Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)
Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.
Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.
Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Hanif duduk tenang di hadapan Sekar. Ia tak berkata apa-apa, tak memaksa, tak menekan. Hanya menatap dengan sepasang mata teduh yang menunggu dengan sabar. Wajahnya penuh penerimaan, bukan rasa ingin tahu yang menghakimi. Seolah ia berkata: "Ambil waktumu. Aku di sini."
Entah karena keteduhan itu, atau mungkin karena malam yang terlalu sunyi untuk terus menyimpan luka sendirian, Sekar merasa ia bisa bicara. Untuk pertama kalinya.
“Aku… belum pernah cerita ini ke siapa-siapa,” gumamnya pelan. Suaranya serak, nyaris tak terdengar. Tangannya menggenggam ujung selimut yang menyelimuti kakinya, seperti berpegangan pada satu-satunya hal yang nyata.
Hanif hanya mengangguk. Tak menyela. Tak memotong. Ia menjadi ruang.
Sekar menarik napas panjang, napas yang seperti menarik serpihan-serpihan keberanian yang tercecer dalam hidupnya. Napas yang berat, seakan setiap helanya menekan seluruh dadanya. Lalu, ia mulai bercerita.
“Waktu itu aku masih kecil. Umur tujuh, mungkin delapan. Ibuku menikah lagi. Dia bilang laki-laki itu baik. Pekerja keras. Sopan. Tapi… sejak awal aku tahu ada yang salah.”
Ia menunduk. Pandangannya kosong ke arah lantai, tapi jari-jarinya gemetar, memeluk dirinya sendiri.
“Awalnya dia cuma suka nyisir rambutku. Katanya lembut. Aku pikir itu biasa. Tapi lama-lama… dia mulai nyentuh pundakku. Lalu punggung. Dan kadang, dia sengaja peluk dari belakang sambil bilang aku anak baik.” Suaranya mulai pecah. “Tangannya selalu terlalu lama diam di tempat-tempat yang bikin aku takut.”
Hanif masih diam. Tapi rahangnya menggertak perlahan. Hanya itu reaksinya—cukup untuk menunjukkan marah, tapi tidak mengintimidasi.
“Aku nggak tahu harus gimana. Aku kecil. Aku takut. Tapi akhirnya aku cerita ke Ibu…” Sekar terisak. “Dia cuma diam. Lalu bilang, ‘Jangan mengada-ada, Sekar. Dia suamiku.’”
Tangis itu tidak dibendungnya. Ia biarkan mengalir, menghapus tahun-tahun ketakutan yang selama ini dipendam sendirian.
“Aku merasa… seperti nggak berarti. Kayak aku cuma beban. Kayak tubuhku… bisa dijadikan alat tukar, asal Ibuku bahagia.”
Hanif menutup matanya sejenak, menahan emosi yang mulai mengalir di dadanya. Tapi ia tetap menjadi dinding tenang tempat Sekar bisa bersandar.
“Lalu suatu hari, dia bilang ada orang yang lihat aku dan mau menjadikanku bintang iklan. Aku… senang banget. Aku pikir, mungkin akhirnya ada yang lihat aku sebagai sesuatu yang berharga.”
Sekar menghela napas, lebih tajam. Suara di tenggorokannya seperti pisau yang menyayat keluar.
“Kami pergi ke hotel. Dia bilang audisinya di sana. Aku sempat tanya kenapa nggak di kantor iklan atau studio, tapi dia cuma bilang, ‘Kamu nggak tahu apa-apa, Sekar.’”
Hanif duduk lebih tegak. Napasnya tertahan, tapi wajahnya tetap tenang. Matanya fokus pada Sekar, bukan pada rasa marah yang mulai membara di dadanya.
“Saat kami masuk ke kamar, dia bilang orangnya belum datang. Lalu dia tutup pintu. Kunci. Aku mulai takut. Tapi dia bilang, ‘Tenang aja, ini normal.’ Lalu dia mulai nyentuh aku.”
Sekar menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Bahunya berguncang. “Dia buka bajuku. Sentuh semua bagian tubuhku. Bau napasnya… kasar. Aku masih bisa ingat sampai sekarang. Lengket. Menjijikkan. Aku ingin lari, tapi kaki aku gemetar.”
Hanif menahan napasnya. Ia ingin memeluk Sekar, ingin menariknya ke dalam pelukannya dan menepis semua luka yang pernah terjadi. Tapi ia tahu: ini bukan saatnya untuk menyelamatkan. Ini saatnya untuk mendengarkan.
“Aku teriak. Aku ingat betul, aku teriak sekuat tenaga. Dia panik. Ada suara ketukan keras dari luar. Suara security. Aku dengar suara-suara ribut. Dia buru-buru buka pintu, dan bilang aku histeris. Bahwa aku anak sakit jiwa. Bahwa aku lupa minum obat.”
Hanif menutup mata, menahan amarah. Tangan kirinya mengepal, jari-jarinya nyaris memutih.
“Dan semua orang… percaya,” lanjut Sekar lirih. “Security itu menatapku dengan kasihan. Tapi mereka tetap biarkan dia bawa aku keluar.”
Air mata kembali turun dari mata Sekar, pelan, satu-satu. Tapi ia tidak berusaha menyekanya. Ia membiarkan rasa sakit itu keluar—seutuhnya.
“Sampai di rumah, dia marah besar. Dia bilang aku bikin malu. Dia bilang aku anak tak tahu diri. Dan malam itu… dia pukul aku. Di mana-mana. Di tangan, di punggung, bahkan di wajah. Aku nggak bisa bangun keesokan harinya.”
Hanif menahan napasnya lagi. Ia merasa tubuhnya panas. Tapi ia tahu, semua emosi itu bukan miliknya malam ini. Malam ini milik Sekar.
“Sejak itu, aku berhenti bicara. Aku hidup… tapi kayak bayangan. Aku belajar diam. Menjadi anak baik. Supaya Ibu tidak marah. Supaya dia tidak marah.”
Suara Sekar mulai pelan. Lelah. Seperti seseorang yang sudah berjalan jauh dalam hujan, lalu akhirnya menemukan tempat berteduh.
“Aku tumbuh dengan percaya bahwa semua itu salahku. Kalau aku lebih penurut, kalau aku lebih kuat, mungkin Ibu akan membelaku. Mungkin… dia akan memilih aku, bukan laki-laki itu.”
Lama sekali tak ada yang bicara. Hanya suara napas. Suara malam. Dan ruang di antara mereka yang kini terasa hangat, bukan dingin.
Akhirnya, Hanif bicara.
“Tidak, Sekar. Tidak ada satu pun dari semua itu yang salahmu.”
Sekar mengangkat wajahnya. Matanya sembab, tapi ada ketenangan di sana. Ketika ia menatap Hanif, ada cahaya kecil di matanya. Cahaya dari dalam—yang mungkin baru menyala setelah lama mati.
“Kenapa kamu masih di sini?” tanyanya pelan. “Setelah tahu semua ini… kenapa kamu nggak pergi aja? Aku… rusak, Hanif. Aku penuh luka.”
Hanif menjawab tanpa jeda. “Karena kamu tidak rusak. Kamu adalah bukti bahwa manusia bisa bertahan dari neraka, dan masih bisa mencintai dunia. Kamu bukan luka, Sekar. Kamu adalah keberanian.”
Sekar menangis lagi. Tapi kali ini bukan karena trauma, melainkan karena merasa didengar. Dipahami. Diterima. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya.
Ia maju pelan. Menyandarkan kepalanya di bahu Hanif. Menemukan tempat yang aman. Tubuhnya yang semula tegang perlahan melemas. “Terima kasih… karena tidak pergi.”
Hanif menatap jendela di luar sana. Malam gelap, tapi ia tidak merasa takut. “Aku berjanji, Sekar. Aku nggak akan ninggalin kamu. Apa pun yang terjadi.”
Dan malam itu, di kamar yang dulu jadi awal luka Sekar, cerita itu menemukan akhirnya. Bukan akhir yang menyembuhkan seketika, tapi akhir dari kesepian yang panjang. Karena di malam itu, Sekar akhirnya bisa bicara. Ia menemukan suara. Suara yang memberinya kekuatan untuk percaya—bahwa ia tidak sendiri lagi. Bahwa hidupnya belum selesai. Bahwa cinta masih mungkin, bahkan dari reruntuhan.