena selama ini biasanya Syifa hanya diam dan sabar saja apapun yang diperbuat oleh ibu sambungnya itu.
“Ya Allah, nak Syifa kamu akhirnya tersadar juga dari kebodohan kamu selama ini. Bibi sangat gembira melihat kamu yang seperti ini yang tidak mau lagi direndahkan dan diinjak-injak oleh ibu tirimu itu,” ujarnya Bu Halimah.
“Oh kamu sudah mulai berani melawan apa yang saya katakan rupanya! Ternyata ini yang kamu bawa pulang dari kota Jakarta!?” Bentaknya Bu Darma.
“Kalau ibu tidak menyukai ucapan saya terserah ibu saja. Ibu pergi dan angkat kaki dari rumahku lebih baik daripada selalu menjadikan saya sapi perah sedangkan ibu masih sehat walafiat untuk bekerja,” sarkas Syifa.
Sebenarnya dia kasihan juga kepada kedua adik sambungnya Itu, tapi sudah cukup dia bersabar dan diam melihat kelakuan jelek ibu Darma.
“Mulai hari ini sebaiknya ibu tinggalkan rumah orang tuaku! Saya tidak ingin kalian bertiga tinggal di rumah milik ibu saya!” Tegasnya Syifa.
Selama ini dia diam saja karena berharap Bu Darma bisa menyadari kesalahannya dan segera intropeksi diri untuk bertaubat. Tetapi bukannya bertaubat malah semakin menjadi saja.
Bu Halimah tertawa terbahak-bahak melihat raut wajahnya Bu Darma pias pucat pasi seperti sudah tidak ada aliran darah di wajahnya.
“Saya punya hak atas rumah ini karena suamiku Mas Badrul merenovasi rumah ini memakai uangnya semasa hidupnya jadi saya tentu saja berhak atas rumah ini,” tolaknya Bu Darma yang tidak mau diminta cabut dari sana.
“Hahaha! Darma oh Darma bagaimana coba caranya suamimu itu perbaiki ini rumah kalau suamimu semasa hidupnya cuma tukang becak dan buktinya mana kalau Mas Badrul yang renovasi!? Sedangkan rumah ini direnovasi bulan lima lalu memakai uang yang ditransfer Syifa ke nomor rekeningku. Kamu yah selalu saja bermimpi ketinggian dan mengada-ngada,” cibirnya Bu Halimah.
“Ada satu caranya agar ibu tetap bisa tinggal di sini mudah saja yaitu ikuti apapun yang saya katakan jangan pernah membantah kalau tidak kapan pun ibu harus siap-siap untuk tinggalin rumah ibuku ini,” putusnya Syifa.
Syifa memijit pelipisnya saking pusingnya karena dia kelelahan dalam perjalanan pulang ditambah dengan sikap kasar Bu Halimah yang tak pernah berubah.
“Ibu turuti saja apa yang dikatakan Mbak Syifa daripada kita semua jadi gelandangan. Emangnya ibu punya rumah lain?” Bujuknya Sarah.
“Tapi kan kita sudah bertahun-tahun tinggal di sini berarti ibu sama kita punya hak dong,” celetuk Salwa.
“Kamu kecil-kecil sudah pintar juga! Kalau gitu suka tidak suka tolong kemas barang-barang dan pakaian kalian! Saya tidak ingin melihat ada satupun barang kalian yang tertinggal di rumahku!” Ucap Syifa yang sedikit meninggikan volume suaranya agar mereka memahami ucapannya.
Pagi tadi, Naurah juga mengirimkan bukti-bukti kelakuan minusnya Bu Darma yang berselingkuh dengan seorang pria yang usianya lebih muda dan seringkali membawa kekasihnya itu ke rumahnya dan berbuat tidak senonoh di dalam rumah peninggalan mendiang ibunya.
Syifa masih bisa tenang menghadapi sikap kasarnya Bu Darma, tapi main serong layaknya perempuan murahan tidak bisa diterima oleh Syifa.
“Sebelum saya membeberkan rahasia ibu dengan Om Tono, sebaiknya cepat lah tinggalkan rumahku!” Gertak Syifa.
Bu Darma yang sadar jelas-jelas tidak mau kelakuan bejat nya terbongkar, tapi disisi lain dia juga kelimpungan gimana caranya dia akan membiayai kekasih brondongnya itu karena selama ini dia hidup dari belas kasihnya Syifa.
“Saya berikan waktu dua jam untuk berkemas-kemas! Saya akan beristirahat sejenak di rumahnya bibi Halimah,” seru Syifa kemudian meninggalkan ketiga orang yang dibuat pusing setengah hidup memikirkan nasib mereka selanjutnya.