NovelToon NovelToon
Ranjang Kosong Memanggil Istri Kedua

Ranjang Kosong Memanggil Istri Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Kaya Raya / Beda Usia / Selingkuh / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Di balik kemewahan rumah Tiyas, tersembunyi kehampaan pernikahan yang telah lama retak. Rizal menjalani sepuluh tahun tanpa kehangatan, hingga kehadiran Hayu—sahabat lama Tiyas yang bekerja di rumah mereka—memberinya kembali rasa dimengerti. Saat Tiyas, yang sibuk dengan kehidupan sosial dan lelaki lain, menantang Rizal untuk menceraikannya, luka hati yang terabaikan pun pecah. Rizal memilih pergi dan menikahi Hayu, memulai hidup baru yang sederhana namun tulus. Berbulan-bulan kemudian, Tiyas kembali dengan penyesalan, hanya untuk menemukan bahwa kesempatan itu telah hilang; yang menunggunya hanyalah surat perceraian yang pernah ia minta sendiri. Keputusan yang mengubah hidup mereka selamanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

Rizal mencoba menggerakkan tangannya, tetapi gerakan kecil itu cukup membuat Hayu tersentak kaget dari tidurnya.

Ia segera meluruskan kakinya yang pegal dan refleks melihat ke arah ranjang. Matanya langsung membelalak penuh kelegaan.

"Pak Rizal! Alhamdulillah, Bapak sudah sadar," pekik Hayu dengan wajah yang bahagia.

Hayu lekas menekan tombol agar perawat masuk ke dalam ruang perawatan.

Tak berselang lama setelah Hayu menekan tombol darurat.

Perawat dan dokter jaga segera masuk ke ruang perawatan.

Mereka sigap melakukan pemeriksaan singkat, mengamati grafik di monitor, dan menyinari mata Rizal.

"Alhamdulillah, Bapak sudah melewati masa kritis. Jantungnya stabil dan tekanan darahnya juga sudah naik. Bapak harus tetap tenang dan banyak istirahat," ujar Dokter jaga setelah selesai memeriksa.

Perawat yang sempat melihat Hayu semalaman di kursi, menatapnya dengan rasa kagum.

"Mbak Hayu sangat sigap semalam. Bapak Rizal beruntung ditemani Anda."

Dokter menganggukkan kepalanya dan memuji Hayu yang setia menemani Rizal.

Setelah dokter dan perawat keluar, keheningan kembali menyelimuti kamar.

Hayu menarik kursi kembali ke sisi ranjang, wajahnya menunjukkan kelegaan yang luar biasa.

Tak lama kemudian perawat kembali datang sambil membawa nampan berisi bubur, lauk dan susu kedelai untuk Rizal.

"Tolong anda habiskan sarapannya." pinta perawat.

Hayu menganggukkan kepalanya dan segera mengambil nampan yang diberikan oleh perawat.

Setelah itu ia menaruhnya di meja khusus yang sudah disediakan oleh rumah sakit.

"Biar saya bantu, Pak," ujar Hayu mengambil mangkuk bubur yang masih hangat.

Ia menyendokkan sedikit bubur, meniupnya sebentar, lalu menyodorkannya ke mulut Rizal.

Rizal menatapnya dan ada sedikit rasa canggung yang tersirat di matanya.

"Tidak usah repot-repot, Yu. Aku bisa sendiri," ucap Rizal.

"Tidak apa-apa, Pak. Bapak harus banyak istirahat. Dokter bilang Bapak harus tenang. Kalau Bapak makan sendiri, nanti Bapak jadi capek," balas Hayu.

Ia tidak memberikan kesempatan kepada Rizal yang menolaknya dan kembali menyuapinya.

"Yu, enak nasi goreng kamu. Bubur ini rasanya hambar." ucap Rizal.

Hayu langsung tertawa kecil saat mendengar perkataan dari Rizal.

"Maka dari itu, Pak. Ayo, lekas sembuh. Nanti aku masakan nasi goreng sama cumi asam manis lagi." ujar Hayu.

Rizal tersenyum tipis saat mendengar janji Hayu yang akan memasakkan nya nasi goreng dan cumi asam manis.

Setelah menghabiskan buburnya, Hayu meminta Rizal untuk meminum obat dan kembali merebahkan tubuhnya.

"Semoga lekas sembuh ya, Pak."

Rizal menganggukkan kepalanya sambil tersenyum ke arah Ayu yang telaten merawatnya.

"Yu, apa Tiyas tidak menghubungi kamu?" tanya Rizal.

Hayu menarik kursi dan kembali duduk di samping tempat tidur Rizal.

Ia menggelengkan kepalanya dengan wajahnya yang menunjukkan rasa bersalah karena harus menyampaikan kabar buruk itu.

"Saya sudah berkali-kali mencoba menghubungi Ibu Tiyas, Pak. Sejak semalam, bahkan nomornya sekarang sudah tidak aktif," ujar Hayu pelan.

Ia tidak berani menambah kesedihan majikannya.

Rizal menghela napas panjang, sebuah isyarat kekecewaan yang sudah tak tertahankan lagi.

Ia memejamkan matanya, seolah berusaha menerima kenyataan pahit bahwa di saat terlemahnya, orang yang paling ia harapkan justru tidak ada di sisinya.

"Sudahlah, Yu. Mungkin dia memang lebih bahagia di sana," bisik Rizal.

Setelah itu Rizal memejamkan matanya dan mencoba untuk istirahat.

Hayu hanya bisa diam, membiarkan suaminya sahabatnya itu beristirahat, dan dalam hati ia terus mendoakan kesembuhan Rizal.

Sudah hampir dua jam Rizal mencoba untuk memejamkan matanya, tetapi tetap tidak bisa.

Ia merasa bosan, dan tubuhnya terasa kaku karena terus berbaring.

Rizal akhirnya membuka matanya dan melihat Hayu yang duduk di sampingnya, tengah membaca sebuah majalah usang yang ia temukan di meja.

“Yu,” panggil Rizal pelan.

Hayu langsung menutup majalahnya dan menoleh ke arah Rizal.

“Iya, Pak? Ada yang Bapak butuhkan?” tanya Hayu.

“Aku bosan, Yu. Sepertinya aku tidak bisa tidur. Bolehkah aku minta tolong?”

“Tolong apa, Pak? Katakan saja,” jawab Hayu.

“Aku ingin keluar sebentar. Ingin menghirup udara segar di luar, di taman. Di sini pengap sekali,” pinta Rizal, menatap Hayu dengan tatapan memohon.

Hayu sempat ragu kaena mengingat pesan dokter agar Rizal banyak istirahat. Namun, melihat wajah Rizal yang tampak jenuh dan bidan di ruang perawatan.

“Baik, Pak. Tunggu sebentar, saya ambilkan kursi roda.”

Hayu berjalan cepat keluar kamar dan kembali beberapa menit kemudian, mendorong sebuah kursi roda.

Dengan hati-hati dan dibantu oleh Hayu, Rizal bergeser dari ranjang ke kursi roda.

“Pelan-pelan saja, Pak,” Hayu menopang punggung Rizal hingga ia duduk dengan nyaman.

Hayu mendorong kursi roda Rizal keluar dari ruang perawatan.

Mereka menyusuri lorong rumah sakit yang sepi menuju area taman di lantai bawah.

Begitu tiba di taman, Rizal merasakan perbedaan drastis.

Udara segar, aroma bunga, dan suara gemericik air mancur langsung menenangkan pikirannya.

Hayu memarkirkan kursi roda di bawah pohon rindang yang sejuk.

“Bagaimana, Pak? Lebih segar di sini, kan?" tanya Hayu.

Rizal menganggukkan kepalanya sambil menghirup udara yang segar.

"Jauh lebih baik, Yu. Terima kasih karena kamu sudah banyak membantuku, Yu. Dari masakan, mengerik badan, sampai menjaga dan mendorongku seperti ini.”

“Sudah tugas saya, Pak. Saya senang Bapak merasa lebih baik.” ujar Hayu.

Hayu bangkit dari duduknya sambil bermain air mancur yang ada di kolam.

"Yu, boleh aku tanya sesuatu tentangmu?”

“Tentu, Pak. Silakan saja.”

Hayu duduk di kursi taman yang ada disamping Rizal.

"Yu, kamu sudah punya kekasih?”

Mendengar pertanyaan mendadak yang Rizal lontarkan.

Hayu langsung tertawa kecil dan sedikit canggung.

Ia memalingkan wajahnya dan kembali menatap ke arah air mancur.

“Siapa yang mau sama saya, Pak? Saya ini wanita yang tidak cantik, Pak. Dan juga tidak punya apa-apa. Saya hanya seorang sarjana yang berakhir menjadi seorang pembantu. Mana mungkin ada pria yang mau?”

Rizal melihat Hayu yang begitu minder dengan dirinya sendiri.

"Kamu salah, Yu. Kecantikan itu bukan hanya soal fisik. Kamu punya hati yang baik, tulus, dan bertanggung jawab. Itu jauh lebih berharga daripada hanya sekadar penampilan atau gelar. Jangan pernah merendahkan dirimu sendiri." ujar Rizal.

Hayu menganggukkan kepalanya saat mendengar perkataan dari Rizal.

"Terima kasih, Pak," bisik Hayu, matanya berkaca-kaca.

Mereka berdua kembali menikmati udara sejuk di taman.

"Yu, bisa minta tolong ambilkan ponselku yang kamu taruh di tas?"

"Iya, Pak. Saya ambilkan. Bapak disini saja, jangan kemana-mana."

Rizal menganggukkan kepalanya dan segera Hayu menuju ke ruang perawatan untuk mengambil ponsel milik Rizal.

Setelah mengambil ponsel, Hayu kembali ke taman.

“Ini, Pak,” ucap Hayu.

Rizal menerima ponselnya, membuka kunci layar, dan segera menghubungi seseorang.

“Halo, Riska. Ini saya, Rizal,” suaranya terdengar serius namun pelan.

Di seberang telepon, Riska, sekretaris pribadinya, terkejut mendengar suara Rizal yang lemah.

“Astaga, Pak! Bapak kenapa? Saya dengar dari kantor Bapak tidak masuk. Bapak baik-baik saja?” tanya Riska panik.

“Saya di rumah sakit. Jangan khawatir, saya baik-baik saja, hanya butuh istirahat. Tolong, batalkan semua pertemuan dan janji saya selama seminggu ke depan. Jadwalkan ulang yang paling penting, dan serahkan sisanya ke Pak Agung.”

“Baik, Pak. Segera saya atur. Bapak di rumah sakit mana?”

“Di Rumah Sakit Husada. Riska, ada hal penting yang harus kamu lakukan untukku.”

“Apa itu, Pak?”

Rizal melirik ke arah Hayu yang sedang berpura-pura sibuk melihat kolam ikan agar tidak menguping.

“Pertama, tolong transfer uang ke rekening atas nama Hayu Deswita sebesar lima puluh juta rupiah. Ini adalah bonus dan biaya kerjanya. Lakukan sekarang juga.”

Hayu yang mendengar nominal angka itu langsung terkejut.

Ia berbalik menatap Rizal, menggelengkan kepala sebagai isyarat penolakan.

Rizal hanya memberikan isyarat mata kepada Hayu agar diam sejenak dan kembali fokus pada teleponnya.

“Lima puluh juta, Pak? Baik, segera saya proses,” jawab Riska, sedikit terkejut dengan nominal yang tidak biasa.

“Dan yang kedua, Riska. Tolong segera blokir semua akses kartu kredit dan kartu ATM milik istri saya, Tiyas. Blokir semuanya. Saya tidak ingin dia menggunakan kartu-kartu itu lagi.”

Hayu semakin terkejut mendengar perkataan dari Rizal

“B-baik, Pak Rizal. Saya akan hubungi pihak bank sekarang juga,” jawab Riska, menyadari ada masalah besar dalam rumah tangga atasannya.

“Terima kasih, Riska. Setelah ini selesai, tolong jangan ganggu saya dulu. Saya butuh istirahat total.”

Rizal menutup teleponnya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku piyama rumah sakit dan langsung menoleh ke arah Hayu.

Wajah Hayu kini dipenuhi rasa kaget dan bingung.

“Pak Rizal, apa-apaan ini? Lima puluh juta? Itu terlalu banyak, Pak! Saya tidak mau!” protes Hayu, suaranya sedikit meninggi.

“Kenapa tidak mau, Yu? Itu upahmu. Aku tahu gaji yang diberikan Tiyas sebelumnya tidak sebanding dengan apa yang sudah kamu lakukan untukku dan rumahku. Kamu sudah bekerja keras, kamu menjagaku di sini dan di saat paling sulitku kamu ada di sampingku. Uang ini bahkan tidak sebanding dengan ketulusanmu, Yu,” jawab Rizal dengan nada tulus.

Hayu terdiam saat mendengar perkataan dari Rizal.

Ia tidak menyangka majikannya akan memberikan imbalan sebesar itu.

“Soal Tiyas, keputusanku memblokir kartunya adalah hakku. Aku tidak akan membiarkan dia menikmati uangku, sementara dia menghinaku, mengkhianatiku, dan meninggalkanku dalam keadaan seperti ini. Dia harus belajar bertanggung jawab atas keputusannya.”

Rizal memegang tangan Hayu dengan lembut, meyakinkan.

“Terima uang itu, Yu. Anggap saja ini sebagai biaya hidupmu yang layak. Kamu adalah orang baik. Kamu pantas mendapatkannya.”

Hayu akhirnya mengangguk pelan dengan air matanya yang menetes.

“Terima kasih, Pak. Tapi saya janji, saya akan tetap bekerja dengan baik di rumah Bapak,” ujar Hayu.

“Aku tahu itu, Yu. Aku percaya padamu.”

Setelah mengobrol panjang lebar, Hayu mendorong kursi roda dan kembali ke ruang perawatan.

Ia meminta Rizal untuk segera memejamkan matanya.

"Kalau Pak Rizal nggak mau tidur, saya tidak akan memasakkan cumi asin lagi."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!