Danendra dan Alena sudah hampir lima tahun berumah tangga, akan tetapi sampai detik ini pasangan tersebut belum juga dikaruniai keturunan. Awalnya mereka mengira memang belum diberi kesempatan namun saat memutuskan memeriksa kesuburan masing-masing, hasil test menyatakan bahwa sang istri tidak memiliki rahim, dia mengalami kelainan genetik.
Putus asa, Alena mengambil langkah yang salah, dia menyarankan agar suaminya melakukan program tanam benih (Inseminasi buatan). Siapa sangka inilah awal kehancuran rumah tangga tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunflowerDream, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lahirnya si kembar
Langit malam membentang pekat tanpa bintang, hanya rembulan yang samar-samar tertutup oleh awan tipis. Angin berembus pelan, mengelus dedaunan yang bergoyang tanpa suara. Di koridor rumah sakit yang sunyi terdapat dua manusia yang berjalan mengendap-ngendap sambil menggendong bayi dalam pelukan mereka. Pria yang memimpin jalan melirik arlojinya sebentar, sudah jam dua malam pantas saja rasanya sunyi sekali sebab tidak ada lagi aktivitas.
Danendra dan Via, dua insan itu berusaha membawa dua bayi kembar ke dalam ruangan persalinan VIP yang di mana dalam ruangan tersebut sudah ada Alena yang menunggu dengan perasaan cemas.
Malam ini mereka akan membuat skenario bahwa Alena melahirkan. Dokter Via yang bertugas sebagai dokter Alena, dia yang akan membantu wanita itu melahirkan. Sedangkan kekasihnya Hamdani bertugas untuk mengontrol CCTV, ia menyelinap masuk ruang monitoring berusaha menghapus adegan penyelinapan mereka yang membawa bayi kembar dari luar agar tidak terekam.
Alena sejak tadi tidak bisa berdiam diri, ia terus mondar-mandir di depan pintu menunggu kedatangan suaminya. Hawa terasa semakin tajam, pori-pori kecil pada kulit Alena mulai berdiri, rasa cemas dan khawatir membuat perasaannya semakin tidak sabaran.
Tidak lama akhirnya pintu itu bergeser, di susul dengan dua orang yang melangkah tergesa untuk memasuki ruangan tersebut. Alena terkunci pada posisi tubuhnya yang berdiri di balik pintu melihat kedatangan dua insan itu membuat Alena tercekat, ia dengan ragu berjalan mendekat menghampiri mereka yang baru saja selesai memindahkan bayi dalam gendongan mereka ke boks bayi yang tersedia.
Dalam sunyinya malam Alena merasakan napasnya sendiri saling beradu cepat, dua bayi yang indah terhampar di depan matanya. Wanita itu menutup mulutnya tidak percaya, ada air mata yang mengalir saat pertama kali melihat bayi-bayi itu.
“Alena!” panggil Danendra pelan, “ini anak kita, mereka sudah sampai.”
Rasa haru memenuhi relung hati Alena, dengan tangan yang bergetar wanita itu mencoba meraih bayinya, “boleh aku menyentuhnya?” pinta Alena pelan.
“Tentu saja, mereka pasti senang.” Alena dengan ragu mencoba meraih bayi laki-laki yang terpejam itu berusaha untuk menggendongnya, setelah mendapat izin dari Danen ia semakin memberanikan diri untuk menggedong bayi yang terlelap.
“Ini… anak kita Ndra?”
“Iya sayang, mereka bayi kita.”
“Berarti aku boleh menyebutkan diriku sebagai bunda?”
Danen mengangguk tipis, ia merasa senang melihat reaksi yang Alena tunjukkan. Perempuan itu notabane-nya adalah ibu tiri dari kedua bayinya tapi Alena terlihat sangat menyayangi dengan tulus kedua anaknya, bahkan dia juga ikut meneteskan air mata saat istrinya meneteskan air mata setelah mencium pelan wajah bayi itu.
“Ini bunda nak!” Alena terus memberikan pelukan hangat dan mencium gemas bayi-bayi itu secara bergantian, ia merasa bahagia sekali, seolah memang bayi-bayi ini terlahir dari rahimnya.
Terimakasih Alena sudah mau menerima anak-anakku.
Danen mengucapkan ribuan kalimat syukur melihat pemandangan di depannya. Kedua bayinya begitu disanjung oleh Alena, ia sempat khawatir wanita itu malah menolak anak-anaknya karena perlakuan dia selama ini, tapi ternyata Alena memang tulus dia tahu sejak dulu istrinya memang memiliki ketulusan yang tiada tara.
*******
Daniel Adera Hadikusuma
Danea Adera Hadikusuma
Di dalam ruangan bayi yang tenang, deretan boks bayi tersusun rapi, masing-masing di huni oleh bayi mungil yang terlelap atau merengek pelan. Lampu redup menerangi ruangan dengan cahaya hangat, menciptakan suasana nyaman. Beberapa bayi tertidur dengan wajah damai, jemari kecil mereka menggenggam udara atau selimut lembut yang menyelimuti tubuh mungil mereka.
Segerombolan orang terlihat berdiri saling menyelip di depan dinding kaca yang keras, mereka berusaha mencari cela agar bisa melihat sepasang bayi kembar yang terlelap dan di depan boksnya tertulis sebuah nama yang indah. Sepasang nama yang sudah dari beberapa bulan lalu menjadi perdebatan, setelah melalui perdebatan sengit akhirnya dua keluarga besar itu memutuskan untuk menggunakan nama itu Daniel dan Danea, nama anggota keluarga baru mereka akhirnya resmi terpajang menghiasi keranjang bayi itu berderet di antara nama-nama bayi lain.
Ada empat orang dewasa yang menatap penuh haru ke arah dua boks bayi yang menjadi tempat beristrirahat cucu-cucu mereka. Mereka ingin sekali menerobos masuk dan meraih kedua bayi itu tapi tertahan oleh tembok kaca ini.
“Dia cucuku.” Dharma bergumam pelan, binar matanya memancarkan rasa syukur dan rasa bangga secara bersamaan, bahkan rasanya sudah hampir ingin menangis karena melihat kedua cucunya secara langsung.
“Aleon… mereka sudah lahir.” Rasa tidak percaya terus menggerogoti hati pria paruh baya itu, rasanya baru kemarin dia menimang putri bungsunya dan sekarang dia harus menimang bayi dari putri kecilnya.
“Papa jangan nangis, malu.” Aleon berujar dengan asal, dia mengeluarkan apa yang ada dipikirannya. Melihat mata sang ayah sudah memerah ia segera mengingatkan, tidak etis jika pria tangguh seperti ayahnya harus menangis di depan dua besannya sendiri.
Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama hanya untuk menatap kedua bayi itu empat orang tersebut memutuskan untuk melihat keadaan Alena. Rombongan itu melangkah cepat ada banyak sekali pertanyaan yang ingin mereka lontarkan terhadap pasangan itu.
Bukh!
Bukannya mendapat salam Danen malah menerima pukulan dari tas mewah milik ibunya yang melayang tepat mengenai wajah putranya sendiri.
“Kamu gimana sih Ndra, koq baru ngabarin pagi-pagi gini.” Sang ibu menggerutu kesal karena mendapat kabar menantunya melahirkan di pagi hari, padahal kedua cucunya lahir di waktu subuh.
“Iya kamu gak anggap kita apa, Danen kamu punya keluarga jangan begini.” Aleon juga ikut mengomel, ia panik sekali saat baru saja membuka matanya melihat sang ayah yang kalang-kabut setelah membuka ponsel.
“Maaf, maaf semuanya aku gak bermaksud gitu. Aku juga panik waktu Alena mengeluh sakit perut, jadi tanpa pikir panjang aku langsung membawa Alena ke sini.”
“Terus kenapa Ndra baru ngasih kabar pagi-pagi? Kan, kamu tau Alena udah mules dari malam hari, seharusnya pas mules itu kamu kasih tau kita semua, jadi kita bisa sama-sama doain Alena waktu lahiran kalo ginikan Alena jadi berjuang sendiri.” Ibu Danen kembali mengomel ada banyak kekesalan yang ingin ia sampaikan kepada putranya, rasanya belum puas ingin sekali memukul wajah itu sekali lagi.
“Ya Ma, aku juga panik mana kepikiran mau ngambil HP. Alena udah meraung-raung kesakitan, kan gak mungkin aku tinggalkan Alena hanya untuk menelpon mama,”
“Tapikanㅡ”
“Ma, coba Mama di posisi aku, Alena mau lahiran aku harus berada di sampingnya Ma, dia udah teriak-teriak kesakitan gak mungkin Ma aku harus cari hp aku dulu, gimana sih.”
“Ndra, Mama tau tapi setidaknya kamu itu ㅡ”
“Udah, udah jangan ribut di depan pasien!” Dharma yang berdiri di antara mereka segera menengahi, dia menatap wajah pucat putrinya kasian sekali harus mendengar keributan yang dibuat oleh sepasang ibu dan anak.
“Kalo mau masih marahin Danen seret aja keluar, jangan di sini anakku harus istrirahat.” Pria paruh baya itu melanjutkan kalimatnya lalu setelah itu ia alihkan fokusnya untuk menatap lembut putrinya.
“Kamu hebat nak, anak papa kuat. Terimakasih ya udah bertahan.” Dharma memberi kecupan hangat tepat di dahi putrinya, “terimakasih, papa sayang banget sama kamu.” Pria itu terus memperlakukan putrinya dengan lembut tidak lupa dengan segala perhatian kecilnya di mulai dari mengusap kepala hingga memijit lengan anaknya.
Alena terdiam tidak lama tiba-tiba raut wajahnya berubah sendu, ia menatap sedih tatapan sang ayah yang terus menatapnya penuh cinta semakin lama ayahnya menatap maka hati kecil Alena semakin terluka.
“Kenapa? Ada yang sakit sayang?” Dharma bertanya penuh kekhawatiran sebab air mata putrinya mengalir begitu saja, “mau papa panggilkan dokter?” sang ayah sudah siap untuk menekan bel tapi Alena menggeleng.
“Lalu kamu butuh apa? Apa masih sakit, papa harus apa katakan saja!”
Alena merasa penuh dosa, setiap berhadapan dengan keluarganya apalagi ayah membuat dadanya sesak. Ia terlalu malu jika harus membalas tatapan tulus sang ayah, rasanya kurang pantas sosok penuh wibawa Dharma harus memiliki anak seperti iniㅡanak yang cacat terlahir tanpa rahim hingga menjadi aib jika semua orang tahu.
Maka Alena memaksakan dirinya untuk terus berbohong seperti ini, tidak ada jalan lain. Dia ingin menjadi seorang ibu dan ayahnya sangat mendambakan seorang cucu, jadi pura-pura hamil lalu mengakui anak orang lain menjadi pilihannya.
“Papa… “ panggil Alena pelan. Tubuhnya serasa mati rasa padahal bukan dia yang melahirkan, tapi tekanan dari dosa ini membuatnya tertekan.
“Apa sayang?” bukannya menjawab Alena malah kehilangan fokus, ia saat ini benar-benar kesulitan bernapas, dadanya naik turun kedua tangannya mengepal karena merasakan dingin yang entah dari mana.
“Alena, kamu denger papa, kan?” Aleon segera berlari lalu kembali dengan membawa nebulizer secara cekatan ia menyemprotkan alat itu tepat di mulut adiknya. Dia sudah membaca keadaan sejak pertama melihat Alena wanita itu menunjukkan gejala kesulitan bernapas, entah karena apa mungkin memang ini bagian dari efek melahirkan normal.
Dengan beberapa kali semprotan dada Alena kembali normal, dibantu Danendra wanita itu dipasangkan masker oksigen pada wajahnya. Gejala sesak napas Alena tergolong parah dan ini baru pertama kali. Biasanya jika serangan paniknya muncul ia hanya perlu menetralkan sendiri napasnya dan dalam beberapa detik ia bisa mengendalikan dirinya, walau masih ada keringat dingin yang tertinggal di pelipisnya.
Beruntung sekali Alena dikelilingi dokter, sehingga dengan cepat ia bisa ditangani tanpa harus menunggu dokter lain datang.
“Maaf!” di balik masker oksigen yang menghiasi wajahnya Alena merapalkan kata maaf, “maaf… “ ia mengulangi lagi ucapannya walau hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri, karena tubuhnya mulai melemah wanita itu seakan tidak memiliki tenaga untuk mengeluarkan suara.
Dokter Via muncul, wajah wanita itu juga tidak kalah pucat dengan kantung mata yang kentara. Sandiwara melahirkan ini sangat membuatnya kerepotan dia harus menyiapkan banyak hal sendiri, termaksud mengurusi dua bayi kembar itu dalam beberapa jam terakhir.
“Maaf semuanya, pasien harus check up dan beristrirahat.” Kalimat itu seakan ungkapan untuk mengusir semua orang di sini, tanpa diminta mereka semua segera keluar meninggalkan ruangan ini dan mempercayakan semua pada dokter itu.
Livia juga datang membawa kabar bahwa bayi itu sudah boleh dijenguk, dan sudah dipindahkan ruangan khusus jadi para keluarga bisa melihatnya.
Dengan baju pelindung yang sudah dikenakan kelima orang itu masuk ke sebuah ruangan mengunjungi kedua bayi yang masih terpejam di boksnya masing-masing, mereka berusaha tenang agar tidak menyebabkan keributan.
Ibu Danen dengan cepat langsung meraih salah satu bayi dan menggendongnya hati-hati wanita tersentuh saat berhasil merasakan cucunya pertama kali, bayi ini mirip sekali dengan putranya saat lahir, raut wajahnya bahkan cara bayi itu merespon saat diajak bicara mengingatkannya tentang putranya dulu.
“Dia mirip sekali dengan Danen.” Wanita bergumam saat melihat wajah kedua cucunya secara bergantian.
“Tidak adil.” Aleon menyeletuk asal, semua orang jadi menoleh ke arahnya, “Alena yang mengandung selama 9 bulan, Alena yang bertaruh nyawa kenapa mereka malah mirip Danendra.” Lanjutnya dengan ekspresi kesal.
“Aduh! Papa… “ Aleon mengaduh saat kepalanya dipukul sang ayah.
“Diam Leon, jangan berisik!” omel Dharma.
Aleon hanya bisa merengut setelah mendapat pukulan ia kembali menatap wajah ponakannya secara bergantian. Wajah mereka sangat mirip Danendra semuanya milik Danen, tapi ia mencoba meneliti ada satu yang berbeda dengan bentukan wajah Danen.
Bibir.
Aleon menyadari bibir kedua bayi ini tidak sama sekali mirip dengan ayahnya, bibir mereka tipis meruncing sedangkan Danen memiliki bibir yang tebal. Ia mencoba mengingat apakah ini bentuk bibir Alena, tapi rasanya bukan, dia tidak mungkin salah dengan bentuk bibir sang adik.
Tapi dia tidak ambil pusing, lagipula mereka masih bayi tentu bentuk wajah akan terus berubah. Mungkin saja bibir itu terbentuk campuran dari milik Danen dan Alena sehingga menjadi bentuk yang khas. Walaupun sempat Aleon merasa tidak asing dengan bentuk bibir yang seperti ini, tapi dia tidak ingat pasti.
Bersambung.