"𝘽𝙧𝙚𝙣𝙜.. 𝙗𝙚𝙣𝙜.. 𝙗𝙚𝙣𝙜.. "
𝘼𝙙𝙪𝙝 𝙖𝙬𝙖𝙨... 𝙝𝙚𝙮𝙮𝙮... 𝙢𝙞𝙣𝙜𝙜𝙞𝙧.. 𝘼𝙡𝙖𝙢𝙖𝙠..
𝘽𝙧𝙪𝙠𝙠𝙠...
Thalia putri Dewantara gadis cantik, imut, berhidung mancung, bibir tipis dan mata hazel, harus mengalami kecelakaan tunggal menabrak gerbang, di hari pertamanya masuk sekolah.
Bagaimana kesialan dan kebarbaran Thalia di sekolah barunya, bisakah dia mendapat sahabat, atau kekasih, yuk di simak kisahnya.
karya Triza cancer.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon TriZa Cancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari pertama masuk sekolah
Cahaya matahari pagi menembus celah gorden berwarna pink pastel, menyapa wajah seorang gadis cantik bernama THALIA PUTRI DEWANTARA yang masih terlelap di balik selimut bergambar kelinci. Jam weker di meja belajar sudah berbunyi sejak lima menit lalu, tapi belum ada tanda-tanda si pemilik kamar mau bangun.
“Thaliaa… ayo bangun, sayang! Nanti terlambat!” suara lembut Mommy dari lantai bawah menggema.
Mata cantik Thalia akhirnya terbuka perlahan. “Haaah?!!” teriak Thalia kaget begitu melihat jam dinding. “Jam setengah tujuh?! Astaga! Aku kesiangan di hari pertama sekolah!”
Setelah lama tinggal di luar negri untuk ikut Granpa dan Grandmanya, hari ini Thalia akan kembali bersekolah di Jakarta dan tinggal bersama mommy dan daddynya.
Dalam sekejap, kamar Thalia berubah jadi medan perang kecil. Thalia meloncat dari tempat tidur, rambutnya yang panjang terurai berantakan seperti singa kecil baru bangun tidur. Setelah mandi ia berlari ke lemari, menarik seragam barunya yang masih tergantung rapi.
“Harus cepat, harus cepat!” gumamnya panik sambil berputar-putar mencari kaus kaki yang entah ke mana. Ia sempat salah pakai sepatu kanan dan kiri tertukar lalu tertawa sendiri. “Hihi, dasar Thalia..berasa mau ikut sirkus sepatu beda sebelah.!”
Begitu seragam putih dan rok abu-abunya terpasang sempurna, Thalia berdiri di depan cermin. Ia menarik napas panjang dan tersenyum pada bayangan dirinya.
“Semoga hari pertama sekolah menyenangkan ya, Thalia!” katanya pada diri sendiri sambil mengedipkan mata dan memberi pose dua jari di depan pipinya.
Dengan langkah kecil namun bersemangat, Thalia berlari menuruni tangga. Aroma roti panggang dan susu cokelat langsung menyapa hidungnya. Di meja makan, Daddy sedang membaca koran sementara Mommy sibuk menuangkan jus jeruk, dan susu untuknya.
“Morning, Mommy! Morning, Daddy!” seru Thalia ceria.
Ia langsung berlari kecil dan mencium pipi Mommy, lalu Daddy, dengan senyum selebar matahari pagi.
Mommy Riana Dewantara menatapnya sambil tertawa kecil. “Wah, cantiknya anak Mommy hari ini! Tapi rambutnya masih kayak singa kecil, tuh.”
“Eh?” Thalia menyentuh rambutnya dan langsung panik. “Aduh! Aku lupa nyisir!”
Daddy Rian Dewantara terkekeh sambil menurunkan korannya. “Tenang, singa kecil Daddy tetap yang paling manis.”
Thalia cemberut sebentar, tapi kemudian ikut tertawa. “Kalau begitu, singa kecil ini siap sekolah!” serunya dengan semangat penuh, sambil menggoyang tas barunya di udara.
Mommy dan Daddynya saling berpandangan, tersenyum bangga melihat gadis kesayangan mereka memulai pagi dengan tawa meskipun seperti biasa, penuh kehebohan khas Thalia.
“Sayang, kamu hari ini Daddy antar ya,” ucap Rian sang Daddy, sambil menatap lembut gadis kecilnya yang sedang meneguk susu cokelat dengan tergesa.
Thalia langsung menatapnya sambil menggeleng cepat. “Gak perlu, Daddy! Lia pakai motor sendiri aja..” katanya dengan nada bangga, seperti ingin menunjukkan bahwa ia sudah besar.
Rian dan Riana sang Mommy, saling berpandangan heran. Riana menaikkan alisnya, lalu bertanya penuh rasa penasaran, “Sejak kapan kamu bisa naik motor, sayang...?”
Thalia tersenyum manis sambil memainkan rambutnya. “Hmm… sejak kapan ya? Lupa deh. Tapi Lia bisa kok, Mommy Boleh ya?” Ia menatap Daddynya dengan ekspresi memohon, mata bulatnya berkilat seperti anak kucing yang minta izin main keluar rumah.
Rian menghela napas panjang, menyerah pada tatapan itu. “Baiklah… asal hati-hati ya, jangan ngebut.”
“Siap, Kapten Daddy!” jawab Thalia sambil memberi hormat ala tentara, membuat kedua orang tuanya tertawa.
Namun, tawa itu langsung berubah jadi panik ketika Thalia melirik jam tangannya. “Waduh! Cuma sepuluh menit lagi bel sekolah bunyi!” serunya.
Dengan cepat ia merapikan rambutnya, mengambil tas, lalu mengecup pipi Mommy dan Daddy. “Lia berangkat dulu ya! Love youuu!” katanya sambil berlari menuju garasi.
Tak lama kemudian..
Breng peng...peng..peng..!
Suara mesin tua yang khas menggema dari garasi. Rian dan Riana saling pandang lagi, kali ini dengan dahi berkerut.
“Jangan bilang…” gumam Rian pelan, lalu keduanya buru-buru berlari ke arah garasi.
Begitu sampai, mereka langsung melongo. Bukan motor sport, bukan juga motor matic seperti dugaan mereka… tapi sebuah Vespa tua warna krem yang bergetar pelan, penuh stiker lucu dan pita pink di kaca spionnya.
Di atasnya, Thalia duduk dengan helm besar yang hampir menutupi seluruh kepalanya, wajahnya penuh senyum bangga. “Lucu kan, Daddy, Mommy? Vespa ini keren banget!” katanya sambil menyalakan klakson yang malah berbunyi beep-beep! lucu.
“Thalia… itu dari mana kamu..” Rian belum sempat menyelesaikan kalimatnya.
Thalia sudah memotong, “Nanti cerita ya! Lia berangkat dulu, love you Mommy Daddy!”
Vespanya melaju pelan keluar garasi sambil mengeluarkan suara khasnya: “prrrrrttt… brmmm… prrrttt…”
Rian hanya bisa mengelus wajahnya. “Entah kekacauan apa yang akan dia perbuat hari ini…” gumamnya pasrah, sementara Riana menahan tawa, menatap punggung kecil putrinya yang semakin jauh di jalan.
Suara mesin Vespa tua terus berderak riuh di sepanjang jalan menuju sekolah. Thalia, dengan rambut terurai yang keluar dari helmnya, tampak berjuang keras menyeimbangkan motor kecilnya. “Ayo, Coki! Sedikit lagi, kita hampir sampai!” katanya menyemangati vespanya yang dinamai Coki.
Namun begitu gerbang Manggala High School (MIS) mulai tampak di depan mata, Thalia mendadak panik. Dari kejauhan ia melihat penjaga sekolah mulai menarik pintu gerbang besar berwarna biru tua.
“JANGAN TUTUPPP!!” teriak Thalia refleks.
Tanpa berpikir panjang, ia memutar gas Vespa tua itu habis-habisan.
“AWAS!! WEYYY....MINGGIRR!! ALAMAAAKK!!”Teriaknya heboh pada murid yang akan melewati gerbang.
Suara Vespa dan teriakannya menggema keras di depan sekolah.
“Breng! Peng! Peng! Beep! Beep! Beep!
BRUKK...!!”
Semua mata langsung tertuju ke arah sumber suara. Debu mengepul.Dan di sana… Thalia terpaku di atas Vespanya yang kini bersandar miring pada gerbang besi yang penyok di bagian bawah.
Helmnya sedikit miring, rambutnya acak-acakan, ekspresinya campuran antara syok dan tidak percaya.
“Ya Tuhan…” gumam Thalia pelan, suaranya bergetar. “Baru hari pertama sekolah… udah kecelakaan tunggal…”
Ia menepuk-nepuk bodi vespanya pelan dengan wajah murung. “Kamu sih, Coki. Gak bisa diajak kerjasama, ya?”
Suasana di depan gerbang langsung hening, lalu pelan-pelan berubah jadi bisik-bisik heboh dari para murid yang ada di parkiran.
“Siapa tuh cewek?”
“Murid baru, kayaknya…”
“Gila, orang lain naik mobil, motor sport… dia malah naik vespa tua!”
“Pasti anak beasiswa.”
“Waduh, dia bakal kena marah Kak Athar tuh, apalagi gerbangnya penyok!”
Thalia mendengar semua bisikan. Tapi bukannya malu, ia malah jongkok di samping Vespanya, menatap bagian bodi yang baret dengan ekspresi sedih.
“Coki, kamu gak papa kan? Maaf ya nabrak pagar… tapi kamu hebat kok, gak sampai jatuh,” katanya pelan sambil mengusap stiker kelinci di bodi Vespa.
Para murid hanya bisa saling pandang sebagian menahan tawa, sebagian lagi tak percaya dengan pemandangan absurd itu. Di antara mereka, beberapa senior yang baru datang langsung berhenti di tempat, menatap gerbang yang penyok dan gadis kecil dengan seragam rapi yang kini sedang bicara… pada motornya sendiri.
Hari pertama Thalia di MIS baru saja dimulai, tapi sepertinya nama Thalia Putri Dewantara akan langsung terkenal, bukan karena prestasi, tapi karena tabrakan spektakuler di pagi hari.
“Ya ampun, Neng… kenapa gerbangnya ditabrak?” gumam Pak Maman, penjaga sekolah, sambil menatap besi gerbang yang kini penyok di bagian bawah. Ia memegangi kepala, wajahnya penuh panik. “Aduh, bisa kena marah saya, Neng…”
Thalia yang masih jongkok di samping Vespanya mendongak, lalu nyengir polos. “Hehe, maaf ya, Pak. Lia gak sengaja kok. Tapi atasnya masih bagus, loh, Pak! Masih bisa dipakai kan?”
Pak Maman hendak menjawab, “Bukan, ma...”
Belum sempat kata-katanya selesai, tiba-tiba suasana sekolah mendadak ramai. Dari arah lobi dan parkiran terdengar suara riuh para murid.
“Tuh mereka datang!”
“Lihat, OSIS datang!”
“Kak Athar!gak cape ganteng terus"
"Raka!Love you.."
"Dion!Doni! Rafi!”
Lima pria dengan seragam rapi dan jas OSIS hitam melangkah masuk dengan aura yang membuat semua orang menahan napas. Langkah mereka kompak, wajah-wajah karismatik itu seolah membawa sorotan spotlight sendiri.
Thalia yang masih jongkok langsung memutar bola matanya malas.
“Berasa di dunia novel banget,” gumamnya ketus. “Pasti yang muncul most wanted sekolah, idola para ciwi...”
Ia kembali fokus mengelus Vespanya, Coki, seolah dunia di sekitarnya tidak penting.
"Coki sabar ya nanti mami bawa kamu ke bengkel.. Huh untung cuma baret gak perlu di infus.. " gumamnya.
Kelima cowok tadi berhenti di depan gerbang. Salah satu dari mereka, Doni, yang terlihat paling ramah, menatap ke arah Pak Maman.
“Ada apa, Pak?” tanyanya sopan.
Pak Maman berdiri gugup, tangannya menunjuk ke arah Thalia yang masih jongkok. “I..ini, Den… Neng ini nabrak gerbang sampai penyok.”
Semua kepala langsung menoleh ke arah yang ditunjuk. Di sana, tampak seorang gadis mungil dengan helm miring, seragam rapi tapi sedikit berantakan, sedang mengusap Vespanya penuh cinta.
Rafi langsung bersiul pelan. “Baru kali ini gue lihat cewek naik Vespa.”
Raka menimpali cepat. “Mana Vespanya penuh stiker lagi! liat ada kelinci, bintang, sama… unicorn?!”
Doni menggaruk kepala sambil memperhatikan gerbang dan vespa si gadis mencoba logika. “Tapi kok bisa gerbangnya sampai penyok gitu, ya? Padahal cuma ditabrak Vespa tua.”
Dion sudah bersiap ikut menimpali, tapi sebelum sempat bicara, suara datar dan dingin Athar memotong udara.
“Ganti.”
Satu kata. Pelan tapi tegas.
Semua langsung menoleh ke sumber suara. Athar, ketua OSIS yang berdiri paling depan, menatap lurus ke arah gerbang tanpa ekspresi. Tatapannya dingin, nadanya seolah tak memberi ruang diskusi.
"Maksudnya Den..? " Tanya pak Maman bingung.
“Maksudnya Ganti Gerbangnya pak. Hari ini juga.”Ucap Raka menatap pak Maman yang kebingungan.
Pak Maman menelan ludah dan mengangguk.
"RO" (Ruang Osis)Singkat Athar dan mengkode untuk menghukum Thalia.
"Hei kamu ayo ikut kita, kita akan hukum kamu karena merusak fasilitas sekolah". Rafi sedikit mendekat agar Thalia mendengarnya.
Suasana mendadak tegang. Murid-murid yang tadinya ramai mulai diam, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya, dan hukuman apa yang akan Thalia terima.
Sementara itu, Thalia hanya menghela napas panjang dan menepuk Vespanya pelan. “Tuh kan, Coki. Aku bilang juga apa, gara-gara kamu kita jadi terkenal,” katanya lirih sambil berdiri perlahan.
Ia menatap gerbang yang penyok, lalu melihat para cowok OSIS yang berjalan di depannya seperti pemeran utama drama.